Surat Untuk Januari
Januari Lagi
Hey, Januari.
Kau ada dimana sih? Aku mencarimu bahkan sudah sampai ke laut. Kutelusuri sebuah sungai kecil hingga ke laut. Kau pasti tahu sungai mana itu. Karena di sungai itulah aku pertama menemukanmu. Aku yang saat itu masih bodoh soal arah [meskipun sekarang juga tetap sama], terpisah dari rombongan pecinta alam. Ya, mamaku memang selalu mengejekku karena hal itu. Beliau bahkan sempat melarangku bergabung dengan kegiatan di alam bebas. Hari itu aku nekat dan tersesat. Tapi aku bersyukur atas itu. Aku jadi menemukanmu.
Aku menemukanmu di saat yang tepat. Aku sangat bahagia menemukanmu. Kau tahu apa yang ada di pikiranku saat itu? tentu saja kau mungkin akan kesulitan menebak imajinasi liarku, bukan?
Saat itu aku berpikir apakah kau Neptunus atau mungkin Poseidon. Tapi kau di sungai bukan di laut, jadi tentu saja bukan keduanya. Bodohnya aku. Aku hanya melihatmu dari balik semak, mengintip wajah tenangmu yang sedang fokus menyusun batuan agar berdiri. Kau terlihat begitu hebat dengan rock balancing tapi kau justru kehilangan keseimbanganmu sendiri. Kau tercebur ke aliran sungai dan aku yang panik keluar dari persembunyian untuk refleks menyelamatkanmu.
Bodohnya lagi, ternyata sungai itu tak terlalu dalam. Kau tetap berbaring di sana, memejamkan matamu dan aku sekali lagi tersihir. Kulit pucat wajahmu itu terlihat mengerikan untuk seorang laki-laki. Kau juga terlihat rapuh saat cahaya matahari berpendar menyinarimu. Saat itu kau membuka mata, warna turquoise mata itu sangat kontras dengan rambut hitam pekatmu. Keindahan itu terasa sangat ajaib. Kau masih mengingatnya, Januari-ku?
Hey, Januari. Aku rindu padamu.
Jika nanti aku menemukanmu, kau harus membayar semua kerinduan ini. Kau harus menceritakan semua tentang dirimu dan tentang pelarian dirimu yang sudah satu tahun hilang dari pandanganku. Bahkan jika kau menolak sekalipun, aku akan tetap memaksamu mengatakannya. Aku tidak akan membiarkanmu terbang melayang-layang lagi di udara tanpa tujuan.
Januari-ku, rasanya aku tak ingin mengakhiri surat ini. Aku ingin selalu bercerita padamu. Bagaimana dengan fotonya, indah bukan?
Aku mengambilnya di dermaga. Burung itu bertengger tepat di hadapanku. Dia diam dan melihatku mendekat. Dia seolah tak terusik, aku terus mendekatkan diri. Lalu aku ingin membelainya, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ayolah berikan tebakan terbaikmu, Jan. Burung itu terbang tanpa menoleh padaku sebelumnya. Ia terbang begitu saja membiarkan tanganku hampa di udara. Seketika aku merasa takut.
Aku takut kau seperti itu.
Aku takut uluran tanganku justru mengusik kehidupanmu.
Aku takut bahwa sekarang ini kau sudah terlalu jauh terbang dariku.
Aku takut kau pergi tanpa permisi.
Aku takut, Jan.
Jadi, cepatlah balas suratku dan kembali. Selagi bulan masih Januari, aku ingin bisa bersama lagi dengan Januari-ku.
*
Hanya kau yang bisa mengatasi ketakutanku.
31 Januari 2019,
Dariku yang selalu merindukanmu,
Mins.
Tidak ada komentar