Laman

Pages - Menu

Kamis, 23 Agustus 2018

Review Pirates of the Caribbean: Daddy Barbosa!


Yeay, ini dia yang saya tunggu. Sempet pengin nonton sih, apalagi dulu pas banget lagi di Bandung dan tinggal nunggu wisudaan. Eh apa daya saya lebih kangen rumah dan budget pas-pasan, akhirnya pilih beli tiket pulang daripada nonton bioskop [maklum, jombs]. Jack de Sparrow, ato Johnny Depp yang saya tunggu yaa, tidak penting. Yang terpenting adalah saya akhirnya nonton pirates, aye! Yosh, kita mulai reviewnya.
***


Judul : Pirates of the Caribbean
Sub judul         : Dead Men Tell no Tales
Tahun : 2017
Durasi : 2jam 9menit
Sutradara         : Joachim Ronning & Espen Sandberg


Plot
Jack Sparrow dikejar sepasukan dead man yang dikapteni oleh Salazar. Mereka mati dan kena kutukan di segitiga karang, diceritakan bahwa kompas Jack yang jadi kunci semua kemalangan mereka. Nah, suatu hari, Jack menjual kompasnya demi sebotol rum [sangat Jack], akhirnya komplotan Salazar bebas dari segitiga dan berlayar bebas meneror lautan. Di setiap kapal yang ‘dimakan’, Salazar tidak membunuh semua anak buah kapalnya. Tapi menyisakan hanya satu orang. Untuk apa? Untuk menceritakan kisah tentang Salazar yang lagi berburu Jack Sparrow. Kenapa dia menyuruh orang lain untuk menceritakannya? Nah ini kalimat epic Kapten Salazar yang jadi sub-judul franchise kali ini: because dead man tell no tales. Jadi intinya adalah pelarian lain dari Jack Sparrow dan sebuah harta lainnya. Begitulah selalu, ini masih Pirates of the Caribbean dengan musik epiknya [yang juga ajeg, mungkin sudah patennya]

Salazar

Petualangan dengan para generasi kedua. 
Yap, bisa dibilang begitu. Karena di film kali ini Jack digandeng anak-anak muda yang lebih berbakat dan berpendidikan daripada generasi pertamanya. Ada Henry Turner yang membuka film karena dia masuk sebagai ABK di kapal Kerajaan Inggris. Masih ingat Turner kan? Berhubung saya bilang di awal bahwa mereka ini adalah generasi kedua, maka iya. Henry adalah putra William Turner dan Elizabeth Swan. Tujuan dia ke laut adalah untuk mencari ‘trisula Poseidon’ yang kabarnya bisa memecahkan semua mitos di lautan. Tentu saja Henry pengen melepas ayahnya dari kutukan kapal Dutchman. 


Sedangkan satunya lagi adalah Carina Smyth, gadis astronom dan horologis [ahli penghitung waktu]. Si mbak Carina ini sangat logis dan bahkan tidak percaya akan mitos lautan sampai dia melihat sendiri pasukan Salazar. Saya ga liat tujuan besar dari seorang Carina sih. Dia hanya lari saja dari eksekusi karena dianggap penyihir, dan [entah beruntung atau sialnya] ketemu sama Jack lalu ketemuan sama Henry. Carina ini super pinter apalagi dia berada di antara para pirates dengan batok kepala mereka yang dungu. Dia menjadi satu-satunya yang bisa membaca peta yang tidak bisa dibaca [the map that can’t be read by men]. Alasannya mudah saja, karena dia woman bukan men. Ya, peta itu adalah bintang-bintang. Ayahnya yang mengenalkannya pada bintang-bintang dan astronomi lewat sebuah buku diari. Namanya saja diambil dari nama bintang yang paling terang di utara, Bintang Carina. Ada semacam kerinduan akan ayahnya saat dia bicara soal buku itu dan tentang astronomi. Tebakan saya saat nonton adalah Mbak Carina ini akan menemukan ayahnya di akhir film. Dan itu benar saja.

Jack, Henry dan Carina

Mulai tersentuh unsur ilmu pengetahuan
Berbeda dari film-film sebelumnya yang murni membahas tentang mitos di lautan dan harta karun luar biasa. Film kali ini mencoba menambahkan atau bahkan mengambil alih banyak bagian untuk ilmu pengetahuan. Seperti Carina yang membawakan peta pelayaran yang baru bernama bintang-bintang, juga penghitungan garis bujur berdasarkan penghitungan waktu. Juga muncul nama Galileo Galilei. Film ini seperti ingin menjalankan garis waktu seiring dengan penambahan franchise mereka dan tentunya penambahan umur Jack sendiri. Seolah ingin mengabarkan pada para pemirsa bahwa film ini mengalami kemajuan zaman. Setting waktu yang diceritakan adalah saat banyak perempuan ditangkap karena dikira penyihir lalu dieksekusi. Ini adalah era saat ilmu pengetahuan mulai menggeliat maju hanya saja tidak dinikmati oleh kaum perempuan. Meskipun masih ada mitosnya. Seperti Black Pearl yang bebas dari dalam botol dan kembali berlayar.

