INNOVA: Semiotika
Semiotika
Perayaan kelulusan sekolah justru
menjadi jalan menuju kematian. Semua kacau, teror kematian bergema di tiap
dinding tertulis dengan tinta darah. Aku dan Ozan, sahabat terbaikku dan bisa
dibilang dia kekasihku, menempuh jalan yang berbeda demi tujuan yang sama, mencari
jalan keluar untuk teman yang lain karena kunci menuju pintu keluar ada di
tangan kami. Kini…
Tiba-tiba lantai yang kupijak
bergerak halus, bercak merah terbit dari kedalaman keramik putih. Beberapa berjingkat
menghindari cairan merah nyata yang kian membludak. Pekik kengerian langsung
terlepas, aku mencoba mengingatkan rombonganku untuk tenang, tapi percuma. Aroma
amis darah menguar, semakin menguatkan kami bahwa permainan ini semakin nyata.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang ini, tak ada pintu, jendela
maupun sedikit celah untuk lari. Kini dindingpun ikut bergetar membentuk pola
asing dengan tekstur kasar. Awalnya absurd, setelah kuperhatikan sepasang mata
besar, lebar dan mengerikan diam menatap kami.
Mengintai langkah kami supaya
tetap terpaku di lantai beraroma amis. Hidung tipis mulai menyembul dari
datarnya dinding. Anehnya, aku bisa merasakan desah nafasnya yang menerpaku.
Seolah mengendus aroma tubuh mana yang paling dia sukai, mencicipi cita rasa
bongkahan daging muda dalam kacaunya gelombang adrenalin. Perlahan, segaris
mulut mulai terbentuk lengkap dengan gambaran penuh taring, menyebar aroma
bangkai ke udara, amis darah beradu dengan melati pemakaman ikut menguar.
Perutku seolah lepas dari tubuh, meninggalkanku sendiri. Mual, bergejolak terus
berdebam di dalam sana, bak jet coster. Puluhan pasang tangan merekah dari tiap
kegelapan dan menyeret satu persatu dari kami. Aku yang tersisa dan kini mulut
lebar itu menelanku. Setelah kubuka mata ternyata aku berada di lorong lain.
Pintu terakhir.
Kini aku sendiri. Kalaupun aku selamat, bukankah itu egois?
Aku meninggalkan semua teman satu sekolahku terkurung di sini. Aku bahkan tak
tahu mereka masih bertahan atau tidak setelah satu orang gila memulai permainan
maut ini. Kini aku berjalan di lorong hening nan gelap, hatiku kosong nyaris
tak mau melangkah lagi mencicipi rasa baru dari ruang dihadapanku. Habiskah
adrenalin dalam diriku? Kegelapan total berisi jerit mengerikan dan lambaian
tangan yang tak jelas tuannya mengejarku, aku segera berlari menuju pintu
terakhir dengan sisa tenaga.
Sebuah ruang luas penuh peti mati yang seragam. Tapi, kutemukan
sebuah peti yang berbeda, berwarna hitam pekat dengan ornamen berbau kematian.
Kuarahkan senterku untuk melihat detailnya. Ukirannya begitu rumit, kelelawar,
tengkorak, sulur mati, mata tajam, jantung terhujam belati, gagak dan melati
hitam dalam beberapa model terjalin rapi menghiasi tepian peti. Tanpa ragu,
tanganku bergerak menuju sisi-sisinya. Kugeser bagian atas peti itu, suara
deritan mengudara. Perlahan aku mengintip isinya. Sesosok gadis diam di sana,
kaku dan beku. Kedua lengannya terlipat dengan hiasan krisan putih, gaun hitam
indah terbalut ke tubuh mungilnya.Tampak begitu sempurna walau tanpa nyawa,
wajah pucatnya tegak menghadapku, kedua matanya tertutup sempurna hanya
menyisakan bulu matanya yang lentik
penuh keindahan, yang membuatku beku adalah, gadis itu… diriku?
Sempat aku berpikir apakah aku pernah mati? Apa aku tlah
mati sebelum aku mencapai ruang ini? Kubaca sederet kata yang menghiasi bagian
samping peti. Yang mati tak akan kembali.
