[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 17

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Keping 17 tersedia. Quotesnya adalah ga perlu nunggu ulang tahun supaya dapet kejutan. Spoiler: keeping ini berisi kejutan kecil. Pembuka keran penasaran untuk kelanjutan keeping berikutnya. Happy reading…

LEIL
“Siapa yang kau cari?” tanya June setelah melihatku berkali-kali melongok ke arah jalanan. Kupikir ia tak menyadarinya karena sibuk dengan kalkulatornya.
“Apa kau melihat Pierre melintas?”
“Pria aneh itu. Ternyata kau masih penasaran padanya. Cobalah untuk tetap fokus pada Jossie. Kau mengabaikannya terlalu lama.”
“Kemarin kami baru saja bertemu.”
“Benarkah? Apa dia mengajakmu makan malam lalu melamarmu dengan cara yang romantis? Aku sudah menduga bahwa dia ingin serius denganmu.”
“June? Kami bertemu di hutan. Mungkin dia merindukan senapannya. Dia berburu lagi bersama beberapa pemburu yang juga teman ayah.”
“Astaga Leil, sedang apa kau di hutan?”
“Aku menunggu Pierre.”
“Pantas saja Jossie memilih berburu. Mungkin dia mencari kepala lain yang bisa ditembaknya. Aku merasakan kekesalan yang dirasakan Jossie atas sikapmu itu. Jika aku jadi Jossie, akan kulepaskan seekor kelinci bertopeng wajahmu dan kutembak dari kejauhan.”
“Lucu sekali June,” kataku sambil menguap lebar. Seharian ini aku mencoba fokus pada pekerjaanku. Tapi sia-sia, aku masih terus memikirkan Pierre juga pertanyaan Jossie. June malah menimpakan dua buku besar di hadapanku. Kulirik jam tanganku untuk memastikan bahwa jam kerjaku segera berakhir.
“Kerjakan laporan keuangan untuk bulan ini. Akan kutunggu besok pagi.”
“Maaf, jam kerjaku habis,” jawabku dengan senyum nakal.
“Kau akan mengerjakannya di rumah. Bukankah itu baik-baik saja? Manfaatkanlah kecerdasanmu untuk melakukan hal yang berguna. Setidaknya itu lebih baik daripada minum kopi sambil memandangi pot tomat.”
“Astaga, darimana kau tahu?”
“Ayahmu menelponku kemarin malam. Dia mengeluhkan sikapmu yang melamun di teras rumah dan tak akan bangkit jika tak ada kopi. Kupikir aku akan memberimu pekerjaan hingga kau tak punya waktu untuk melamun.”
“Sempurna,” jawabku kesal. June hanya mengangguk.
Ia kemudian mulai menutup tirai tokonya dan membereskan semua peralatan. Jam berdentang sepuluh kali juga bersamaan dengan alarm handphone-ku. Itu artinya toko tutup, untuk malam minggu kami memang buka lebih lama. Karena June percaya bahwa malam minggu selalu menjadi harinya makan malam romantis. Dengan harapan bahwa ia juga mendapatkan banyak keuntungan dari pelanggan yang akan kencan.
Aku masih memandangi dua buku itu dengan enggan. Padahal aku sudah bersiap dengan tasku untuk pulang. June menemukanku dengan wajah itu dan langsung berujar.
“Akan kuantar kau pulang dan tambahan gaji atas kerja kerasmu di bulan depan. Anggaplah itu sebagai kabar baiknya.” Senyumku langsung mengembang.
“Baiklah. Setuju,” jawabku riang.
Seperti janjinya, June mengantarkanku tepat sampai ke halaman rumah. Lampunya sudah menyala terang. Dengan malas, aku masih duduk dan mengumpulkan niat untuk turun. Padahal aku sudah berencana untuk langsung tidur, tapi pekerjaan terus mengikutiku. June yang sepertinya kesal melihat keenggananku langsung mendorongku untuk bergeser keluar.
“Terima kasih June,” kataku datar.
“Selamat malam. Jangan lupa tugasmu, kerjakan serapi mungkin. Sampai ketemu Senin,” katanya sambil mengisyaratkanku untuk menutup pintu mobil. Tunggu sebentar!
“Senin?”
“Ya, Danny kembali dan kupikir kami akan habiskan hari Minggu bersama. Sepanjang hari, itu akan menjadi momen langka sepanjang pernikahan kami. Aku tak akan melewatkan waktuku hanya untuk membuka toko,” ujar June sambil berlalu. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Mencerna kalimat June dan langsung melompat kegirangan.
Kubuka pintu pagar dan berlari memasuki rumah. Malam begitu dingin, kupikir aku akan segera menyeduh kopi dan menikmatinya di tempat favoritku. Ya, tentu saja bersama tugas dari June. Cuma itu satu-satunya yang akan mengganggu kesenanganku. Tapi bonus dan liburan esok hari kupikir menjadi balasan yang setimpal. Aku akan mengerjakannya semalaman lalu tidur sepuasnya di hari Minggu. Rencana yang sempurna.
