Laman

Pages - Menu

Kamis, 30 November 2017

THE MISSING LINK 21 [END]

EPILOG
*

“Manor Saphiro terbakar habis, ayo segera baca konspirasinya!” seru si penjual surat kabar pada semua yang lewat di depan lapak kecilnya. 

Beberapa orang yang tertarik langsung berkerumun dan mulai bergunjing tentang si dermawan yang ternyata busuk. Tentang Saphiro yang telah menghilang tanpa jejak di sisa malam.

Itulah berita besarnya di kemudian hari. Manor sang dermawan terbakar habis dalam satu malam. Hanya tersisa tiang-tiang kerangka bangunan. Semua isinya sudah lebur jadi abu, benar-benar abu lembut yang akan berdesir saat ditiup angin. Tidak ada yang tahu berapa banyak korban dalam kebakaran itu. Tak ada sisa-sisa kerangka manusia ataupun informasi bahwa saat kebakaran masih ada penghuninya. Semua orang melupakan pertemuan antar bangsawan dan workshop di malam itu. Benar-benar tak tersisa, abu kayu bercampur abu jenazah bercampur abu kain, buku dan bulu. Semuanya terjadi begitu saja.

Hanya sebuah boks yang menjadi jejak untuk meneruskan penyelidikan. Isinya ampul hasil kerja keras workshop kesehatan. Polisi mengambilnya sebagai satu-satunya barang bukti. Itu bukan obat yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Itu bukan pula vitamin untuk menjaga kesehatan rakyat. Itu adalah sumber dari penyakit yang sering mewabah. Workshop kesehatan melakukan penelitian di bawah hukum tentang senjata biologis. Mengembangkan bibit wabah untuk membenarkan pembunuhan masal dan perbudakan anak-anak sebagai kelinci percobaan. Dengan diketahuinya kebusukan ini, dewan memutuskan untuk menangkap seluruh bangsawan yang terlibat. Daftarnya dituliskan secara rinci dalam selembar kertas yang diserahkan bersama ampul. Seluruh yang terlibat segera dibersihkan. Sistem perbudakan dengan kedok slav juga ikut dihapuskan. Bahkan sebuah undang-undang baru segera disetujui. Bahwa tidak ada lagi pekerja anak.

Di malam kemudian, seluruh bangsawan yang masih memiliki slav wajib memerdekakannya. Jika tidak, para bangsawan itu sendiri yang akan terkena denda dan juga hukuman. Banyak anak berlarian keluar dari manor para bangsawan. Banyak pula orang tua yang menunggu anak-anaknya kembali dari perbudakan. 

Perlahan, hujan merintik. Tetes-tetes kecilnya jatuh ke permukaan tanah. Dingin mulai menyeruak ketika hujan bertambah lebat. Payung-payung diregangkan. Kehangatan menyebar di malam yang dingin. Para orang tua berbahagia menyambut kedatangan kembali putra-putrinya. Ya, mereka yang diperbudak karena orang tuanya tak bisa membayar hutang pada para bangsawan kini bisa pulang. Mereka kembali ke rumahnya masing-masing.

Seekor kucing juga kembali ke rumahnya sendiri. Berjalan pincang mencari tempat berteduh, meringkuk di antara tumpukan kotak kayu. Kedinginan dan mengembangkan bulu abu-abu kecoklatannya untuk mendapat sedikit kehangatan. Tatapannya hanya mengikuti arah tetesan hujan. Juga pada seorang bocah laki-laki yang baru saja kembali. Bocah laki-laki itu berhenti dan menatap si kucing lekat-lekat. Si kucing hanya mengeong lemas memilukan.

“Ibu, lihatlah anak kucing itu. Matanya sangat indah, sepertinya dia akan jadi kucing yang baik. Boleh kita pelihara ya?”

“Tidak sayang,”

“Ayolah bu, aku ingin memeliharanya.”

Si kucing kembali mengeong sambil melebarkan pupil matanya. Menunjukkan warnanya dengan jelas. Turquoise bening yang menghanyutkan.
***


Author's note:
Yaaah sudah berakhir untuk The Missing Link... Ada yang pengin maki-maki saya karena tidak ada tokoh yang selamat? Silahkan, karena saya juga masih menyesali kematian beberapa tokoh yang ternyata saya cintai. Misalnya Alastair Castfire, selalu menarik menuliskan dialog-dialognya dan semua tingkah sombongnya yang tidak mau diperbudak. Cuma, saya pikir awalnya saja sudah dark, maka aneh ketika berakhir happy ending. Salah satu kesukaan saya saat ini adalah cerita semacam ini, dengan tema dark, ada drama juga tragedi. 

Yosh, karena saya menikmati proses penulisan The Missing Link dan [terlambat] jatuh cinta pada Alastair, kemungkinan cerita ini bukan satu-satunya. Saya merencanakan setidaknya ada tiga cerita spin off dari The Missing Link yaitu; Before the Tragedy, Spin Off Morel dan Spin Off Crispin. Juga terpikirkan satu cerita After Story. Huahahaha, mohon ingatkan saya saja untuk terus produktif merealisasikan semuanya. Tidurlah, Tuanku. Begitu kata Morel.

Noh, ada yang mau adopsi Morel? Hahahaha sampai di sini dulu perjumpaan kita. Salam hangat dari antah berantah.

Adz.

Minggu, 26 November 2017

THE MISSING LINK 20

TRAGEDY
*

Alastair membuka pintu ruang rapat, semua tatap langsung tertuju padanya begitu pintu terbuka. Tuan Saphiro dan empat bangsawan lainnya termasuk ayah Lady Seraphina. Alastair melenggang masuk dengan santai.

“Sayangku, kami sedang rapat penting. Bukankah sudah kukatakan sejak sore bahwa kami tak bisa diganggu?” sambut Tuan Saphiro.

“Aku bukan kesayanganmu.”

“Hei, dengarkan ayahmu ini sayang.”

“Ayahku sudah mati saat kau menemukanku,” bantah Alastair.

“Ivory!”

“Namaku ALASTAIR!”

“Beraninya kau membentak di antara tamu-tamu terhormat!” bentak Tuan Saphiro. Alastair hanya tersenyum. Ia bahkan balik membentak ke seluruh tamu yang hadir.

