[Fiksi Fantasi] 3BLOOD KEPING 29

Post pertama di tahun 2017. Yeay, temanya adalah menyelesaikan project mangkrak. Yap, tahun baru saya bersemangat untuk menghidupkan kembali blog apalagi dengan tampilan baru. Keping ke 29 dari cerita fiksi fantasi Chapteranian. Untuk kepingan sebelumnya bisa baca di 3BLOOD Keping 28 Happy Reading

P.S: saya buatkan cover terbaru untuk 3BLOOD. 



PIERRE
Cuaca amat cerah, pancaran sinar mentari mencoba menembus tirai hitam yang melapisi tiap jendela kaca. Tapi ada saja beberapa yang berhasil menembus melalui celah ventilasi. Saking terangnya, aku harus membuat mata beradaptasi sejenak saat pertama kubuka. Tubuhku masih berada di atas sofa terbungkus selapis kain polos. Tapi bukan sofa biasanya, lalu kuarahkan pandangan menyapu seluruh bagian ruang. Sofia, dimana dia? Langsung kurasakan dua hal aneh terjadi pada kedua tanganku. Begitu kusingkap kain itu, aku semakin tak mengerti. Perban membalut lengan kiri sedangkan gelang perak mengunci pergelangan tangan kanan. Apa yang terjadi? Rasa penasaran memacu langkah untuk cepat menemukan Sofia.

Ini bukan rumah Sofia, ini bukan rumah yang selalu kutuju untuk bersembunyi. Kutelusuri satu persatu ruangan untuk menemukan Sofia. Tapi yang kutemukan hanya ruang kosong tanpa properti. Tak ada meja, kursi ataupun lemari. Tanpa hiasan dan tanpa warna, hanya putih yang mulai menguning dengan  sarang laba-laba di sudutnya. Akhirnya kutemukan Sofia dalam ruangan yang bernuansa hitam. Kain-kain hitam meredam cahaya matahari, menari ketika angin perlahan berhembus. Ia tengah duduk sambil memandangi tiga tangkai mawar putih dalam vas yang lehernya pecah. Seperti biasa, Sofia mengenakan gaun hitam panjang tanpa ornamen. Rambut ikal keemasannya tetap bergelombang jatuh. Ia sama sekali tak berkata-kata, aku bahkan yakin dia tak menyadari keberadaanku. Tak seperti biasanya.

"Sofia," panggilku. Dia menoleh dan kulihat matanya basah. Ia menangis?

"Sejak kapan kau berada di sana?" tanya Sofia gugup. Aku segera menghampirinya, berlutut di hadapannya agar aku bisa memandangi wajah muram itu dengan jelas. Benar saja, ia tengah menangis. Saat memandangnya, sebulir air mata meluncur.

"Ada apa?" Sofia luruh dari kursi, kini ia tidur di pangkuanku. Kubelai rambutnya yang halus dan kini menyapu lantai. Ia masih belm mengatakan apapun.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Sofia. Dia bahkan tak menjawab pertanyaanku, berarti dia memang tak mau membaginya. Ya, biarlah itu jadi rahasianya sendiri.

"Berapa lama aku terbaring?" tanyaku. Sofia tetap di pangkuanku, dia mengarahkan wajahnya tepat menatapku.

"Hanya tiga hari, bahkan kau bangun lebih cepat dari yang kuperkirakan."

"Apa yang terjadi tiga hari lalu?"

"Kau tahu apa yang terjadi. Aku hanya akan menjawab satu kali saja. Pilih pertanyaan yang tepat."

Kupikirkan lagi, kemungkinan yang bisa terjadi. Gelang perak ini hanya Sofia gunakan jika ia tak sanggup menyadarkanku ketika darah vampir buas bangun dalam tubuhku. Sedangkan perbannya dan hal yang membuatku terlelap berhari-hari.

"Aku keluar dari rumahmu karena mencium darah yang begitu menggiurkan. Tapi setelah itu tidak lagi, aku tak mengingatnya. Apa kau terluka?"

"Bukan aku, tapi makhluk yang lebih nyata."

"Manusia? Bagaimana keadaannya? Katakan padaku kalau dia baik-baik saja." Ini benar-benar kesalahan besar. Bagaimana bisa aku jadi ceroboh dan melakukan hal terkutuk itu. Siapa pula manusia malang itu?

"Joshua Franklin, dia mati." Astaga! Joshua Franklin, apa yang kulakukan?

"Leil," gumamku.

"Dia menyaksikannya."

Mimpi buruk baru saja dimulai. Leil akan membenciku selamanya karena hal ini. Aku telah kehilangannya dan kecerobohanku yang menghilangkannya. Aku melakukan kesalahan besar padamu, Leil. Mampukah kata maaf menghapusnya atau aku harus menghapus dosa itu juga diriku? Mungkinkah kehidupan memang bukan takdirku? Setiap langkah menuju kehidupan yang kulalui selalu merenggut kehidupan orang-orang yang kulewati.