“Ayah, aku pulang.” Langkah bersemangatku segera terhenti karena pintu yang terkunci. Ini aneh, apa ayah belum pulang? Kukira ini sudah begitu malam untuk berburu. Beruntung aku masih menyimpan kunci cadangan dalam kantong kecil di tasku.
Saat aku masuk, lampu ruang tamu sudah dinyalakan tapi setiap kamar masih gelap. Juga kamar ayah, lampu dapur juga menyala temaram. Kuletakan tas ku di sofa ruang tamu. Langkahku justru terseret ke arah ruang makan karena aroma kopi yang khas. Tapi tak ada apapun di aas meja kecuali sebuah toples besar dengan secarik kertas di bawahnya.
Leil, maaf harus meninggalkanmu. Aku ada pekerjaan di Tersa, hanya sebentar. Aku segera kembali, ini permintaan maafku.
Love you, dear.
Satu toples besar berisi kopi robusta yang baru saja dipanggang? Oh ayah memang benar-benar mengerti apa yang kubutuhkan. Aku menuju kamar mandi sementara kupanaskan air untuk menyeduh kopi. Air hangat mulai mengucur dan menitik lebat ke sekujur tubuhku. Terasa sangat nyaman dan menenangkan apalagi setelah seharian ini bekerja. Ini akan jadi malam yang panjang dan menyenangkan.
Televisi sudah menyala, tapi bukan waktunya untuk menonton. Ini waktu yang tepat untuk menghabiskan secangkir kopi dan mengerjakan pekerjaanku. Butuh waktu yang cukup lama untuk merekap semua pengeluaran dan pemasukan toko. Aku juga harus membolak-balik buku nota dan beberapa bukti pembayaran. Ini lumayan menyebalkan.
Tanpa kuduga, aku menguap lebar. Ini tengah malam dan aku tengah mengerjakan laporan keuangan. Padahal aku sudah menghabiskan kopiku, bukankah mustahil jika aku mengantuk. Kutinggalkan semua buku itu pada televisi yang masih menyala. Sementara aku keluar dan duduk di sofa favoritku sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Entah mengapa, aku kembali tertarik pada tomatku dan membayangkan Pierre. Apa yang tengah dia lakukan sekarang? Aku beringsut dan akhirnya meringkuk di atas sofa. Angin malam memang dingin, rasa kantuk memuncak ketika lagu yang kudengarkan sedikit pelan. Mungkin aku akan tidur sejenak lalu melanjutkannya esok pagi.
Tiba-tiba aku mendengar percakapan yang tak begitu jauh dari tempatku sekarang. Ini bukan pendengaran biasa, ini keanehanku. Ada yang tengah mengamatiku dari kejauhan. Apa yang harus kulakukan? Langsung kumatikan lagu yang tengah kudengar. Berharap bisa lebih fokus aku mengerti apa yang mereka perbincangkan. Aku akan sangat berterima kasih jika mereka tak membicarakan tentang darahku.
“Jadi gadis kecil ini yang memiliki bakat menakjubkan itu? Sudah lama tak ada manusia yang dianugerahi kemampuan itu dan sekarang dia muncul.”
Bakat menakjubkan? Apa yang mereka maksud adalah keanehan ini? Aku terus merosot ke posisi meringkuk. Mungkin mereka akan mengira aku tertidur selagi aku mencuri dengar obrolan mereka.
“Ini kesempatan emas, kita bisa langsung membawanya.”
“Benarkah semudah itu?”
“Belum ada yang mengetahui bakatnya. Kulihat dia belum terikat dengan siapapun, hanya saja aku mencium bau serigala.”
“Memang samar.”
Astaga, percakapan apa yang baru saja kudengar. Apa mereka membicarakanku dan keanehanku ini? Apa yang mereka cari dari kemampuanku? Mereka semakin mendekat dan niatan untuk membawaku juga, apa mereka gila. Ini bisa kuadukan sebagai kasus penculikan. Sementara aku masih saja bertingkah seolah aku tengah tertidur lelap tanpa menyadari bahaya dari orang gila yang diam-diam mengagumi keanehanku.
“Pergilah!”
Kudengar ada seorang lagi yang muncul dan dia berdiri tepat di depanku. Aku tak melihat wajahnya karena dia memunggungiku. Dia juga mengenakan jubah hitam jadi sulit bagiku untuk mengenalinya.
“Jadi kau ada di sini juga? Dia milik kami dan jika kau tak menyingkir maka kau akan mati,” kata si penculik. Mereka kini berdebat tepat di hadapanku.