“Beraninya kalian masih hidup di antara semua yang sudah mati demi kehidupan kalian! Tidakkah kalian merasa harus membayar hutang itu?”

“Apa-apaan bocah ini?” tanya ayah Lady Seraphina.

Alastair mengeluarkan sebuah ampul dari saku jaketnya. Sebuah ampul kecil bening dengan isi cairan hitam di dalamnya. Semua orang dalam ruangan langsung terkejut saat melihat benda itu. Alastair melangkah dengan mantap ke tengah ruangan. Ia duduk di kursi paling akhir dari meja panjang, memainkan si ampul dengan tenang.

“Darimana kau mendapatkannya!” sergah bangsawan yang duduk di dekat Tuan Saphiro. Ia mengenakan cincin dengan lambang keluarga dua bulan sabit. 

“Itu tidak penting.”

“Hey, jangan main-main dengan ampul itu! Jika pecah di sini, bisa jadi musibah untuk kita semua!” kata bangsawan di sampingnya. 

Alastair seolah tidak peduli, ia terus bermain lempar tangkap dengan si ampul. Bahkan ia membumbungkannya lebih tinggi lagi. Seluruh bangsawan dalam ruangan langsung cemas. Bahkan ada yang bergegas menuju pintu untuk melarikan diri. Tapi sia-sia. Pintunya terkunci, ada tiga pintu termasuk pintu darurat untuk keluar dari ruangan dan ketiganya tak bisa terbuka.

“Sayang sekali. Tak ada satupun pintu yang akan terbuka kecuali jika aku mempersilahkan kalian keluar. Morel pasti sudah mengurusnya.”

“Kau psikopat kecil!”

“Saphiro!” bentak Alastair. 

Tuan Saphiro tengah terduduk di pojok ruangan, tangannya bergetar ketakutan. Tak berani ia menatap mata Alastair. Warna turquoise-nya terlihat semakin bening ketika ruangan berubah temaram.

“Alastair sayang,” kata Tuan Saphiro akhirnya. Ia memberanikan diri untuk menghampiri Alastair.

“Letakkan ampulnya, lalu akan kukabulkan apapun permintaanmu. Apapun yang kau mau.” Alastair melambungkan ampul lagi tapi kali ini dia sengaja membiarkannya jatuh. Ampul kaca itu membentur permukaan meja lalu hancur. Cairan hitam di dalamnya langsung meluber di atas meja, lama kelamaan menjadi asap yang membakar meja kayu. 

“Ah, maaf aku menjatuhkannya.”

“Sialan!” Asap dari efek cairan hitam segera merembet memenuhi ruangan. Para bangsawan mondar-mandir ketakutan. Mereka mencoba membobol pintu tapi tetap tak ada yang mau terbuka. Satu per satu dari mereka mulai menghirup asap dari ampul. Satu persatu pula jatuh dan kejang-kejang. Alastair masih duduk tenang sambil memerhatikan kekacauan yang terjadi.

“Ayahku tak pernah setuju dengan ide penelitian mengenai senjata biologis. Lalu kalian berkomplot untuk membunuhnya, bahkan keluarga Clematines menggunakan satu-satunya putri mereka untuk menjalankan rencana busuk ini. Setelah pendekatan dengan pertunangan tidak meluluhkan tekad ayah, kalian membunuhnya. Kalian membunuh dua orang kepercayaan ayah di workshop kesehatan. Mereka adalah keluarga Leasley. Setelah workshop jatuh ke penguasaan kalian, selanjutnya adalah melenyapkan kami.”

“Siapa kau sebenarnya!”

“Aku bocah yang tertinggal dari tragedi di sisa malam itu. Keluarga Moonshide datang dan menyergap kediaman kami. Ayah dan ibu meninggal. Bahkan mereka meninggalkanku begitu saja dengan luka tusuk di jantungku. Lukanya menganga cukup lebar, aku kehabisan banyak darah dan berpikir akan mati. Hingga dia datang. Iblis itu datang lebih cepat daripada malaikat kematian. Dia membiarkanku merangkak ke tengah jalan dan ditemukan oleh si tamak busuk.”

“Moonshide!” teriak Saphiro di tengah sekaratnya.

“Aku sudah bersihkan semuanya,” kata si bangsawan Moonshide. Alastair hanya tersenyum melihat orang-orang itu bahkan masih saling berdebat melempar kesalahan. Morel hadir di hadapan Alastair. Ukurannya kini jauh lebih besar daripada sebelumnya. Bahkan tingginya sudah mencapai langit-langit. 

“Lihatlah para manusia busuk ini membusuk, Morel.”

Hampir semua yang berada di ruangan masih kejang-kejang, kemudian perlahan kulit mereka terbakar. Hangus hingga ke daging-daging dan melepuh. Mereka mulai terengah-engah dan seolah paru-paru tak dapat lagi membawa oksigen masuk. Dua bahkan sudah menggelepar menuju mati. Tuan Saphiro masih memiliki sisa-sisa tenaga untuk merangkak mendekati Alastair. Ia memeluk kaki kanan Alastair sambil memohon-mohon.

“Beri aku kesempatan…” ratap Tuan Saphiro. Matanya yang mulai membusuk masih dia gunakan semaksimal mungkin untuk memohon pengampunan.

“Jangan tatap aku seperti itu, kau makhluk menjijikan!” bentak Alastair sambil menendang Tuan Saphiro sekuat tenaga.

“Kau yang membunuh mereka. Biarkan aku membunuhmu!”

“Kumohon…”

“Setidaknya, biarkan aku memperkenalkan diri dengan pantas. Namaku Alastair dari keluarga Castfire. Aku adalah putra dari Alain Castfire dan Melfrida Castfire. Kuharap kau menerima perkenalanku di waktu yang singkat ini.”

“Keluarga Castfire?” gumam bangsawan Moonshide.

“Keluargaku adalah penanggung jawab workshop militer. Moonshide dan Clemantines mengusulkan penelitian yang melibatkan wabah sebagai senjata perang. Kalian bahkan merumuskan untuk melegalkan adanya slav. Kalian menggunakan slav sebagai bahan uji coba.”

“Kumohon… maafkan aku,” rengek Saphiro.

“Aku tak bisa mengabaikan hal ini.”

