[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 18


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside.
Kejutaaan, bagaimana? Sudah siap untuk dapat fakta mencengangkan minggu ini? Sudah numpuk semua penasaran dari minggu lalu? Siap dan ledakkan!

LEIL
“Apa yang terjadi?”

Ayah mulai membereskan barang-barang yang masih berguna dari semua kekacauan ini. Aku menerobos tiang pintu dan menuju teras. Ternyata di sini lebih kacau, atap teras rumah rontok bagai disapu tornado. Pot tomatku pecah dan tanahnya berserakan. Bahkan beberapa dahannya juga patah karena terinjak-injak. Sofa kesayanganku berlumuran darah yang mulai kehitaman. Aku masih berpikir ini hanya mimpi buruk, bahkan berharap kalau aku belum bangun dari tidur.

“Leil, sebaiknya kau juga segera berkemas. Rumah ini bisa kapan saja roboh,” seru ayah. Ya, dia tengah mengemas semua pakaiannya dalam tas besar dan mulai melempar beberapa barang juga foto-foto ke atas truk.

“Baru saja aku akan mendapat bonus dan musibah ini malah datang. Berapa banyak yang akan kita butuhkan untuk memperbaiki rumah ini?” keluhku.

“Jika biaya renovasinya lebih mahal dari pada pembuatan rumah baru, maka aku akan meratakannya sekaligus. Maaf mengecewakanmu sayang.” Ayah merangkul bahuku.

“Lalu mengapa kau tak bergerak untuk berkemas? Kulihat kau hanya mondar-mandir setelah memungut tomatmu. Apa yang kau cari?”

“Entahlah, aku merasa ada yang benda berharga yang hilang dari kekacauan ini.”

“Maksudmu, ini perampokan?” aku menggeleng. Masih mencoba mencari benda lain yang luput dari pemikiranku. Benda berharga yang akan kupertahankan demi sebuah balasan yang setimpal. Benda yang bersamaku sebelum kekacauan ini muncul. Astaga!

“Laporan keuangan toko June,” seruku dan langsung menuju teras yang porak poranda. Habislah aku jika buku itu ikut hancur. Bukan hanya catatan keuangan selama setahun ini tapi juga pekerjaanku. Aku bisa gila jika tak kutemukan, June akan memecatku tanpa keraguan. Mungkin juga ditambah potongan gaji karena aku mengganggu hari baiknya. Astaga! Aku terus mengorek tiap sudut teras rumahku dan tak menemukan apapun. Ayah berdiri di tiang pintu dan menatapku.

“Kau menemukannya?” aku hanya menggeleng.

“Sudahlah. Cepat berkemas, aku akan membantumu bicara pada June.”

Dengan lemas aku kembali masuk ke dalam rumah yang kini tak berpintu dan tak berjendela. Menuju kamar untuk mengemas pakaian dan barang-barang yang terselamatkan. Mengemasnya dalam satu tas besar. Saat kulipat selimut tebal bermotif bunga milikku, sesuatu yang ajaib terjadi. Hal itu membuatku berteriak nyaring dan ayah bergegas datang dengan senapan di tangan.

“Ada apa?”

“Aku menemukannya!”

Kutunjukkan dua buku milik June yang tadi kucari. Ternyata mereka sudah ada di dalam kamarku sendiri. Syukurlah, aku bahagia mereka berdua selamat dari kekacauan ini. Orang yang memindahkanku pasti tahu aku tengah mengerjakan buku ini hingga ketiduran. Karena itulah dia ikut menyelamatkan dua buku ini. Tunggu, itu artinya dia sudah mengawasiku jauh sebelum tiga vampir itu datang?

“Ayo berangkat.”

“Baiklah.”

Ayah sudah melemparkan semua tas ke truk dan kini ia mendekatiku yang masih diam memandangi rumah yang porak poranda. Ayah juga mengikuti apa yang kulakukan. Rumah tercinta kami hancur karena kekacauan yang parah. Meski ayah bilang dia bisa meratakannya dengan tanah. Tapi aku tak yakin dia akan melakukannya. Karena rumah ini penuh dengan kenangan kami sebagai keluarga kecil yang bahagia. Ayah dan ibu sudah tinggal di rumah kecil ini sejak hari pernikahan mereka. Juga aku yang tumbuh di sini sampai umurku sekarang. Akan menjadi perkara sulit untuk bergeser ke rumah lainnya.