Yang mati tak akan kembali. Yang mati tak
akan kembali. Yang mati tak akan… Arrgh, tiba-tiba ingatanku mengajakku
terbang ke suatu peristiwa di suatu masa yang bahkan aku tak tahu bahwa aku
memiliki memori seperti ini. Aku melihat diriku di masa lalu bersama seseorang,
ia menghindarkanku dari kematian tapi justru nyawanya yang menghilang. Jurang,
ia meraih tanganku menggenggamnya erat tapi aku justru membawa dia jatuh
bersamaku. Aku mengingatnya, dia memeluk tubuhku dan kami terjatuh bersama ke
dasar jurang, jantungnya hancur dan aku bahkan melupakannya. DEG! Ozan. Aku
segera berbalik dan menemukannya di hadapanku dengan seringai mengerikan.
“Kini kau mengingatku, Liana?” Aku masih diam tak percaya, Ozan
yang di hadapanku adalah saudara kembarku yang dulu terenggut. Aku mengangguk
pelan.
“Ucapkan namaku, aku ingin memastikan bahwa kau tak
melupakanku lagi.” Ozan, saudara sejiwaku. Derai air mata menghias mataku
seraya aku mengucap namanya pelan sambil terbata.
“Fa…ozan…”
Beberapa wajah yang kukenal mulai bergabung
bersama Ozan, berdiri di belakangnya lalu melontarkan tanya yang sama. Tiba-tiba
diriku dalam peti bergerak, jemarinya menggenggam kedua lenganku sementara Ozan
dan yang lainnya bergerak mendekatiku. Mata mereka entah mengapa terlihat penuh
dendam. Aku hanya mampu berteriak liar sambil mencoba mengayunkan pisauku ke
segala arah. Ozan hanya tersenyum padaku, menatapku seperti terakhir kali aku
menatapnya. Memori itu semakin menguat bahkan sampai remah terkecil di hari
itu.
“Faozan Mahardika.”
Aku terus menggeleng tak percaya, semua
ini terasa sangat nyata. Juga semua temanku, Ara, Ira, Candra, Kinur, Bunda
Zahra, Pak Budi dan semua seolah menghakimiku di ujung putus asa. Akhirnya
tangan kananku bisa lepas dari aku- yang lain. Pisauku pun berhasil menembus
jantungnya, seketika darah merah segar mengucur. Bukan dari tubuhnya, tapi dari
jantungku. Apa yang terjadi? Mataku langsung terbelalak saat sakit itu semakin
menghujam. Perlahan, bayangan semua orang memudar yang ada hanya kabut gelap
sebelum tubuhku mulai jatuh. Belum sampai aku menyentuh lantai, aku tlah berada
dalam dekapan Ozan. Senyum mengembang indah, tatapannya begitu menenangkan
seolah menyambut kehadiranku di sisinya.
“Kau berhutang jantungmu padaku, lagi.”
Senyumnya menghiasi
sisa jendela mataku sebelum akhirnya gelap.
*
Samar, kegaduhan mulai merambah telingaku dan menuntun
mataku untuk terbangun. Ara, Candra, Kinur, Ira, Dewi, Vita dan semua temanku
serta beberapa guru tengah memandangku dengan desah kelegaan. Candra memeluk
tubuhku yang masih linglung.
“Darah,”
Aku segera merosot dari peluk Candra dan memeriksa
tubuhku, jantungku utuh. Tak ada luka, darah maupun sakit. Mereka menatapku
kebingungan. Apa ini hanya mimpiku saja, tapi Bunda Zahra mengabarkan bahwa ini
memang terjadi, lima anak menjadi korban malam ini termasuk Ozan. Sekolah
terbakar karena kecerobohan beberapa anak yang ketakutan. Tapi tak ada yang
percaya bahwa Ozan tlah mati sebelum ini dan dia melakukannya hanya untuk
mengembalikan memoriku.
Kembali kupandangi bangunan sekolah yang sebagian
memerah dilalap api. Ya, semua tlah berakhir bukan? Kau benar, yang mati memang
tak akan kembali tapi kenangan akan dirimu tak akan terhenti. Aku janji.
-O-
Tidak ada komentar