The Black Pearl

Trik elit ala pelitnya Hollywood
Semua penonton sudah tahu bahwa Jack selalu eksentrik dan semua hal khas yang melekat padanya. Rum sampai mabok, tidak punya tujuan, kejahatan yang konyol, kemiskinan [ya, semua orang juga tahu bahwa Jack itu super miskin], penjara, eksekusi mati yang gagal, cewe cakep yang pemberani dan mitos yang meliputi harta buruannya. Semuanya sudah tahu itu. 

Lihat ini, pasti sudah biasa

Ini juga biasa. Karena muka default dia memang fool begitu.

Tapi menariknya, di film ini menunjukkan sisi Jack Sparrow yang belum pernah diketahui sebelumnya. Sebuah alasan mengapa seorang Salazar si El Capitan Del Mar mengejar bajak laut kere seperti dia. Ya, sebuah flash back masa muda Jack yang mengagumkan. Dan itu keren banget. Bahkan saya sampai ulang berkali-kali di bagian itu. Nah inilah stategi kelas film Hollywood. Jadi, menurut saya, franchise ini akan berakhir jika sisi tokoh utama sudah tergali semua. Di sini, si Jack Sparrow masih sangat misterius sebagai tokoh utama. Penonton belum pernah diajak berkenalan lebih dekat dengan si tengil ini. Selain di permukaannya, siapa yang tahu Jack? Sisi yang coba ia sembunyikan di balik mabok tiap hari, siapa yang tahu? Ayah yang disapanya di film sebelumnya, paman yang ketemu dan reunian di penjara di film ini, siapa yang tahu? Apa itu bener-bener papa Jack? Apa paman yang di penjara itu bener-bener uncle nya Jack? Siapa yang tahu? Bahkan uncle-nya Jack juga diperankan oleh tokoh VIP, Sir Paul Mc. Cartney.

YOUNG JACK!

Uncle Jack

Daddy Barbosa
Dari awal kemunculannya, Hector Barbosa selalu jadi idola saya. Di antara bodoh dan dekilnya kehidupan bajak laut, hanya dia yang muncul sebagai bajak laut elit. Barbosa yang terkadang bisa konyol dan keren dalam satu film. Barbosa juga bisa menjadi menyebalkan layaknya bajak laut, yang jarang punya loyalitas ke satu pihak dengan menimbang-nimbang untung rugi bagi dirinya sendiri. Barbosa emang digambarkan selalu berseberangan sama Jack meski di beberapa kesempatan mereka akur. Seperti di film ini, keahlian Barbosa dalam negosiasi sangat dipamerkannya. Ketika dia dengan mudahnya buat deal ke Salazar bahwa dia bakal tangkap Jack, Salazar setuju. Eh, ketika Barbosa ketemu Jack dan dia tahu tujuan Jack mencari trisula Poseidon, dia malah buat deal sama Jack. Ini orang memang kampret.

Daddy Barbosa

Di antara semua keelitan dan kekampretan Barbosa, ada sisi romantisnya juga. Bahkan menurut saya ini adalah bagian paling menyentuh dari semua adegan yang ada Barbosanya. Meskipun yang paling bikin haru adalah saat Barbosa jadi penghulu yang nikahin Will dan Elizabeth di atas Black Pearl di tengah serbuan Davy Jones [nyahahaha]. Kali ini ditunjukkan bahwa Barbosa sudah lama berlayar dengan berpegang pada peta bintang-bintang. Dia bahkan tahu nama bintang paling terang, Carina dan dia juga tahu bintang mana yang harus diikuti saat berlayar dan untuk pulang. Dia semakin bikin saya suka sama big daddy yang satu ini. iya, dia ini ayahnya Carina Smyth. 