“Kumohon… matilah denganku!” seru Tuan Saphiro sambil menusukkan sebuah belati ke perut Alastair. Bocah itu mundur beberapa langkah. Sebuah lubang menganga tergambar di sana, tapi hanya dalam hitungan detik, lukanya menutup kembali. Sempurna tanpa bekas luka.

“Ba…gaimana KAU!”

“Mustahil membunuh yang sudah mati, bukan? Sekarang, matilah Saphiro. Matilah seperti para bangsawan busuk lainnya.” Tuan Saphiro mulai kewalahan dengan pernafasannya hingga ia menggelepar sampai mati. 

Alastair tertawa puas melihat semuanya kaku. Ia tertawa puas karena seluruh ingatannya kembali. Ia tertawa puas karena semuanya sudah mati. Ia tertawa puas karena akhirnya ia bisa mati. Morel datang di saat yang tepat. Alastair terjatuh dari kursi. Luka tusuk dari pedang Gideon mulai mengeluarkan darah. Tikaman dari Tuan Saphiro juga mulai ia rasakan sakitnya. Dalam sekejap, kemeja dan jaket yang dikenakannya langsung memerah karena darah.

“Kau akan mati,” bisik Morel.

“Aku akan dengan senang hati mati di sisa malam ini.”

“Ini menarik. Aku ingin bertanya satu hal padamu,” kata Morel.

“Katakanlah selagi aku masih punya sisa waktu.”

“Mengapa kau mengambil pilihan ini. Bisa saja saat itu kau menolakku. Bisa saja kau memilih mati di sisa malam tragedi itu. Mengapa kau malah menerimaku dan seolah mengulang tragedi?”

“Tapi jalan ceritanya sudah berbeda, bukan? Jika aku mati di malam itu, Saphiro dan para bangsawan busuklah pemenangnya. Tapi matinya aku malam ini sebagai pemenang. Tidak ada yang sia-sia, Morel.”

“Aku senang karena kau tak menyesalinya.”

“Sebuah pilihan adalah resiko yang sudah harus disadari akibatnya. Jadi, tak ada penyesalan. Karena jika penyesalan itu ada, maka sama saja aku tak tegas menyikapi apa yang kupilih.”

“Kau berubah drastis, Alastair. Malam itu aku hanya melihat bocah kepayahan yang putus asa karena tak punya kesempatan untuk hidup. Tapi malam ini, kau jadi monster yang bahkan menikmati setiap detiknya untuk membunuh semua kebencianmu.”

“Kau yang menghapus ingatanku?”

“Tapi bukankah aku juga mengembalikannya padamu? Aku bahkan membantumu membuat ini jadi menarik, bukan?” Alastair tersenyum mendengar jawaban Morel.

“Kau mengembalikannya saat aku membunuh mereka.”

“Jika aku tak menghapusnya, aku takut kau akan ragu. Mereka semua sangat dekat denganmu bukan?”

“Seraphina, tunanganku. Gideon, sahabat yang paling kubanggakan. Tapi Crispin… mengapa aku tak mengingat apapun tentangnya. Mengapa kau tak mengembalikan ingatanku tentang Crispin?” Morel hanya tertawa mendengar pertanyaan Alastair.

“Karena dia memang tidak ada hubungannya secara langsung denganmu. Keluarganya hanya jelata, mereka yang percaya dan berharap banyak pada keteguhan keluargamu untuk menolak ketidakadilan. Ia adalah korban dari hancurnya keluargamu.”

“Dia tak ada dalam masa laluku?”

“Dia pernah menyemir sepatumu saat kau berlibur ke pantai di barat. Dia sangat mengagumimu karena itulah saat dia mati, dia memohon agar mengembalikan ingatan itu padanya. Ia ingin mengingat kembali sosok Alastair Castfire dalam kenangannya. Aku mengabulkannya.”

“Dia memang selalu seperti itu.”

“Ini menarik.”

“Jadi, apa kau sudah kenyang? Banyak jiwa yang bisa kau makan.”

“Mereka hanya makanan pembuka. Kau tidak lupa dengan perjanjian kita, bukan?”

“Aku akan menjadi menu utama dari pesta malam ini. Terima kasih untuk waktu yang kau berikan. Meski singkat, kesempatan itu sangat berharga bagiku. Kuharap apa yang bisa kuberikan untukmu akan setimpal dengan semua pemberianmu.”

“Tentu saja. Aku akan menikmatimu. Kau sangat menggiurkan Alastair.”

“Apa aku boleh bertanya satu hal lagi?”

“Tentu.”

“Apa kau suka nama yang Crispin berikan padamu? Apa kau suka saat kami memanggilmu Morel? Kami bahkan tak tahu siapa namamu yang sebenarnya.”

“Aku suka nama apapun yang diberikan manusia. Karena pada dasarnya aku tak punya nama,” jawab Morel. Alastair tersenyum mendengarnya. Seluruh rasa sakitnya semakin terasa. Kini ia bahkan mulai mengalami gejala keracunan dari isi ampul. Morel langsung mendekatinya, ia menjilati wajah Alastair.

“Selamat malam, Morel.”

“Selamat tidur, Tuanku.”
***

Kamis, 23 November 2017

THE MISSING LINK 19

RECOLLECTIONS
*

Malam menuju pertengahannya. Bahkan hari mungkin sudah berganti. Ya, berganti. Sama seperti Ivory yang kembali menjadi Alastair. Ia mengunci bagian belakang Manor untuk memastikan tidak ada pelayan dan penjaga yang menghalangi para slav kabur. Ia berjalan sendiri di tengah besarnya Manor. Alastair sudah memerdekakan semua slav termasuk para slav pribadi. Juga Crispin yang lebih dulu merdeka.

“Ivory,” sapa Lady Seraphina. Tapi yang disapa hanya diam. Dia bahkan terus melaju menuju kamarnya tanpa menghiraukan kehadiran sang Lady.

“Hey, kau mulai berani mengabaikanku!” bentaknya kini. Ia bahkan berlari dan sengaja berhenti di depan Alastair.

“Menyingkir dari jalanku!” bentak Alastair.

“Kau berani menyuruhku menyingkir? Apa kau mau kusingkirkan?”

“Karena aku adalah Alastair. Jadi, berhenti memanggilku dengan nama selain Alastair. Aku sudah muak dengan semuanya. Aku benci menjadi orang lain, Seraphina.”