“Begitu kacau,” gumamku dan kulihat ayah hanya mengangguk.

“Akhirnya benda itu hancur juga,” katanya sambil menunjuk sofa favoritku. Kupukul bahunya dan ia hanya tertawa.

“Kau bisa memperbaikinya?”

“Aku bisa membelikanmu yang baru.”

Dalam perjalanan, aku terus melamunkan apa yang terjadi. Jika itu penyerangan, tapi mereka tak menyerangku. Aku merasa ada yang aneh dengan penyerangan itu. Aku merasa ada satu pihak yang menyelamatkanku dan terus mengawasiku. Sama seperti serangan vampir yang dulu merenggut ibu. Ajaibnya saat itu ada sekawanan werewolf yang melintas dan menyelamatkanku. Anehnya lagi, malam itu aku seperti mendengar suara Pierre. Aku masih memeluk pohon tomat yang kini akar dan tanahnya kumasukan dalam kantong plastik. Ayah melirik ke arahku dan pohon tomat.

“Kau membawanya juga? Padahal aku curiga pohon itu tak bisa bertahan lagi, dia tengah sekarat, buang saja.”

“Kalaupun dia sekarat, aku yang akan memberinya keajaiban. Aku akan menyembuhkannya,” sahutku.
Benarkah aku bisa memberinya keajaiban? Atau lebih tepatnya, apakah aku punya keajaiban untuk melakukannya? Sampai saat ini pun aku masih berharap ada keajaiban yang menyelamatkanku dari semuanya. Hanya keajaiban yang akan membuatku kembali berteman dengan Pierre. Hanya keajaiban yang mampu membuat Pierre bicara padaku tanpa rasa tertekan ataupun menyesal. Lalu apa yang aku punya sekarang? Hanya harapan. Aku masih terus berharap akan datang waktu yang tepat ketika semua yang aku harapkan menjadi sebuah kenyataan.

Kusandarkan tubuh ini pada pintu truk meski sesekali jalanan berbatu membuatku ikut terguncang dan terbentur. Ayah hanya melirik melalui kaca depan dan seolah tak mau menggangguku karena ia tengah fokus pada jalanan.

“Kalau kau lelah, tidur saja. Akan kubangunkan ketika kita sampai di rumah Nyonya Franklin,” kata ayah tiba-tiba.

Tapi bukan itu yang kupikirkan, bukan itu yang membuatku merenung. Bukan itu yang membuatku diam dan sejenak mulai berpikir keras. Bukan berpikir juga, aku tengah terjebak perasaan yang aku sendiri tak mengerti. Satu yang terlintas dibenak hanyalah pria aneh itu. Pria tinggi menjulang bermata turquoise terang yang selalu membuatku terpaku. Aku terus memikirkannya. Dimana kau berada, Pierre?

“Ayo turun. Kita sudah sampai,” ajak ayah yang langsung melompat turun.

Aku masih diam di kursi, memandangi rumah Jossie yang seluas istana. Bahkan halamannya sangat indah dengan air mancur dan deretan bunga taman yang sayangnya belum waktunya mekar. Lima orang pelayan berderet menyambut kami, ayah yang tengah menemui mereka untuk berbasa-basi. Kemudian mereka semua membantu mengangkat beberapa barang yang ayah bawa. Kami meninggalkan perabotan tetap di truk. Seseorang membukakan pintu truk dan menyambutku dengan uluran tangan.

“Selamat datang, tuan putri,” sapanya.

“Jossie, kau berlebihan.” Aku menerima uluran tangannya dan membiarkannya membantuku turun. Padahal aku juga bisa turun sendiri. Ya, seperti yang kukatakan dia berlebihan.