"Kau sudah kehabisan pertanyaan?" cecar Sofia ketika aku mulai diam. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk Leil.

"Temui dia."

"Apa?"

"Semua yang kausembunyikan hanya akan menjadikanmu semakin tak termaafkan. Sebaiknya katakan pada gadis itu. Tapi aku tak yakin dia akan memahamimu dan memaafkan..."

"Aku tak berharap termaafkan,"

"Baguslah jika kau sadar diri. Ayo segera bersiap."

Aku terlambat untuk mengatakan bahwa aku bisa sewaktu-waktu menjadi vampir atau werewolf. Atau secara bersamaan menjadi keduanya. Tapi Leil menerimaku begitu saja tanpa tahu apa-apa. Aku masih berhutang maaf atas pengertiannya tentang keadaanku. Tapi kini, aku kembali memohonkan maaf padanya atas kebodohanku. Kebodohan yang benar-benar tolol, bahkan aku sendiri tak bisa berhenti memaki.

Sofia membantuku menutup luka di lengan kiri. Ia lilitkan beberapa lapis kasa, berharap darahku tak menembusnya. Luka karena pisau perak memang menyakitkan. Juga memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyembuhkannya. Sofia bercerita tentang luka ini, Leil yang melemparkan pisau itu ketika aku menyergap Pierre. Kau pasti sangat ketakutan, Leil. Maaf...

"Selesai, kau siap untuk berkencan," ledek Sofia.

"Kau begitu cekatan membalutnya."

"Hanya memastikan tidak ada vampir yang tergoda untuk mencicipimu. Meskipun saat ini kau adalah vampir, tapi darahmu tak berubah. Dia tetap saja menggiurkan," kilahnya. Memang Sofia selalu menyembunyikan kepeduliannya di balik kalimat itu. Tapi dia tetap sama, dia masih sangat perhatian bagai seorang ibu untukku.

"Pakailah warna gelap, itu akan membantu."

Aku hanya mengangguk menerima saran Sofia. Dia memakaikan kemeja abu-abu ke tubuhku, kemudian ia melemparkan sweater hitam polos padaku. Kupandangi sweater itu lekat hingga sebuah keraguan mulai menyelinap.

"Aku tak yakin," gumamku lirih. Sofia langsung menamparku keras meski tak kurasakan sakitnya. Ia juga pasti tahu bahwa tindakannya sia-sia. Tapi kini ia menusukku dengan tatap tajamnya. Satu yang benar bisa membuatku menyesal mengatakannya.

"Kau bilang padaku bahwa kau mencintainya. Kau bilang akan melindunginya. Jika memang benar, buktikanlah."

Aku segera menuju rumah Leil ketika gelap. Mobil ayahnya ada di halaman, lampu taman tak menyala lagi. Hanya lampu teras yang menyala redup. Bahkan tak ada suara apapun dari dalam rumah. Ini tak seperti biasanya. Cara paling normal untuk tahu adalah mengetuk pintu dan itulah yang sedang kulakukan. Samar, ada langkah kaki yang mendekat. Suaranya berat berdebum, pasti Tuan Grazdien.

Pria itu menyambutku dengan senapan, tepat mengarah ke jantung. Apa sekarang dia tahu aku bukan manusia? Apa Leil sudah mengatakan semuanya supaya ketika aku datang, ayahnya bisa dengan mudah melubangi jantungku dengan peluru perak?

"Selamat malam, pak."

Sepertinya ucapan basa-basiku tak bereaksi apapun pada wajah tegang Tuan Grazdien. Dia tetap saja menghunus senapannya padaku. Aku mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan mencoba meyakinkan dengan cara lain bahwa aku tidak bermaksud buruk.

"Dengan entengnya kau berucap setelah apa yang terjadi. Kau pikir aku akan membalasmu dengan mengucap selamat malam dan oh silahkan duduk dan nikmati kopinya. Begitukah yang kau inginkan?"

"Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin bertemu Leil."

"Huh, tentu saja kau hanya ingin bertemu puteriku. Lalu mengapa tak hadapi saja ayahnya yang pemburu vampir ini!"

"Tuan Grazdien, bisakah aku bicara dengannya?"

"Kau ingin bicara dengannya?" aku hanya mengangguk. Tak terduga, dia malah memukulkan popor senapannya tepat mengenai wajahku. Aku mundur beberapa langkah untuk memberi efek manusiawi. Dia maju dan mencengkeramku untuk menghantamkan ke dinding. Kupikir ia akan langsung melubangi jantungku tapi ia justru luruh. Senapannya lepas dari genggaman, ia kini duduk tak berdaya di hadapanku.