“Dasar tidak tahu tata karma!” Lady Seraphina menampar pipi Alastair. Keduanya hanya diam, hingga jeritan Lady Seraphina menggema. Ia melihat Morel yang tiba-tiba menghampiri Alastair. Kucing itu kini sudah sebesar kuda pacuan.

“Makhluk a…pa yang kau pe…lihara!” seru Lady Seraphina tergagap.

“Maaf, tapi aku bukan anjingmu lagi.”

Lady Seraphina ketakutan melihat Morel menyeringai. Ia bergegas melarikan diri, Alastair hanya diam saja menyaksikan. Lady Seraphina terpeleset karena menginjak gaunnya sendiri, ia jatuh menggelinding dari tangga lantai dua. Ia terus berguling, membentur tiap anak tangga. Saat itulah satu per satu ingatan Alastair tentang Seraphina mulai kembali.

“Ternyata kau masih saja ceroboh, Seraphina. Dari dulu kau memang menginginkanku jadi anjingmu bukan? Aku ingat saat ayahmu datang dan menyalami ayahku. Mereka terlihat akrab. Hingga kalian membunuh ayahku. Tentu saja kau tidak akan mati sia-sia. Keinginanmu untuk menjadikanku anjing piaraanmu, bukankah sudah kaucapai? Beristirahatlah dengan damai, tunanganku.”

Alastair berjalan kembali, ia melewatkan kamarnya. Juga tubuh Lady Seraphina di bawah tangga. Tubuh kakunya berlumur darah yang masih mengalir dari luka di kepalanya. Morel diam saja memandangi sang Lady. Ia juga tak mengekori langkah Alastair.
“Aku akan menyelesaikannya segera.”
*

Alastair terus berjalan. Ia melewati kamarnya, ia bahkan hampir melewati semua ruangan. Manor sudah sepi. Tuan Saphiro dan tamu undangannya tengah fokus pada pertemuan mereka. Para pelayan sibuk mempersiapkan jamuan. Ini kali pertama mereka bekerja tanpa slav. Mereka juga tak berani mengabarkan pada majikannya bahwa Alastair sudah melepas semua slav.

Saat melewati ruang anggar, langkah Alastair terhenti. Seseorang tengah berlatih di dalamnya. Alastair langsung masuk dan menemukan Giles sedang berlatih sendiri.

“Aku turut berduka untuk kematian slav-mu. Aku tahu betapa kalian sangat dekat,” kata Giles. Alastair tak bereaksi. Ia bahkan tak ingin mendengar apapun dari Giles sekarang. Ia hanya ingin menghapuskan semua, ia ingin membalaskan sakit hatinya. Ia sangat kehilangan Crispin.

“Aku harus membunuh ayah,” kata Alastair.

“Ivory! Kau memang bocah gila tak tahu diri!” bentak Giles. Ia bahkan melemparkan sebilah pedang untuk Alastair. Itu adalah sebuah tantangan.

“Tak ada yang boleh menyakitinya. Meskipun itu adalah kau, Ivory sang kesayangan ayah. Aku mungkin akan membunuhmu sebelum kau punya kesempatan untuk membunuhnya.”

“Sayangnya, kau yang tak punya kesempatan Giles.”

“IVORY!”

Giles langsung menerjang Alastair dengan sebuah serangan telak. Serangannya masuk, pedangnya menusuk perut Alastair. Tapi dia masih berdiri tegap seolah tak terjadi apapun. Alastair balas menyerang. Giles menangkis serangan Alastair. Mereka cukup seimbang. Alastair berhasil menggores pipi Giles, ia berdarah dan terkejut.

“Kau masih berdiri setelah serangan sambutanku?”

“Sudah kubilang, kau tak punya kesempatan.”

“Siapa kau sebenarnya, Ivory!”

“Namaku ALASTAIR!”

Alastair menyerang Giles dengan cepat. Ia bahkan seolah tak memberi jeda untuk Giles mempersiapkan langkah. Giles hanya berusaha menangkis setiap serangan, tapi Alastair bergerak menyerang seolah dia sudah tahu gerakan Giles selanjutnya. Dengan satu sentakan, pedang Giles terlepas dari genggamannya. Ia kini terkapar nyaris kehabisan nafas. Alastair diam menyaksikan Giles yang hanya meringis menahan perih dari luka-luka menganga di tubuhnya. 

“Kau seperti sudah lama mengenalku. Ini seperti kita berdua sudah sejak lama saling beradu pedang. Ini memalukan, harus mengaku kalah darimu.”

“Tidak ada gunanya kau merasa seperti itu. Bukankah tadi sudah kuingatkan bahwa kau tidak punya kesempatan untuk mengalahkanku?”

“Dasar sombong.”

“Kuharap kau tak menghalangiku lagi, Giles.” Giles tergopoh-gopoh berdiri. Ia menggapai pedangnya lagi. Alastair tak lagi mempedulikannya. Morel menunggu di depan pintu, matanya berbinar menatap Giles yang kepayahan.

“Aku tak akan membiarkanmu menyakiti ayah. Dia adalah penyelamatku. Dia yang menyelamatkanku ketika semua orang meninggalkanku. Dia satu-satunya yang menyayangiku meski aku nyaris gila setelah penculikan itu. Jadi sudah sewajarnya jika aku sekarang yang menyelamatkannya. Aku akan membunuhmu, IVORY!” Seketika Giles langsung roboh. Sebuah pedang menghujam tepat ke arah jantungnya, ia diam sekarat.

“Sudah kubilang namaku Alastair.”

“Jika kau berhasil menang, mungkin itu karena aku mengalah,” gumam Giles. Alastair tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Sepintas ia menemukan kembali ingatannya di masa lalu. Kalimat itu tak asing baginya. Tapi kesedihan itu tak berlangsung lama. Giles kepayahan.

“Apa kau masih ingat namamu yang sebenarnya? Nama yang diberikan oleh orang tuamu? Bukan nama yang diberikan oleh si busuk itu?”

“Na… ma…ku Giles.”

Alastair tetap tenang menyaksikan saat-saat terakhir Giles. Bahkan saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya. Ada sedikit kesedihan dalam hati Alastair. Saat Giles meninggal, semua memori tentangnya segera menelusup ke kepala Alastair. Dia kembali mengingatnya.

