[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 1


Ini dia yang ditunggu dan dinanti (semoga), setelah launching pengumuman tentang fiksi fantasi di blog ini. Sebenarnya cerita ini sudah lama tersimpan, hanya saja baru kali ini saya merasa siap untuk mempublikasikannya. Berhubung pasar untuk novel fantasi sangat langka, jadi saya pikir lebih baik berbagi cerita dengan cara ini. 

Seperti yang saya tuliskan di postingan  sebelumnya, cerita ini merupakan cerita bersambung dengan genre fiksi fantasi yang memadukan kisah mistis modern yang memang bukan asli Indonesia. Jadi, sudah siap cangkir kopinya? Oh iya, postingan ini akan memadukan hobi nulis dan gambar saya loh. Jadi nantikan saja di bagian pertengahan tulisan untuk dapatkan sketsa ilustrasi tentang cerita. Selamat menikmati...

P.S: Ilustrasi coretan tangan hanya optional, jika ada waktu dan mood untuk menggambar.



LEIL
Halo, apakah ini pertama kalinya kita bertemu? Baiklah, akan kumulai dengan perkenalan. Namaku Leil Grazdien, umurku nyaris dua puluh lima tahun dan aku masih single. Ya, aku tahu, memberitahukan status single memang terasa menyedihkan. Toh siapa yang peduli. Benar 'kan?

Aku lahir, tinggal dan bekerja di sebuah kota kecil bernama Viga. Jangan harap kau akan menemukannya di atlas dunia, bahkan luasnya terlalu kecil untuk mampir sebagai sebuah titik dalam buku ajaib itu. Aku bekerja sebagai florist di toko temanku. Jika kau tanya apa aku sedang santai, maka kujawab tidak. Aku sangat sibuk hari ini dan aku tengah memperkenalkan diriku sambil menguncir rambut. Sambil terus memelototi beberapa helai rambut bandel yang tak mau merapatkan diri dalam kunciran.

Dering telepon membuatku buru-buru menuntaskan urusan dengan rambut bandel. Kuncir ekor kuda segera terbentuk meski sedikit acak-acakan karena tangan lebih memilih untuk segera mengangkat telepon daripada membenarkan kunciran.

"Halo, La Beau Florist," sapaku dengan kalimat khas untuk menyambut pelanggan.

"Halo Leil. aku pesan buket Lily untuk pernikahanku esok," seru suara di ujung telepon. Aku tahu siapa yang menelpon- kupikir. Kami memang memiliki  beberapa pelanggan setia yang bahkan sudah saling kenal sejak SMA.

"Tentu. Akan kupilihkan yang terbaik untukmu. Semoga kalian bahagia, Keane," kataku menutup percakapan sambil menulis memo tentang pesanannya.

Seperti yang kukatakan tadi, aku bahkan tak perlu menanyakan nama dan alamat bunga itu akan dikirim. Kali ini Keane yang memesan bunga untuk pernikahannya. Sebenarnya aku tahu bukan karena aku sangat hafal apalagi cenayang. Undangan pernikahannya ada di atas meja kasir, jadi sangat mudah ditebak bukan? Apalagi dia adalah tetangga dan teman bermainku. Kalau dipikir-pikir, sekarang aku kehilangan satu lagi teman bermain. Kemarin Linda dan Sarah, sekarang Keane. Siapa lagi yang bisa kuajak jalan-jalan jika mereka semua mulai sibuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.

"Aku pulang," sapa June, bosku. Ia baru saja kembali dari mengantarkan paket bunga sekaligus menghadiri pernikahan temannya.

June melirik ke arahku dengan tatapan mata yang aneh untuk jangka waktu yang cukup lama. Hingga terasa aneh dan akhirnya tawa pecah memenuhi ruang kecil toko kami. Viga memang kota kecil di kaki pegunungan dengan udara yang cukup bersahabat untuk menanam bermacam bunga. June memulai bisnis ini sejak lulus SMA. Toko saat ini juga lumayan sempit namun aku bahagia bekerja di sini karena ada satu keistimewaan yang tak dimiliki toko bunga lainnya. Kami tidak menerima pesanan bunga untuk acara pemakaman maupun prosesi duka cita. Jadi, kami berharap kebahagiaan selalu terpancar. Aku mulai merangkai beberapa Lily segar menjadi buket indah. Yang kutahu, buket untuk pernikahan harusnya menjadi lambang kebahagiaan dan kesucian. Aku akan bersungguh-sungguh memberi Keane yang terbaik.

"Kapan kau menikah? Kau sudah cukup dewasa untuk menikah," celetuk June. Kuberitahu ya, dia hebat dalam dua hal; menebak dan meledek.

"Kau sendiri kapan punya anak? Menikah sudah lama tapi tak juga punya momongan," balasku.

"Sialan, beraninya kau meledekku. Akan kuhajar kau," kata June sambil melemparkan beberapa tangkai Lily.

Aku langsung bersin-bersin ketika serbuk sari Lily menerobos rongga hidung. Dia tahu aku kurang bersahabat dengan serbuk bunga. Tawa June membahana melihatku berjingkat menghindari bunga yang ia lempar. June adalah kakak kelasku di SMA dulu. Ia sudah tiga tahun menikah, tapi mereka belum juga punya anak karena kesibukan suaminya yang tergabung dalam tim eksplorasi minyak di Timur Tengah. Gemerincing lonceng toko terdengar nyaring seiring terbukanya pintu. Kami segera menghentikan 'perang' dan senyum manis otomatis terpasang.