Pertemuan Barbosa dengan putrinya bisa dibilang cukup mengharukan. Tapi tidak cukup untuk menurunkan death flag yang berkibar dengan gagah. Di film sebelumnya juga ditampilkan hubungan ayah dan putrinya dalam dunia bajak laut, yaitu si Blackbeard dan putrinya. Lalu endingnya Blackbeard mati untuk ketamakannya. Barbosa juga pada akhirnya dapat ending serupa Blackbeard, death flag itu nyata. Barbosa mati [atau setidaknya tertelan air sampai dasar laut] saat melawan Salazar dan untuk menyelamatkan Carina. Memang sih saya berharap ada banyak lagi adegan keayahan Barbosa dengan putrinya. Tapi mau bagaimana lagi. meskipun ada kemungkinan kalau Barbosa akan nongol lagi di film-film berikutnya. Entahlah, ini kan Pirates of the Caribbean. Siapa tahu nantinya benar-benar demikian. Ya, semoga saja. I love you, Hector Barbosa!


Tentang ending
Ya, awalnya sempet pesimis dan berpikir bahwa ini adalah film terakhir dari franchise Pirates of the Caribbean. Apalagi setelah semua mitos dan kutukan di lautan sudah diangkat. Yang paling bikin deg-degan adalah jarum kompasnya Jack yang langsung mengarah ke utara begitu dibuka. Saya yakin itu bukan kebetulan apa yang Jack inginkan ada di utara, melainkan efek dari hilangnya sisi mistis lautan. Saya sudah duh, ini beneran the end. 

Kompas menuju utara?

Lalu sisa waktu setelah credit cukup lama, pertama nonton langsung saya skip [karena nonton di leptop]. Lah setelah dibuka lagi saya sadar akan keanehan credit yang tayang terlalu lama durasinya, akhirnya saya skip creditnya dan menemukan secuil harta yang mengobati kekhawatiran saya tentang berakhirnya kisah Jack Sparrow. Dan itu adalah sebuah bayangan di kamar tidur William Turner dan Elizabeth Swan. Sebuah bayangan yang menjadi kode keras bahwa kehidupan bajak laut tidak seindah ending film kali ini. Ya, masih ada pengacau lainnya yang nampak tidak puas dengan ending. Dia adalah si bayangan dan bayangan itu adalah bajak laut dengan tentakel dan kerang-kerang kecil. SEKIAN!

ANDA TAHU INI SIAPA!

Selasa, 21 Agustus 2018

Ballerina

Kaki berjingkat, tubuh meliuk indah diselingi musik lembut mengalun. Satu demi satu kaca di dinding memantulkan bayang gemulai sang ballerina. Tak ada siapapun lagi. Hanya dia, musik dan tariannya. Di ruangan luas putih nan lapang, hanya ada dia, berlatih dan terus berlatih. Berjingkat, melompat, jatuh, bangkit lagi dan kembali begitu seterusnya sampai tak terhitung.

Satu lagu berakhir. Tapi bukan berarti latihannya juga ikut usai. Musik hanya semacam penanda baginya untuk diam sejenak mengistirahatkan tubuh yang berpeluh. Duduk di sudut ruangan dekat tape besar, temannya. Perlahan mengurut pergelangan kaki, mengendurkan sepatu dan minum seteguk. Suara panggilan terdengar. Seseorang melangkah menuju ruang latihannya. Sang pelatih datang untuk mengirimkan beberapa lagu lagi. Juga membawa kabar gembira. Tiket pertunjukannya ludes terjual. Bagi sang pelatih itu memang kabar bahagia. Tapi bagi sang ballerina, belum tentu.

*

Senyum sempat mengembang, tapi langsung meremang digilas jadwal latihan yang semakin mengikat. Hari-hari menuju momen akbar itu dihabiskannya di studio latihan. Masih berteman kaca-kaca lebar di dinding. Ia pandangi wajah lelah dalam bayangan cermin. Itukah dirinya? Ia bahkan mulai gamang dengan dirinya dan dunia ballet yang dicintainya sejak kecil. Masihkah dia menyukai ballet? Masihkah dia menari untuk kebahagiaannya? Benarkah konser besar itu impiannya?

Alunan musik berhenti, ballerina menghentikan aksi dengan anggun. Tapi tak ada riuh tepuk tangan, juga tak ada receh di kaleng penampungnya. Memang ini bukan panggung besar dan dia bukan bintang besar. Dia hanya pengamen jalanan. Menunjukkan bakatnya untuk uang. Mengumpulkan uang untuk membeli sepatu ballet baru. Tapi apa daya, ia memang terabaikan.