“Orang tuamu bekerja di workshop kesehatan. Keluarga kalian sangat dekat dengan keluargaku. Kau adalah idolaku. Kau memang kakakku, kau juga guru bagiku. Kita sering beradu anggar, kau menang dua puluh tiga kali. Rekor terbaikku adalah imbang satu kali denganmu. Aku sangat mengagumimu dan selalu berharap bisa seperti dirimu.” Morel mendekati tubuh Giles. Ia berkeliling di sekitarnya sambil mengibas-ibaskan ekornya.

“Kau selalu mengatakan kalimat itu setiap kali mengalahkanku. Kau bilang jika suatu saat aku menang, itu karena kau mengalah. Tapi aku tidak yakin hari kau mengalah.”

“Kau memang nyaris gila. Tapi bukan karena penculikan itu. Kau nyaris gila karena dendammu pada Saphiro. Kau bukan diselamatkan dari penculik, justru kau yang diculik oleh Saphiro. Saat itu kau sangat benci padanya, kau mencoba membunuh orang yang memfitnah orang tuamu. Hingga mereka merekayasa ulang ingatanmu. Kau juga terbodohi dengan nama Giles.”

“Maaf untuk kematian sia-siamu, Gideon Leasly. Tapi sayangnya kau juga sudah membuat orang yang kusayang jadi mati sia-sia. Kita memang bodoh.” 

Alastair melempar pedang di tangannya.

“Kita semua terbodohi.”

Morel menyeringai, ia seolah puas melihat Alastair semakin dekat pada Alastair yang diinginkannya. Alastair yang tak kenal belas kasih. Alastair yang tak pernah ragu. Alastair yang penuh kebencian dan tak malu-malu untuk mengungkapkannya. Dan Alastair yang dipenuhi dendam.

“Morel, tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyelesaikannya sebelum fajar. Tragedi di sisa malam, bukankah itu selalu jadi kesukaan Saphiro?”

“Baik tuan,” jawab Morel.
***

Selasa, 21 November 2017

If Cat Disappeared from the World [2016]

Awal kenapa saya dapat film ini karena judulnya nampak so sad. Saya pecinta kucing, saya keseharian berhubungan langsung dengan kucing. Bahkan saya tidur bareng kucing piaraan. Jadi judulnya sangat sentimentil buat pecinta kucing. Jadilah saya tertarik buat nonton film ini. Eh ternyata saya mendapati bonus rejeki nomplok. Yang main ternyata Mas Takeru Satoh. Huwaaa, makin berminat buat nonton. Meskipun saya rada ga suka dengan genre drama. Yap simak aja yuk sesi bedah movie full spoiler ala Chapteranian. Selamat membaca.
***


Judul : If Cats Disappeared from the World
Tahun : 2016
Durasi : 1 jam 42 menit
Genre : Drama, fantasi
Sutradara: Akira Nagai

*Berdasarkan novel dengan judul yang sama [Sekai kara Neko ga Kieta nara, versi Jepangnya] yang ditulis oleh Genki Kawamura. Dibintangi oleh mas Takeru Satoh dan mbak Aoi Miyazaki.*


PROLOG
Dari awal sudah disuguhi mas Takeru Satoh yang lagi gowes sepeda. Uniknya, ada kucing yang duduk santai di keranjang dan diam dibawa jalan-jalan [saya pernah coba, dan kucing saya lompat indah hahaha]. Hanya berselang beberapa menit, langsung muncul pertanyaan,"jika kucing hilang dari dunia ini, bagaimana dunia ini akan berubah?"

Wah dari pertanyaannya, sepertinya kucing ini memang mempengaruhi sebagian besar jalan cerita. Setidaknya ia pasti sangat penting bagi si tokoh utamanya. Dalam waktu kurang dari dua menit, si mas-nya sudah mengaku bahwa ia akan segera mati. Duh saya langsung sedia patriot [baca: tisu] ini film benar-benar drama. Fokus cerita setelahnya adalah membahas tentang flash back sebelum adegan prolog ini. Hmm, menarik.

TOKOH
Di film ini tidak disebutkan siapa nama tokoh utamanya. Ya, kita sebut saja mas Satoh. Mungkin ini karena penggambaran sudut pandangnya dari orang pertama. Jadi kita tidak diperkenankan tahu siapa namanya, toh Mas Satoh ini ga rajin ngobrol dan teman-temannya ga pernah panggil nama dia. Untuk deskripsinya, digambarkan melalui pekerjaannya dan sikap orang-orang ke dia. Mas Satoh ini adalah tukang pos yang tugasnya antar surat, ceria, ramah, sopan ke teman kerja, banyak yang perhatian ke dia. Ya, cukup cerah di awalnya.

PLOT
Konflik mulai muncul saat Mas Satoh tiba-tiba kejungkel [OPO IKI?baca: jatuh secara dramatis] dari sepedanya. Dokter bilang itu tumor otak yang sudah stadium akhir. Harapan hidupnya menurut bapak dokter hanya seminggu lagi. Seketika keceriaannya sebagai si tukang post lenyap. Dan iringan piano dalam tempo pelan mulai menjadi back sound. Kemudian, di antara kesuraman itu muncullah si iblis itu. Jadi ketika mas Satoh pulang ke rumah, sudah ada seseorang yang seperti kembaran dia dan mengaku adalah iblis. Dia mengabarkan bahwa mas Satoh akan mati besok. Nah, dia punya tawaran menarik untuk memperlambat kematiannya. Yaitu, harus menghilangkan sesuatu dari dunia ini untuk menambah umurnya selama satu hari. Nah, keputusan mengenai apa yang harus dihilangkan tergantung kemauan si iblis. Mas Satoh setuju akhirnya.


Pertama kali ketemu dengan si demones

Mas Satoh

Another Mas Satoh sebagai daimones

Kehilangan pertama, handphone. Memang sih terlihat sepele, hanya sebuah handphone. Tapi jika semua handphone dan telepon rumah menghilang dari dunia bukankah akan jadi masalah juga. Nah bagi mas Satoh ternyata telepon rumah punya banyak kenangan buat dia. Saat diberi kesempatan terakhir buat nelpon, dia akhirnya telpon sang mantan dan mereka ketemuan. 