"Selamat datang," seruku dan June bersamaan.

"Jossie," sapaku setelah tahu ternyata yang memasuki toko adalah Joshua Franklin alias Jossie, teman sekelasku di SMA. June berdehem sambil menyikut lenganku lalu melarikan diri. Membiarkan aku menghadapi pria pirang menjulang ini seorang diri.

"Bunga apa yang kau inginkan, Josh?"

"Seratus tangkai mawar merah segar."

"Tentu."

"Mau menuliskan sesuatu?" tanyaku lagi.

"Tentu," kali ini Jossi membalasnya dengan senyuman menawan.

"June, seratus tangkai mawar merah segar," teriakku pada June di kebun belakang. Lalu kuserahkan secarik kertas pink beraroma mawar dan sebuah pena untuk Jossie. Ia mulai menulis di kertasnya dan aku mencoba mengintip apa yang ia tulis. Ternyata kegiatan spionase ini diketahui June dan ia segera menegurku.

"Leil? goda June sambil melirik tajam dengan tambahan seringai menyeramkan. Jossie jadi mengarahkan fokusnya padaku.

"Akan kurangkai pesananmu," kataku berkilah.

Menyebalkan si June. Seharusnya aku bisa tahu untuk siapa bunga ini dikirim. Setidaknya dengan begitu akan kudapatkan banyak uang tambahan untuk gosip terbaru tentang Jossie. Untuk informasi saja, Jossie adalah putra tunggal keluarga konglomerat yang memiliki ratusan bisnis besar yang tercecer di setiap penjuru kota. Bahkan di luar kota juga. Setelah kematian ayahnya beberapa tahun lalu, kesibukannya sebagai penerus usaha makin menghimpit waktu luangnya. Tapi hal itu tak menyurutkan niat teman-temanku untuk terus memburunya. Berharap dapatkan hati Jossie dan akhirnya mendapat prestige sebagai nyonya muda di kediaman Keluarga Franklin.

Jossie memang flamboyan semenjak di sekolah. Selain karena kekayaan dan kehormatan keluarganya, ia adalah pribadi yang rendah hati nan sederhana. Ia tak pernah membedakan teman dan mengekslusifkan stats sosialnya. Ia juga selalu masuk dalam tiga besar juara kelas. Dia menguntit di posisi ketiga sedangkan aku menduduki posisi kedua. Tapi asal kau tahu saja, itupun karena semua PR nya adalah hasil kerjaku dengan upah sebelas dollar untuk satu mata pelajaran. Lumayan untuk menambah pemasukan bulanan.

"Mawar datang," kataku.

"Semoga gadismu menyukainya Josh," kata June seraya menyerahkan keranjang berisi rangkaian mawar merah segar yang telah kurangkai indah dengan selembar ketas merah muda bergelayut di salah satu tangkai mawar.

"Terima kasih June, ini mawar yang indah," balas Jossie sambil memerhatikan rangkaian mawar. Tapi dia melewatkan tatapanku yang tengah sibuk menikmati senyumnya.

"Leil? Apa besok ayahmu ada di rumah? Aku ingin sekali mengajak kalian berdua memancing bersama."

Ah sialan. Jossie akhirnya tahu aku sedang memerhatikan dan gugup merangkai jawaban.

"Yap. Ayah pasti bisa. Tapi apa itu tak mengganggu pekerjaanmu?"

"Aku mulai bosan dengan tumpukan kertas di meja kerjaku. Lagipula ibu setuju untuk berlibur besok, aku mengajaknya."

Jossie menarik setangkai mawar dari keranjang dan menyerahkannya padaku. Apa yang dia lakukan? Wajahku pasti lebih merah daripada mawar-mawar ini. June hanya menganga seolah kehabisan kata-kata saat menyaksikannya.

"Anggap ini sebagai undangannya."

Aku menerima mawar itu, lalu Jossie mengangkat keranjangnya dan di depan pintu ia kebingungan tak bisa membukanya karena kedua tangan penuh memeluk keranjang. Kususul ia untuk membukakan pintu.

"Terima kasih lagi, Leil. Datanglah, aku menunggu kalian," kata Jossie sambil melempar senyum manis sebelum berlalu dengan mobil sport hitam. June mendekatiku dengan teriak melengkingnya lalu kami melompat girang bersama.

Bonus: Leil bukain pintu buat Jossie dan dapatkan satu dari seratus tangkai mawar. Asikk

"Ini benar-benar hari yang gila!" teriakku lantang.

Aku sangat tak menyangka hal ini terjadi. Selama ini aku hanya mengerjakan PR nya, menatapnya di tengah kerumunan para gadis, mendapat upah darinya, mengawasi untuk dapat gosip tentangnya. Tapi kini, ia mengundangku dan ayah untuk berlibur bersama ibunya. Ini luar biasa.

"Kurasa ia mulai menyukaimu, Leil. Selamat ya, aku berdoa supaya kau benar-benar menjadi nyonya muda Franklin."

"AKU BAHAGIA."

"Tentu kau harus bahagia. Kau dapatkan datu dari seratus tangkai mawarnya dan kesempatan untuk mendapat satu per seratus bagian di hatinya!"


(Bersambung...)




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.