Sebuah sepatu ballet indah tiba-tiba masuk ke kaleng recehnya. Seorang wanita cantik yang berdiri ditopang tongkat tersenyum ke arahnya. 
***

Plesiran, 9 November 2016

Minggu, 19 Agustus 2018

Terlentang

Seorang gadis diam termenung. Hari masih pagi. Pelajar pergi belajar dan pekerja pergi bekerja. Matahari juga mulai bersinar makin hangat. Tapi gadis itu bukan pelajar. Dia bukan pula seorang pekerja apalagi matahari. Dia hanya seorang gadis yang termenung. Dia berbaring terlentang. Memandangi atap kamarnya yang tergambar jelas gelondong bambu penyangga seng. Atap kamarnya tak ada plafon. Sarang laba-laba pun ramai menjuntai di sela-sela bamboo. Kabel yang mengarah ke lampu juga terpasang mengular. Pandangannya semrawut atas pemandangan atap tanpa plafon.

Gadis itu masih diam terlentang. Merasakan kasar karpet kain yang mengalasinya sampai lutut. Sama sekali tak terasa empuk ataupun hangat. Yang ia rasakan hanya dinginnya lantai tanpa keramik di kakinya. Dingin dan berdebu.

Gadis yang terlentang di kamarnya masih diam. Tapi bukan keheningan yang didapatnya. Suara deru mesin pengaduk semen membahana. Sebuah proyek jalan tepat bergulir di depan kamarnya. Gemelutuk mesin menggulung pasir dan semen. Riuhnya sampai ke keheningan yang dibuat sang gadis. Suara motor yang berseliweran juga menyumbangkan kebisingan. Tentu saja sudah tak seriuh sebelumnya saat jam masuk sekolah dan jam kerja.

Gadis itu masih diam terlentang dengan semua kebisingan. Ia raih secarik kertas dan mulai menulis. Lancar sekali dia menuliskan sebuah kisah. Dia menulis dengan dialasi telapak tangan. Tulisannya acak adul. Dia bahkan ragu bisa membacanya nanti saat dia sudah selesai. Inspirasi mengalir deras. Tapi penanya kewalahan mengikuti derasnya cerita yang ia tuliskan. Tinta mulai abu-abu lalu menjadi putih sepenuhnya. Gadis itu tak terima. Ia bongkar penanya, ternyata isi tinta masih penuh. Ia coba menulis lagi dan lebih perlahan. Dia berhasil. Tinta kembali keluar. Gadis itu mengulangi kembali tulisan yang tadinya kehabisan tinta. Ia menulis dengan lancar sampai berganti kertas baru.

Gadis itu masih terlentang dan menulis dialasi telapak tangannya. Sesekali tangannya berhenti karena pegal. Tapi ia tetap menulis sambil terlentang. Berapa lama ia tak menulis? Itulah yang dipikirkannya. Tapi sekarang dia menulis dan dia merasa bahagia. Juga pegal.

*

Udara di luar masih dingin. Deru suara mesin pengaduk semen sudah mereda. Tulisan si gadis itu pun sudah selesai. Ia masih terlentang, meletakan kertas dan penanya. Kali ini kedua tangannya sudah bebas. Ia mengelus kucingnya yang sedari tadi tidur di atas perutnya. Kucing itu tertidur pulas setelah lari ketakutan karena suara mesin pengaduk semen. Kucing itu pulas tertidur setelah semalaman begadang mencari betina. Kucing itu kelelahan. Gadis itu pun tahu kalau kucingnya sedang lelah.

Gadis itu tersenyum. Terlentang dan hangat mengelus seekor kucing di atas tubuhnya.

***

Purbalingga, 9 Agustus 2018.

Sabtu, 18 Agustus 2018

Neraka Tanah Surga


Air mata Anak Tanpa Ayah-Bunda
*

Seorang bocah laki-laki berlarian kecil, seukuran dengan mungil badannya. Semakin lama semakin kencang saja. Bukan. Tidak. Bukan sedang berolahraga. Tidak sedang dikejar. Bocah itu hanya sedang berjingkat menghindari permukaan aspal jalanan yang semakin panas tersengat terik mentari. Kakinya tak beralas sampai mengeras karena kapalan. Dengan berpeluh, ia masih saja berteriak, beradu keras dengan deru mesin dan lengking klakson. Menghampiri tiap isyarat telunjuk yang tertuju padanya. Menghampiri tiap sopir yang memesan kretek.

Jeda lampu hijau, si bocah minggir. Duduk di emperan toko tepi tempat sampah. Bergumam nyaman saat kakinya menyentuh dingin keramik toko. Rasanya seperti berjalan di neraka dan tiba-tiba menyentuh lantai surga. Belum semenit ia merasakan kesurgaan itu, si pemilik toko langsung menghujatnya. Bukan hanya makian dari pemilik toko, tapi juga semua binatang piaraan dari dalam mulutnya. Tentu saja ditujukan untuk si bocah yang langsung tunggang langgang pergi.