Ketemu mbak Aoi, sang mantan

Trus nostalgia pas dulu pertama ketemu yaitu lewat salah sambung telepon, mereka akhirnya ngobrol tentang film, dekat dan akhirnya pacaran. Sedih juga pas telepon dihilangkan dari dunia, otomatis cerita masa lalu si mbak mantannya ini juga ikut terhapus. Mereka ketemuan lagi dan mereka sudah benar-benar jadi perfectly strangers.
Awal ketemu, karena salah sambung telponan dari mbak Aoi dan bahas film yang lagi ditonton mas Satoh

Hape lenyap dari dunia, sodara-sodara

Kehilangan kedua, film. Apa yang terjadi jika seluruh film menghilang dari dunia ini? Bagi mas Satoh, ia sangat sadar pengaruhnya. Jika film menghilang dari dunia, maka ia tak akan pernah bertemu dan kenal dengan satu-satunya teman, Tatsuya. Mereka awal ketemu karena mas Satoh lihat Tatsuya lagi baca majalah film, akhirnya dia bisa nimbrung ngobrol tentang film. Bahkan si Yamada sering panggil Tatsuya dengan Tsutaya [tempat pinjem DVD]. 


Pertama ketemu Tatsuya

Hampir setiap hari, Tatsuya minjemin film buat ditonton mas Satoh. Quotes paling mengena adalah: tidak akan ada akhir dari sebuah film, itulah sebabnya hubungan ini akan berlanjut dengan keabadian. Eh, sedih banget lah ketika mas Satoh datang ke toko rental DVD buat ketemu Tatsuya. Dia bertanya bagaimana jika film menghilang dari dunia ini. Dia juga minta rekomendasi film yang cocok untuk dilihatnya untuk terakhir kali sebelum dia mati. Nahloh, si Tatsuya bingung kan? Dia hanya mengulang quotesnya. 


Film-film di tempat rental Tatsuya menghilang, dan Tsutaya ganti jadi tempat sewa buku

Kemudian BOOM, film menghilang dari dunia. Mas Satoh asik-asik aja liatin si mbak mantan [doi punya bisnis keluarga bioskop] dari jauh. Kemudian, tanpa permisi, film langsung dihilangkan dari dunia, semua film menghilang, berarti tidak ada bioskop, tidak ada mbak sang mantan. Ya, hilang sekalian sama bangunannya. Mas Satoh langsung lari ke tempat rental DVD Tatsuya yang kemudian berubah jadi tempat rental buku. Ini ngenes sekali sodara-sodara. Saat inilah saya merasa bahwa Yamada mulai ragu buat nambah satu hari hidupnya. Tapi toh langsung berlanjut ke kehilangan selanjutnya.

Kehilangan ketiga, waktu. Nah pas bagian ini, langsung ditarik flashback jauh sebelum semuanya menghilang. Yaitu kembali ke masa-masa mas Satoh dan mbak Aoi berlibur ke Argentina dan ketemu orang Jepang backpacker kenalan mereka, si Tomo san. Ceria lagi, tapi langsung suram. Apalagi ketika cerita mulai mematikan Tomo san akibat kecelakaan. Karena waktu dan segala yang berhubungan dengan itu menghilang, maka toko reparasi jam milik bapaknya mas Satoh juga ikut menghilang. Sedih sih, tapi ini belum klimaks.


Tomo-san di Buenos Aires, Argentina

Kehilangan keempat, kucing. Inilah klimaksnya. Bahkan diberikan flash back cukup panjang untuk sebuah alasan mengapa kucing tidak seharusnya dihilangkan. Ini berhubungan dengan kenangan keluarga mas Satoh, tentang ibunya yang awalnya alergi kucing hingga jadi pecinta kucing, tentang bapaknya yang ternyata sweet tsundere dan alasan mengapa mas Satoh dan bapaknya jadi merenggangkan hubungan. Di sini diceritakan tentang kucing pertama yang dipungut mas Satoh, namanya Retasu [karena ditemuin di kardus Lettuce] yang sudah almarhum. Kenangannya itu loh sama mamanya, karena mamanya sayang banget sama Retasu. Lalu cerita tentang kucing yang sampai sekarang masih dijaga mas Satoh, yaitu si Kyabetsu. 


Flasback tentang kucing adalah tentang keluarga Mas Satoh.
Tentang mamanya yang suka banget kucing. Tentang bapaknya yang tsundere.

Bagian yang paling buat mewek adalah, ketika Kyabetsu menghilang sebelum dihilangkan oleh si iblis. Setelah berputar-putar cari, mas Satoh temuin kucingnya dan juga surat dari almarhum ibunya yang ga pernah coba dia baca. Bahkan dia menolak untuk menerima surat terakhir itu hingga suratnya disimpan mbak Aoi dan dikirimkan pada saat sekarang. Suratnya itu bikin air mata banjir. Sedih banget. Dan karena surat itu [mungkin], akhirnya Mas Satoh menolak keinginan si Iblis untuk menghilangkan kucing dan menjalani hidup sesuai waktu yang dia punya.


Menolak menghilangkan kucing, yeyyy

ENDING
Semua yang pernah hilang, akhirnya kembali lagi. Mas Satoh langsung menggunakan kesempatan yang ada buat pamit ke teman-temannya. Lalu pulang ke rumah, ketemu bapaknya. Tidak dijelaskan lebih detail tentang bagaimana akhirnya. Jadi, kesimpulannya adalah terserah anda.

PLUS MINUS
Plusnya drama dapat, Takeru Satoh keren dan pas adegan kembarnya sangat smooth. kucingnnya wow, endingnya fleksibel terserah penonton karena tidak dilanjutkan sesudahnya. tapi menunjukkan adanya indikasi happy ending. setidaknya, jika memang yamada akhirnya akan mati dia pasti mati bahagia karena bisa melakukan banyak hal yang ingin dilakukannya bersama orang di sekitar.

Minusnya apa ya... oh! saat kehilangan ketiga, transisinya terasa masih kasar. karena pas kehilangan film dan sedih-sedihan berdrama ria, tiba-tiba langsung berubah drastis di perjalanan ke Argentina yang pernah dijalani mas Satoh dan pacarnya. Ini flash back lagi. Juga tidak disebutkan lebih dulu bahwa yang akan dihilangkan adalah waktu.
*

Sekian untuk obrak-abrik film If Cat Disappeared from the World. Sampai jumpa di film-film berikutnya. Jangan kapok mampir ke Chapteranian yaa.