"Aku tak berguna," gumamnya lirih.

"Tuan Grazdien, maafkan aku."

"Aku minta maaf, kau tak bisa menemui Leil."

"Jika itu karena..." aku telah membunuh Joshua Franklin dan Leil menyaksikannya?

"Leil tak ada di sini. Ia melaporkan diri ke polisi atas kasus pembunuhan Joshua Franklin."
***

LEIL
Tempat apa ini? Aku bahkan merasa tak hidup di sini. Teralis besi berjajar mengelilingiku. Aku tak tahu untuk apa, tapi aku merasa terkurung. Mungkin itulah fungsinya. Mengurungku. Gelap membalut permukaan mata hingga aku merasa tempat ini kosong bagai ruang hampa. Dengan siapa aku bicara? Bahkan, siapa aku? Hingga aku berada di tempat seburuk ini. Aku masih meringkuk di atas lantai tanpa alas tidur. Dinginnya sudah biasa menyelimutiku. Dinginnya mengingatkanku akan kerinduan pada sesuatu. Tapi apa? Apa yang kurindukan? Apa yang kulupakan?

"Jadi, dia gadis yang kau maksud?"

Aku mendengar suara seseorang atau aku tak pantas menyebutnya seseorang? Aku telah mengeliminasi seseorang dari jangkauan bakat ini. Mereka bukan manusia, suara-suara yang biasa kudengar adalah suara para makhluk supranatural. Mungkin mereka vampir. Apa bagi mereka darahku masih terasa enak setelah aku terkurung di tempat ini dan kehilangan nafsu makan?

"Apa darahku masih terasa enak? Aku hanya gadis yang terabaikan sekarang. Aku berterimakasih kalian mau menjengukku ketika ayahku sendiri bahkan tak pernah datang."

"Ternyata memang benar. Kau gadis yang berbakat," kata seorang pria berwajah pucat yang akhirnya menampakkan diri di hadapanku. Matanya merah bersinar dan itu mengingatkanku pada sebuah kerinduan. Aku rindu bola mata yang sinarnya lebih indah daripada yang kulihat saat ini.

"Apa yang kurindukan? Apa yang kulupakan?"

"Tak ada keinduan yang indah, nona. Semua kerinduan itu akan terasa sangat menyakitkan jadi lebih baik jika kau terus melupakannya."

"Apa yang kurindukan?"

"Bergabunglah bersamaku. Aku akan menghapus kerinduan itu dan memberimu kehidupan baru yang jauh lebih indah," kata pria itu. Dia jongkok di depan teralisku dan menjulurkan tangan kanannya mencoba menyambutku.

"Kau akan mengeluarkanku dari tempat ini?"

"Apa yang kau lakukan! Kita seharusnya membunuh gadis ini dengan cepat. Kita adalah pemburu dan dia si buruan yang bahkan tengah sekarat." Seorang perempuan muncul dari kegelapan, dia datang dengan emosi meluap. Mereka berdua berdebat tentangku.

"Karena aku seorang pembur, aku akan menyerang saat buruanku bisa berlari. Saat ini dia begitu lemah dan tenggelam dalam kesedihannya. Aku akan membawanya dan kita bisa gunakan dia untuk menyerang satu buruan lainnya."

"Maksudmu Pierre?"

Astaga, nama itu? Apakah nama itu yang selama ini kucarai. Aku tak pernah mendengar namanya lagi hingga wanita itu mengucapnya. Pierre yang hangat dan selalu membawa dua tangkai krisan untuk makam ayah dan ibunya yang terabaikan. Bukan! Pierre yang dingin dengan kedua tangan berlumur darah Jossie. Dia membunuh Jossie malam itu dan membunuh Pierre yang hangat.

"Pierre? Yang kurindukan, dia yang kulupakan?"

"Benar nona. Dia yang harus kau lupakan. Bersamaku kau bisa melupakannya dan hidup sebagai seorang pengantin di kehidupan yang kutawarkan."

"Pengantin? Tapi Jossie sudah mati. Jossie sudah mati. Jossie sudah mati!"

Aku berteriak sejadinya, segala yang ingin kulupakan mendadak tergambar jelas di kepalaku. Semuanya kembali dan itu membuatku ngeri. Aku terus berteriak sambil memukul terali dengan cangkir besi yang kumiliki. Tak lama kemudian petugas datang. Mereka mencengkeram tangan dan kakiku lalu memindahkanku ke tempat tidur. Padahal aku tak menyukai tempat tidurnya. Mereka mengikat tangan dan kakiku pada rangka besi tempat tidur. Aku masih mengerang dan berontak. Hingga seseorang menusukkan sebuah jarum ke lenganku. Perlawanan berahkir, semua gelap. Pierre, aku merindukan bola mata turquoise indah itu.

(Bersambung...)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.