Hari ini kepulan asap kendaraan bercampur dengan asap rokok dan pengasapan sarang nyamuk. Kepulannya terasa nikmat bagi si bocah. Jika asap kendaraan dan asap rokok saja sudah seperti bakaran selinting ganja, maka hari ini ia bagaikan menikmati heroin. Mungkin. Si bocah terbang bersama semua asap yang ia setarakan sebagai heroin. Membuatnya menghayal bisa merasakan surga di tanah neraka tempatnya hidup. Menjauh sejenak dari realita kehidupan neraka di tanah surga yang ia jalani kini.  Sadarkah ia nanti jika hidupnya saling berkebalikan?

Entahlah. 

Ia tak ingat lagi kehidupannya. Sedari badannya masih merah, ia sudah berkenalan dengan aroma sampah yang terasa bagai aroma masakan bunda. Tak ada air susu, air teh atau air tajin. Yang ia minum hanya tetesan air hujan atau mencari genangan yang belum tercampuri kencing anjing. Tak ada kasur juga selimut nyaman yang membungkus tubuh bayinya, hanya kain jarit dan dilapis koran dalam ranjang kardus. Saat ia belajar merangkak, ia merangkak di antara buangan manusia lainnya. Tentang ibunya, ia juga bertanya. Yang ia tahu hanya ibu kota. Tentang ayahnya, ia benar-benar tak punya. Karena sampai saat ini belum ada ayah kota.
***


Plesiran, 9 November 2016

Jumat, 17 Agustus 2018

Kamboja Abu-Abu

Luna hanyalah seorang gadis yang diamnya lebih banyak daripada bicaranya. Mulutnya mungkin jarang berbicara, tapi penglihatan matanya lebih tajam dari siapapun. Ia bisa melihat jauh apa yang terjadi di depan. Termasuk saat ini. Ia tengah berada di acara pemakaman neneknya. Semua orang mengenakan pakaian hitam tanda duka. Payung hitam juga menghalangi pandangan Luna akan langit biru cerah di atasnya. Ayahnya duduk bersimpuh seolah tengah berpamitan untuk terakhir kali dengan sang ibu. Pemuka agama membacakan doa-doa. Luna ikut menengadahkan kedua telapak tangan, mengaminkan alunan doa. Tapi matanya jauh melihat ke depan. Ke arah mendung yang melingkupi seorang pria yang berdiri di bawah rimbunnya kamboja. Bahkan mendungnya juga membuat bunga-bunga kamboja terlihat abu-abu. Pria itu ikut berduka, ia juga dilapisi pakaian hitam tanpa payung. Luna terus memandanginya tanpa sadar doa berakhir dan beberapa orang mulai pudar dari kerumunan.

**

“Luna,” panggil Surya, kakaknya. Surya menggenggam tangan Luna, keduanya berjalan beriring di belakang ayah ibundanya.

“Kau tadi melihatnya?” tanya Luna.

“Siapa?”

“Pria yang di bawah kamboja?” Surya tertawa renyah.

“Halusinasi atau imajinasi? Apapun itu, kau mengalami peningkatan ke tahap kritis. Selamat Luna,” ejek Surya. 

Luna masih diam di kamarnya. Memandangi rintik-rintik hujan yang menabrak kaca jendela. Ia menempelkan telapak tangannya di kaca. Tak ada yang melintas di jalanan karena hujan. Luna memainkan telunjukknya, menggambar bintang di kaca yang mengembun. Baru jam satu siang. Rumahnya masih ramai dikunjungi tetangga yang menyampaikan duka cita. Luna tak menemukan kesenangan lain di keramaian itu. Ia tetap duduk di kamarnya sambil menyisir rambut lurus panjang mencapai punggung.

“Luna, gurumu datang. Turun dan temuilah dia,” kata Surya sambil mengetuk pintu kamar Luna. Luna segera keluar, ia bahkan membiarkan rambutnya tergerai. Surya menggenggam tangan Luna dan menuntunnya ke ruangan tempat semuanya berkumpul. Di taman samping rumah. Sudah ada ayah ibundanya, si ibu guru wali kelasnya dan Surya di hadapannya. Luna duduk di samping Surya. Seolah sebuah sidang baru saja dimulai, tangan Luna bergetar sampai Surya menggenggamnya lagi.

“Kau sudah bolos sekolah selama tiga hari. Padahal kau tidak juga di rumah. Apa yang kau lakukan, hah?” bentak ayahnya. Sang ibu mencoba menenangkan pria itu. Tatap penuh selidik dari wali kelasnya juga menghujam. Luna masih diam. Ia tak tahu apa yang harus dia katakan. Yang ia lakukan hanya memandangi Surya, karena dialah satu-satunya yang tahu tentang Luna. Tapi saat ini, mereka tak mengharapkan penjelasan dari Surya. Mereka hanya ingin Luna bicara. Itu saja.