Adz.

Minggu, 19 November 2017

THE MISSING LINK 18

GLOOMY BLOSSOM
*

Hari terakhir acara, ibukota diguyur hujan lebat. Meski sudah berakhir sejam lalu, para bangsawan yang berasal dari luar ibukota masih berkumpul di penginapan tempat terselenggaranya acara. Ivory mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan kaca jendela. Memandangi cuaca di luar yang benar-benar buruk. Hujan deras disertai angin yang membuat pepohonan meliuk-liuk. Juga petir yang menggelegar sesekali.

“Apa kita tidak bisa menerobosnya saja?” tanya Ivory tidak sabar.

“Kenapa terburu-buru, sayang? Kau berharap kita berjalan di tengah badai dan kereta kuda kita tersambar petir?"

“Ayah, apa tidak ada balasan dari Manor? Kemarin aku mengirimkan surat untuk Crispin atau siapapun yang masih di Manor. Tapi aku tak juga mendapat balasan.”

“Kau sungguh penyayang, Ivory. Tenang saja, para slav sudah lebih tahu bagaimana caranya bertahan hidup. Juga menghadapi badai.”

“Aku mengkhawatirkan Crispin. Bagaimana jika kita naik kereta saja?”

“Pelayan sudah mencari tahu tentang itu. Perjalanan kereta pun dihentikan karena hujan memporak-porandakan hutan sekitaran jalur. Kita tidak punya pilihan lain selain tinggal. Mungkin esok pagi kita akan pulang.”

“Itu terlalu lama.”

“Bersabarlah.”

“Aku mau begitu hujan ini berhenti, kita langsung bergegas kembali.”

“Ivory. Kau tak mendengarkanku?”

“Ayah tak mau mendengarkanku?” tantang Ivory.

“Baiklah.”
*

Dini hari, hujan baru reda. Ivory masih terjaga, dan dia segera membangunkan para pelayan untuk bersiap memulai perjalanan. Setelah semuanya disiapkan, Ivory membangunkan ayah. Beliau terkagum-kagum dengan kegigihan Ivory menunggu hujan reda. Akhirnya mereka berangkat saat itu juga. Butuh satu jam perjalanan untuk sampai di Manor Saphiro. Selama perjalanan, Ivory tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar mengkhawatirkan Crispin.

Begitu sampai di Manor, Ivory langsung berlarian di koridor menuju kamarnya. Tak ada Crispin di sana. Ia juga bergegas menuju dapur, tapi tetap saja ia tak menemukan Crispin. Ia bahkan sampai mencarinya di istal, ruang mandi, padang dan juga rumah kaca. Tak juga ia temukan Crispin.

“Tuan Ivory,” sapa salah satu slav yang melintas. Ivory tak mengenalnya.

“Apa anda sedang mencari Crispin?”

“Dimana dia?”

Slav itu membisiki Ivory dengan informasi yang membuatnya terbelalak. Tanpa pertanyaan lagi, Ivory segera menuju ruang karantina. Ruang besar itu tak sepenuh dulu. Hanya ada satu orang yang tengah berbaring di antara luasnya ruangan. 

“Pin…” Ivory langsung menghampiri Crispin.

Tubuh kurusnya terlihat semakin kering, wajah riangnya tergusur jadi pucat pasi. Matanya terpejam, ada sisa memar di pelipis kanan. Bahkan pipi dan dagunya membiru karena lebam. Ivory hanya menatapnya dengan sedih. Ia bahkan menangis melihat keadaan Crispin. Air matanya langsung membasahi kain tipis yang digunakan untuk selimut.

“Alastair…” gumam Crispin. Ivory langsung menggenggam erat jemari Crispin.

“Aku pulang,” bisik Ivory.

“Maaf aku terlambat menyajikan teh untukmu.”

“Maaf aku pulang terlambat, Pin.” Crispin tersenyum.

“Maaf karena membuatmu mengalami ini. Maaf, aku benar-benar menyesal. Akan kupastikan Giles membayar mahal atas apa yang dia lakukan padamu. Aku akan menghajarnya. Jika perlu, aku akan membunuhnya sekalian.”

“Kau berlebihan.”

“Apa kau sudah dapatkan obatnya? Apa dokter sudah datang kemari? Apa kau makan dengan baik? Siapa yang merawatmu saat aku pergi, Pin?”

“Aku hanya slav, Tuan.”

“Sialan. Mereka semua benar-benar brengsek.”

Ivory menyingkap selimut Crispin, ia juga membantu slav kesayangannya itu duduk. Kemudian Ivory menggendong Crispin untuk membawanya keluar dari ruang karantina. Crispin tak berkata apapun, ia hanya diam. Air matanya menetes deras.

“Maaf, aku membuatmu menangis,” kata Ivory.

“Maaf, aku menangis,” sambung Crispin.

Ivory membawa Crispin melewati koridor panjang. Ia tak peduli dengan tatapan dan ocehan para slav yang ditemuinya sepanjang jalan. Ia juga tak peduli saat seorang pelayan coba menghentikannya. Sungguh tak ada yang bisa mengganggu keputusannya. 

“Aku tak bisa memaafkan siapapun yang menyakiti Crispin-ku. Bahkan jika aku harus melawan ayah, akan kulakukan. Bahkan jika aku menjadi pendendam, aku akan baik-baik saja. Bahkan jika aku harus menjadi pembunuh, aku bersedia.”

“Aku hanya sakit.”

“Tidak usah kau sembunyikan lagi, Pin. Aku sudah tahu semuanya. Giles memang membenciku. Dia tak pernah menerimaku. Tapi aku tahu, dia terlalu pengecut untuk menyerangku. Dia terlalu patuh pada ayah hingga tak berani menyentuhku. Maaf, karena akulah kau jadi begini. Aku tak percaya jika Giles berani menyakitimu saat aku tak ada. Aku akan pastikan untuk menghajarnya.”

Dua orang slav pribadi Ivory menghampiri mereka. Juga diikuti pelayannya. Ia menawarkan diri untuk membantu membawa Crispin, tapi Ivory menolak.

“Kalian siapkan makanan untuk Crispin dan panggilkan dokter pribadi ayah.”