Saat aku turun Nyonya Franklin sudah berdiri di samping truk dan langsung menyambutku dengan pelukan. Wangi mawar menguar dari tubuhnya. Dia sangat menyukai mawar. Ia tampil sangat anggun dengan gaun peach yang elegan. Dengan make up tipis dan rambut pirang panjangnya yang tergelung.

“Selamat datang di rumahku, sayang.”

“Terimakasih kalian sudah mau menampungku dan ayah. Maaf jika merepotkan kalian sekali lagi,” jawabku sambil menunduk. Sungguh aku tak enak hati dengan mereka yang selalu membantuku jika dalam kesulitan.

“Dengan senang hati, anakku.” Nyonya Franklin langsung menggiringku masuk.

“Pasti kejadian itu sangat mengerikan,” kata Nyonya Franklin. Dia masih menggenggam tanganku dan kami berjalan beriringan.

“Entahlah. Aku tengah tidur dan begitu bangun, semuanya sudah berantakan. Itu terlalu cepat,” jawabku setengah menutupi cerita. Aku merasa belum nyaman jika kubeberkan semua yang kulihat malam itu. Berhubung hanya aku yang melihatnya, jadi aku akan menyembunyikannya.

Menjelang sore hari, aku mulai memindahkan tomatku ke pot yang baru. Tanganku masih terus mengaduk tanah dengan pupuk organik dan memasukannya dalam pot. Saat ini aku tengah berbuat ‘kekacauan’ di sebuah ruang luas samping dapur. Pelayan biasanya menggunakan ruang ini untuk menumpuk kardus dan barang bekas, jadi tak masalah jika aku menggunakan tempat ini untuk sesuatu yang lebih berguna, bukan?

“Mengapa kau melakukan hal itu di sini? Aku takut kau mengotori lantainya,” bisik ayah tepat di telingaku.

“Mengapa ayah harus khawatir tentang itu? Bukankah Jossie memiliki banyak pekerja di rumahnya yang bersedia membersihkan apa yang kulakukan?” jawabku sewot. Ayah terlihat kesal dengan jawabanku dan ia menarik daun telingaku hingga aku berteriak nyaring karena kesakitan

“Ayah!” seruku.

“Jangan bandel. Ini rumah orang, hormati pemiliknya.”

“Leil?” panggil Jossie. Mungkin ia tertarik dengan suara nyaringku. Seketika ayah langsung melepas telingaku. Sementara aku hanya bisa menyapa Jossie dengan senyum meringis sambil menggosok telinga yang memerah.

“Aku akan kembali ke rumah untuk memulai perbaikan. Kau bersikaplah dengan baik di sini. Jangan terlalu merepotkan Jossie dan Nyonya Franklin,” kata ayah.

Begitulah dia berbasa-basi untuk pergi meninggalkan kami hanya berdua. Jossie hanya mengamati apa yang tengah aku lakukan. Mengembalikan tomat yang sekarat pada pot baru yang terlihat lebih mewah dari sebelumnya. Aku menemukannya di taman Jossie, daripada pot itu kosong jadi kupakai saja. Aku yakin dia tak pernah keberatan jika aku melakukannya.

“Tomat itu hampir mati, Leil.”

“Kau mengatakan hal yang sama dengan ayah,” dengusku. Jossie hanya tersenyum, ia lalu mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia mengamati tomatku dengan seksama.

“Apa arti pria itu bagimu? Tomat itu ada hubungannya dengan pria itu bukan? Apa arti Pierre bagimu, Leil?” tanya Jossie tiba-tiba. Pertanyaannya menghentikan laju tanganku, pertanyaannya mulai mengusik ketenanganku. Mengapa pula Jossie mengatakan hal itu?

“Aku yang bersedia setiap hari bersamamu. Aku yang berkali-kali menyatakan kekagumanku padamu. Aku yang memerhatikanmu dan berusaha terus menjagamu. Saat ada pria lain, hatiku tidak merelakan hal itu terjadi. Aku tak mau melihat ada pria lain yang mendapat perhatianmu lebih dari perhatianmu padaku. Aku ingin selalu menjadi milikmu. Pria itu membuatku cemburu. Aku cemburu,” ungkap Jossie. 