“Luna, katakan saja,” bujuk Surya.

“Aku melihat orang mati.”

Akhirnya ia bicara tapi kalimatnya membuat semua orang diam. Sang ayah geleng-geleng kepala. Wali kelasnya menjelaskan semua keanehan Luna di sekolah. Termasuk pembicaraannya yang tidak masuk akal untuk ukuran gadis kelas enam sekolah dasar. Ibunya hanya bisa menangis mendengar pemaparan si wali kelas. Surya membawa Luna pergi dari taman. Tangannya masih menggenggam erat jemari adik kecilnya itu. Ia mengembalikan Luna ke kamarnya. Kembali untuk waktu yang lama. Sangat lama.

Luna masih diam di kamarnya. Memandangi rintik-rintik hujan yang menabrak kaca jendela. Ia menempelkan telapak tangannya di kaca. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat hari hujan. Memang hari masih pagi. Tapi tak ada sekolah bagi Luna. Sepuluh tahun ini ia diam di kamarnya. Bermacam guru dibayar orang tuanya untuk mengajar di rumah. Beberapa psikiater juga turut diundang. Tapi tak ada yang mau berlama-lama dengan Luna. Mereka pasti segera keluar dan menangis lalu kapok datang lagi.

Tak ada yang melintas di jalanan karena hujan. Luna memainkan telunjukknya, menggambar bintang di kaca yang mengembun. Baru jam tujuh pagi. Rumahnya masih ramai dikunjungi tetangga yang menyampaikan duka cita. Luna tak menemukan kesenangan lain di keramaian itu. Ia tetap duduk di kamarnya sambil menyisir rambut lurus yang kini sudah panjang mencapai lantai jika ia berdiri. 

Gerimis membawa mendung atau mendung membawa gerimis, itulah yang ada di pikiran Luna saat ini. Di luar gelap. Pagi yang kelam. Pintu diketuk tiga kali, kemudian Surya masuk. Ia kini menjelma sebagai pemuda tampan dengan mata yang semakin sayu. Surya mengambil sisir dari tangan Luna, ia menatap adik perempuannya yang tatapnya semakin kosong. Kulitnya putih pucat. Sepuluh tahun ia tak keluar rumah dan hari ini ia akan keluar. Ya, dia harus keluar. Surya menyisir rambut Luna dan menggelungnya dengan rapi. Ia pandangi pantulan wajah Luna di cermin. Begitu indah dan rapuh.

“Mereka sudah datang. Ayo keluar dan hormati mereka sebagai orang tua kita,” kata Surya. Luna merengkuh tubuh Surya seketika. Matanya berkaca-kaca. Surya tak bisa menerka apa yang dipikirkan adiknya hingga matanya begitu. Ia tak tahu apakah Luna senang karena diajak keluar dari kamar. Atau ia justru bersedih karena kembali harus menghadiri pemakaman? 

Semua orang berkumpul mengelilingi dua liang lahat. Perlahan peti dimasukkan dan siap tertimbun tanah. Hari ini upacara pemakaman ayah ibunda Luna. Mereka menjadi korban kecelakaan pesawat. Semua orang berkumpul dalam hitam. Luna juga mengenakan gaun hitam. Tangannya masih dalam genggaman tangan Surya. Keduanya benar-benar diam dalam hening. Sesekali kilatan petir terlukis di langit suram tanpa raungan petirnya. Gerimis masih rintik-rintik. Surya memayungi Luna yang diam seperti biasanya. Tak ada tangisan, tak ada kata-kata. Hanya terdengar suara pemuka agama tengah membacakan doa-doa. Semua orang yang hadir mengaminkan bersama. Termasuk Luna. Tapi ia teralihkan. Matanya kembali menyorot ke arah bunga kamboja yang menjadi abu-abu di ujung pemakaman. Dan ia kembali menemukannya. Pria yang sama. Ia mengenakan setelan hitam. Luna bahkan masih bisa melihat sisi mendungnya tampil lebih gelap daripada mendung di langit. Doa masih terus mengalun, tapi Luna tak mempedulikannya. Ia berjalan menjauh dari kerumunan.

“Luna?” panggil Surya.

Luna terus berjalan menjauh. Ia bahkan membiarkan hujan membasahinya. Kerumunan mulai ramai dengan gumaman. Surya mengejar Luna sambil terus memanggilnya. Tapi luna tak peduli. Ia hanya menatap ke arah pria di bawah pohon kamboja itu. Pria itu juga tetap diam di tempatnya.

“Aku melihatmu. Aku menemukanmu,” gumam Luna.