Entah apa yang dia lemparkan tapi itu mengenai lampu teras dan kegelapan semakin meraja. Mataku semakin sulit menangkap rupa mereka. Yang bisa kulihat hanya tiga pasang mata bersinar merah dalam gelap. Astaga, mereka vampir?
“Jangan abaikan perkataanku dan gertakanmu tak ada artinya,” kata pria berjubah yang perlahan kukenali suaranya.
“Kau juga harus tahu kalau kami tak menerima perintah dari makhluk rendahan sepertimu. Jadi menyingkirlah keras kepala!”
Sesaat kemudian aku mendengar adanya perkelahian. Angin yang tadinya teratur kini tersingkap kemana-mana. Tapi malam tetap hening, seolah perkelahian mereka berada di waktu yang berbeda. Mereka berkelahi dalam hening sementara aku mengintip sambil kedinginan tersapu angin dari perkelahian mereka. Bukan hanya kedinginan, semakin lama suara mereka semakin menjauh atau aku yang menjauh dari kesadaranku. Aku tak lagi bisa mendengar atau melihat apapun kecuali merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhku. Aku tak lagi merasakan kedinginan itu. Apa yang terjadi? Apa aku mati?
Sebuah suara gaduh menjadi fokus pendengaranku kini. Aku kembali bisa mendengar namun belum bisa membuka mata. Suara langkah kaki yang terdengar setengah berlari tergesa menuju ke arahku lalu pintu kamarku terbuka.
“Leil,” panggilnya.
“Pierre?” igauku.
Seketika aku terbangun dan melihat ayah sudah membobol pintu kamarku. Nafasnya tersengal-sengal dan kulihat ia tengah mengaturnya agar kembali teratur. Aku sudah berada di tempat tidurku, berbalut selimut tebal dan seseorang menyalakan penghangat ruangan di kamarku.
“Ayah? Ada yang gawat?” tanyaku. Dia segera menghampiriku dan memeriksaku dengan teliti. Mulai dari pipi kanan, kiri, kedua lenganku bahkan dia menyingkap selimut untuk melihat kakiku apakah masih utuh. Dia melakukannya dengan diam tanpa menjelaskan alasannya. Padahal aku membutuhkan alasan itu.
“Ayah?”
“Syukurlah kau baik-baik saja. Aku khawatir kamu terluka sayang.”
“Apa sih yang sebenarnya ayah katakan?” lagi-lagi ayah mengabaikan pertanyaanku. Dia langsung mendekapku erat. Tingkahnya membuatku semakin bingung. Ia kemudian melepasku dan menginggalkanku sendiri. Aku tertarik untuk turun dari ranjangku dan melongok ke luar kamar. Ayah tengah menelpon tanpa melepaskan senapannya. Aku hanya terperangah melihat sekitar.
“Apa yang terjadi?”
Pintu rumahku jebol dan hanya menyisakan dua tiang yang masih berdiri. Pecahan kaca berserakan dimana-mana, aku harus teliti saat memilih pijakan untuk melangkah. Televisi satu-satunya yang kami miliki kini terbelah dua karena sabetan pisau atau sesuatu yang lebih besar seperti pedang atau kapak. Anehnya lagi, ada banyak bulu binatang yang tersebar di beberapa sudut tembok yang runtuh. Bulunya halus dan panjang, seperti bulu kucing hanya saja lebih besar dan tebal. Apa yang sebenarnya menyerang rumahku?
“Ayah jawab aku,” tuntutku.
“Hanya serangan begundal kelas teri.”
“Ayah, begundal mana yang bisa merobohkan pintu rumah dan membelah televisi? Atau menebarkan bulunya ke seluruh ruangan. Jawab aku dengan serius, kumohon.”
“Sepertinya aku harus ikut berburu serigala itu.”
Serigala? Mungkinkah serigala yang ayah maksud adalah makhluk yang diburu Jossie kemarin? Dengan ukuran yang diceritakan Jossie, kemungkinan serigala itu adalah werewolf. Tapi ayah pernah berjanji bahwa ia tak akan berurusan dengan makhluk berbulu itu karena merekalah yang menyelamatkan aku dari vampir saat aku kecil. Atau mungkin saja, werewolf itu kembali menyelamatkanku. Kutangkupkan kedua jemariku di wajah ayah dan membuatnya menatapku.
“Aku melihat tiga vampir datang dan mengatakan hal aneh tentangku. Lalu seseorang menghalanginya dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Yang kutahu, pagi ini aku sudah ada di tempat tidur dan rumahku hancur.”
“Kita belum tahu pasti, Leil. Setidaknya bulu-bulu itu menuntunku pada si serigala dan darah yang kutemukan. Aku yakin serigala itu tak baik-baik saja setelah serangan semalam. Jadi aku bisa mengejar jejak darahnya ke hutan,” jelas ayah sambil mengecup keningku.
“Aku sudah menghubungi Nyonya Franklin dan mengatakan bahwa kita akan menginap.”

(Bersambung…) 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.