Seketika jemariku menempel di bibirnya. Menghentikan beberapa kalimat yang mungkin masih akan dikeluarkannya. Ia menatapku lekat hingga kualihkan pandangan menuju tomat yang masih berantakan.Jossie mengalihkan jemariku dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menopang bagian belakang kepalaku. Dia mendaratkan kecupan singkat di bibirku, aku terbelalak dengan aksinya. Setelah kecupannya berakhir, aku segera melarikan diri darinya. Meninggalkan Jossie dan pot tomat yang masih berantakan.

Ada apa dengaku yang terus memikirkan pria aneh itu dan tak bisa melupakannya. Padahal awalnya aku menghindari pria itu. Diam di tepian jendela dan merenungkan betapa bodohnya tindakanku, masuk dalam sergapan Jossie. Aku merasa aneh saat dia tiba-tiba menciumku. Tapi aku tak merasa bahagia, aku tak merasa menjadi Leil si gadis kota yang normal yang mengejar seorang flamboyan bernama Joshua Franklin. Jika aku masih gadis yang dulu, bukankah seharusnya aku bahagia karena Jossie menciumku? Bukankah aku harusnya merasa menang dari semua gadis? Bukankah harusnya aku tengah berpesta dan melompat girang karenanya? Tapi apa yang sedang kulakukan? Merenung dan menyesali peristiwa itu? Mengutuk diriku seolah aku telah melakukan kesalahan besar pada seseorang dan yang terbayangkan hanya pria itu. Pierre.

Ketukan halus mendarat di pintu kamar sementara aku masih tak bergeming dari jendela. Sesekali angin menerpa gaun tidur satinku dan membuatnya melayang tak keruan bertabrakan dengan tirai jendela. Ketukan kembali menggema, dengan malas kulangkahkan kakiku menuju pintu. Jemariku telah bersiap di gagang pintu ketika ketukan itu berubah menjadi sebuah suara.

“Leil, waktunya makan malam. Semua orang sudah ada di ruang makan dan kami menunggumu. Jadi turunlah segera,” kata Jossie di balik pintu dan membuat jemariku kaku seketika. Kuurungkan niat untuk membuka pintu. Apa lagi ini? Makan malam bersama dan aku akan bertemu Jossie lagi?

Meja telah terisi beberapa menu makan malam yang bagiku special karena aku dan ayah jarang makan malam dengan menu yang begitu banyak. Aku duduk di satu-satunya kursi yang masih kosong di dekat Nyonya Franklin.

“Kau sudah mau tidur?” tanya Nyonya Franklin. Mungkin ia tertarik untuk menanyakannya setelah melihatku mengenakan gaun tidur.

“Aku hanya tidak terbiasa makan malam bersama. Apa aku harus berganti pakaian?” tanyaku. Ayah hanya menatapku datar seolah ia kesal dengan tingkahku. Kami pun memulai makan malam, Jossie duduk tepat di hadapanku. Bayangan peristiwa sore tadi membuatku terus tertunduk tak berani menatapnya.

“Ah, airku habis,” kata ayah sambil mengangkat gelasnya. Jossie dengan sigap mengambil gelas ayah dan mengisinya kembali. Ayah tersenyum puas setelah meneguk airnya.

“Senang sekali, rasanya seperti aku punya menantu,” celetuk ayah. Aku nyaris tersedak mendengarnya. Nyonya Franklin menyodorkan gelas sambil mengusap bahuku.

“Ya. Kurasa mereka sudah berada di usia yang matang untuk menikah,” tambah Nyonya Franklin. Ayah terbahak mendengar persetujuan Nyonya Franklin. Jossie juga ikut tersenyum.

“Apa itu lampu hijau untukku ibu?” tanya Jossie. Kuletakan sendok dan garpu di atas piring yang telah kosong.

“Terima kasih makan malamnya. Aku sudah selesai, selamat malam.” Aku segera undur diri. 


(Bersambung…)

2 komentar:

  1. ditunggu lanjutannya bang
    semangat ya ^^

    BalasHapus
  2. Wah maafkan nih jadi nungggu setahun buat lanjutannya. Harusnya pake pemberitahuan holiday, hehehe libur panjang

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.