“Luna, mau kemana kau? Hey, Luna.” Terdengar suara Surya yang mengejar dengan cepat. Luna juga mempercepat langkahnya menuju pria itu. Tapi semakin dekat, langkahnya semakin berat. Dadanya semakin sesak, seolah semua udara menolak untuk masuk dalam paru-parunya. Luna mengulurkan tangan ke arah pria itu. Tapi pria itu tetap diam dan memandangi Luna. Ia merasa kepalanya semakin berat. Seolah-olah semua isi kepalanya meluruh. Luna bahkan tak lagi mendengar panggilan Surya, matanya samar menatap wajah pria itu. 

“Siapa namamu?” gumam Luna. Hanya itu yang bisa ia bisikkan sampai kemudian seluruh pandangannya gelap. Ia jatuh dalam dekapan Surya. 

Luna terpejam untuk waktu yang bahkan ia tak tahu seberapa lama. Ia hanya melihat gelap tapi telinganya masih mendengar kesibukan di luar kesadarannya. Ia mendengar banyak orang disekelilingnya, ia mendengar gesekan dedaunan pohon di luar. Anehnya, ia mencium aroma khas bunga kamboja putih dalam tidurnya. Kemudian Luna kembali terlelap. Sangat nyenyak. Hingga pendengarannya kembali, matanya tetap terpejam. Luna mendengar televisi menyala. Sebuah berita siang, wanita pembaca berita tengah menyampaikan informasi mengenai perampokan sebuah bank oleh satu orang perampok bersenjata. Senjatanya diketahui sebagai revolver, pelaku masih dalam pengejaran polisi. Korban tewas dalam perampokan berjumlah tujuh orang. Kemudian berita berganti. Berganti lagi. Lagi. Yang tersisa kemudian hanya iklan minuman penyegar.

Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Perlahan ia mulai mendapatkan kembali pandangannya. Ia menatap langit-langit. Ia mendengar suara tangisan yang perlahan reda. Lehernya pegal ketika ia coba memiringkan kepala menuju sumber suara. Tak ia temukan. Luna duduk, ia memandangi sekeliling. Tak ada yang berubah dari kamarnya. Tatanannya tetap sama, juga gerimis yang membentur kaca jendela. Luna menghampiri jendela. Ada gerimis di luar sana dan iring-iringan mobil dengan bendera kuning tanda duka cita. Tak lama kemudian, Luna melihat pria itu. Dia berjalan perlahan seolah membelah rintik hujan dan menikmatinya. Pria itu pria yang Luna lihat di bawah pohon Kamboja di pemakaman. Pria itu adalah pria yang mengenakan pakaian hitam selalu. Luna memerhatikannya sekali lagi hingga tak terlihat.

“Kakak,” panggil Luna. 

Luna keluar kamar untuk mencari Surya. Luna segera menemukannya. Kakaknya terlihat berantakan di sudut ruang tengah. Bukan hanya Surya tapi juga seluruh ruangan itu berantakan. Beberapa perabotan ditutupi kain putih, tumpukkan bungkus mi instan menggunung di dekat sofa. Juga berserakan uang pecahan seratus ribu yang bercampur botol obat putih berukuran sedang. Luna berjalan tanpa alas kaki menuju Surya. Ia bahkan tak bisa melihat lantai rumahnya yang tertimbun sampah cukup dalam. Luna terus berjalan sampai kakinya terantuk sebuah benda dalam tumpukkan. Sebuah revolver. Ia memungutnya.

“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Surya.

“Kakak, aku melihat pria itu lagi. Dia datang di pemakaman nenek. Dia juga ada di pemakaman temanku. Aku melihatnya dari kaca jendela, dia mengikuti rombongan duka cita menuju pemakaman. Aku melihatnya. Pria yang sama di semua pemakaman itu. Pria yang kuceritakan hanya padamu. Pria yang membuat semua orang mengira aku gila.”

“Luna hentikan.”

“Aku melihatnya dan itu sebuah kebenaran, kak.” Surya menggeleng dengan tatap sedih. Mata sayunya mengalirkan air mata. Ada semacam penyesalan dalam tatapnya. Ia seolah menyesal karena pada akhirnya ia tak bisa percaya pada adik kecilnya, meski ia berusaha. Ya, ia berusaha sangat keras untuk percaya. Bahkan ia menjadi yang paling berusaha di antara semua orang.

“Kukira setelah tumor sialan di kepalamu aku singkirkan, kau kembali waras. Kukira kau akan normal seperti gadis lainnya. Kukira pria sialan itu hanya halusinasi efek obat saja. Kukira aku bisa percaya padamu, Luna.” Luna terkejut mendengar kalimat Surya. Ia diam dan mengamati. Ia tak lagi bicara. Ia hanya memandangi kakaknya. Surya semakin kurus, wajah tampannya terbenam brewok tak terurus. Mata sayunya semakin cekung dan gelap. Luna bertanya-tanya, seberapa lama dia terpejam? Seberapa lama ia tidur dalam gelap?

Surya diam di pojok ruangan. Air mata masih terus menetes. Tangannya bergetar mencari sesuatu dari tumpukkan botol obat penenang yang kosong. Tapi ia tak menemukan apapun kecuali penyesalan. Ia menyesal percaya bahwa adiknya waras. Ia menyesal karena berusaha mati-matian menyembuhkan Luna. Ia menyesal atas hidupnya. Ia menyesal atas semuanya.

“Kakak…” seketika Surya terbelalak melihat revolver ada di tangan kanan Luna. Serangan panik kembali menelannya. Semua hal yang didengarnya hanya semakin membuat runyam.

“Luna, buang jauh-jauh benda itu.”

“Kakak, aku ingin bertemu dengannya sekali lagi.”

“Luna, kupikir itu bukan ide yang bagus.” Sirene polisi terdengar nyaring berseliweran di jalanan depan rumah. Surya tak juga menemukan obat penenangnya meski hanya sebutir. Luna juga masih terus bicara soal pria di bawah pohon kamboja.

“Kakak…”

“Luna, hiduplah dengan baik. Jika kau ingin menemuinya, maka yang perlu kau lakukan hanya keluar dan menemuinya. Aku akan mengantarmu menemuinya. Jadi jangan bersedih. Ceritakanlah ceritamu pada pria itu. Jika ia tak mau mendengarmu, aku yakin kau pasti tahu kemana kau harus kembali,” jelas Surya. Air matanya sudah tiada. Ia menunjuk dada sebelah kiri dengan telunjuknya yang bergetar. Luna mempererat genggaman di tangan kanannya.

“Aku mengerti. Terima kasih sudah memahamiku kak Surya.”

Dor!

Sebuah pemakaman kembali dihadiri Luna. Alunan doa kembali dipanjatkan. Tapi Luna tak ada di baris depan, ia berada jauh di tengah kerumunan. Semua orang mengenakan pakaian hitam kembali kecuali Luna. Ia mengenakan gaun putih nan anggun. Rambutnya disanggul rapi, padahal ia tak ingat siapa yang melakukannya karena bukan Surya. Luna kini tengah menatap pria di bawah pohon Kamboja. Pria itu tersenyum ke arah Luna. Bahkan saat tersenyum, mendung yang meliputinya tidak hilang.

“Kau selalu datang saat pemakaman dan tak pernah luput dari pemakaman keluargaku. Apa kita saudara?” tanya Luna.

“Ah, kau menemukanku lagi.” 

“Siapa kau?”

“Aku hanya makhluk yang tak punya tempat kembali. Aku iri dengan mereka yang tetap punya tempat kembali sekalipun sudah mati. Karena itulah aku selalu merasa damai menyaksikan upacara pemakaman.”

“Pulanglah denganku.” Pria itu terlihat sangat terkejut dengan tawaran Luna.

“Kau tak punya tempat kembali kan? Kalau begitu pulanglah bersamaku. Aku akan berbagi rumah kosong itu sebagai tempatmu kembali juga.”

Luna tak tahu apa yang harus dia lakukan. Satu yang pasti, dia sudah mengatakan apa yang harus dia katakan. Ia sudah menemui pria yang ingin dia temui. Ia tak peduli jika pria itu memang hobi mengantarkan manusia ke pemakaman atau justru ia pembawa undangan ke pemakaman itu sendiri. Luna hanya menatap pria itu seperti ia menatap manusia lainnya. Tidak, ia bahkan tak bisa menatap manusia lain selain neneknya, temannya, wali kelasnya, ayah ibundanya dan kakaknya. Dan mereka semua kini sudah berkumpul di pemakaman yang damai kata pria itu. Luna mengulurkan tangannya pada pria itu. Ia menyambutnya dan membawanya pulang. Tapi sebenarnya Luna juga tak tahu apa yang dilakukannya. Apakah dia yang menyapa pemberi pesan itu dan mengulur waktu pemakamannya. Atau sekarang justru ia yang tengah diantarkan pria itu ke pemakaman.

***

Author's note: Sebuah cerpen lama yang pernah dikirim berkali-kali ke media hanya saja terlalu absurd untuk dimuat. Terima kasih sudah bersedia mampir.


salam Agustus, MERDEKA,
Adz.