“Baik Tuan.”
*

“Aku sangat menyesal mengatakan ini, Tuan Ivory. Tapi saya benar-benar tidak mengetahui penyakit apa yang diderita teman anda. Ini pertama kalinya saya mendapati kasus seperti Tuan Crispin,” kata si dokter.

“Kalian berlebihan. Ini hanya pneumonia, badai dan udara dingin membuatnya semakin parah,” gumam Crispin. Ivory merapatkan selimut Crispin. Ia lalu mengantar si dokter keluar kamarnya.

“Kau benar-benar tidak tahu apa penyebab sakitnya?”

“Benar tuan. Ini tidak pernah ditemukan sebelumnya. Gejalanya mungkin sama seperti pneumonia, mengalami sesak nafas dan lemas seluruh badan. Tapi, ruam di kulitnya sama sekali tidak saya pahami. Mungkin nanti akan saya laporkan pada workshop.”

“Workshop?”

“Saya akan meminta bantuan workshop kesehatan untuk membantu identifikasi sakit Tuan Crispin. Itupun jika dia masih bisa bertahan sampai malam ini.” Ivory marah mendengar kalimat si dokter. Dia segera mencengkeramnya.

“Apa maksud ucapanmu?”

“Sepertinya ini bukan hari pertama Tuan Crispin sakit. Jika sudah terjadi lebih dari dua hari, kemungkinan saat ini keadaannya dalam masa kritis. Maaf untuk itu, Tuan Ivory.”

Ivory langsung kembali ke kamarnya. Ia bahkan mengunci pintunya. Ia tak peduli lagi pada si dokter. Ia hanya ingin segera di samping Crispin dan menemaninya.

“Aku benar-benar minta maaf. Maafkan aku Pin. Maaf, maaf, maaf…” kata Ivory. Air matanya tak terbendung lagi. Ia sesenggukan di samping Crispin. Hingga lengan Crispin mengelus kepalanya dengan lembut.

“Apa perjalananmu menyenangkan?”

“Kau akan sembuh, Pin.” Crispin tersenyum.

“Hey, jika ini adalah sebuah pilihan. Jika kau hanya punya dua pilihan antara hidup dan mati, apa kau masih mau mempedulikan keadaannya?”

“Diamlah Pin. Kau tidak akan mati.”

“Semua orang akan mati. Aku juga akan mati.”

“Ya, semua orang akan mati suatu hari nanti. Kau juga mungkin akan mati, tapi tidak hari ini. Aku tidak akan membiarkanmu mati.”

“Kau mau dengarkan pilihannya?”

“Kau memaksaku mendengarkannya, Pin.”

“Antara hidup sendiri dan menjadi raja yang menguasai singgasana. Atau mati untuk memastikan lebih banyak orang akan hidup dan menjadi pahlawan penyelamat. Mana yang lebih kau pilih?”

“Keduanya beresiko. Tapi untuk saat ini aku tak akan memberimu jawaban. Kau harus menunggu sampai esok pagi jika masih ingin mendengar jawabanku.”

“Kau memang selalu kejam seperti itu, Alastair.” Ivory terdiam cukup lama. Ia sedikit tersentak ketika Crispin memanggilnya dengan nama itu.

“Kau terlalu banyak ragu. Tidak seperti Alastair yang kukenal. Jika Alastair mungkin akan langsung memberikan jawabannya. Bagaimana jika aku kehabisan waktu sebelum mendengar jawabanmu?”

“Aku akan menghabiskan waktu bersamamu selalu, Pin.”

Ivory terlelap di sisi Crispin. Mereka melewati pagi hingga sore bersama. Ivory merasa lega karena masih menemukan Crispin di sampingnya saat ia terbangun. Tapi bukan Crispin ceria yang ditemuinya. Crispin terlelap dalam tidurnya. Wajahnya pucat. Ivory membelai wajah Crispin perlahan. Saat itulah dia rasakan suhu tubuh Crispin yang sangat tinggi.
*

Hingga malam hari, demam Crispin tidak juga turun. Bahkan Ivory sudah menghubungi dokter dan menyuruhnya menginap di Manor. Sementara ia dilanda kepanikan, Tuan Saphiro justru tengah mengadakan pertemuan dengan workshop. Undangan dibagikan di sore hari dan malam harinya, segala persiapan untuk menyambut tamu dilakukan. Semua slav bekerja lembur untuk pertemuan itu. Bahkan satu persatu tamu undangan sudah mulai berdatangan.

Ivory tak melihat Giles. Ia tak sudi melihatnya sebelum Crispin sembuh. Tapi sepertinya ayah tak lagi mempedulikannya. Ivory sudah meminta puluhan kali pada ayah untuk membantu pengobatan Crispin. Tapi ia diabaikan. Bahkan dokter pribadi yang dipanggil Ivory justru fokus merawat Giles untuk menghilangkan bekas luka di pelipisnya. Lady Seraphina juga ikut datang, dia terus mengekori Ivory tapi diabaikan. Bahkan Ivory masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.

“Alastair,” panggil Crispin.

Ivory kembali dari lamunan. Tangannya langsung menggenggam jemari Crispin yang terasa makin susut.

“Bisakah kudengar jawabanmu sekarang?”

“Apa aku punya pilihan yang lebih baik lagi, Pin?” Crispin terkekeh.

“Aku takut tidak punya pilihan lain, Alastair.”

Crispin hanya diam memandangi langit-langit. Ia tak lagi bicara, ia mendiamkan Ivory dan mereka tak tahu lagi harus bicara tentang apa. Mereka hanya saling diam dan mengabaikan.

“Hey Pin,” panggil Ivory.

“Pada akhirnya, kau tak mau menjawabnya bukan? Tapi memang begitulah kau. Kau adalah kesayangan ayah dan kau adalah sang raja. Kau tak bisa menunjukkan kelemahanmu.”

Ivory diam cukup lama untuk memikirkan topik lain yang mungkin berhasil mengalihkan fokus pembicaraan Crispin. Ia mulai tak suka dengan ocehan Crispin. 

“Kau bilang ingin menjadi anak kesayangan ayah ‘kan? Pakailah, cincin ini diberikan ayah pada anak yang paling disayanginya,” kata Ivory mencoba mengalihkan perhatian. Ia melepas cincinnya dan menaruhnya di jari manis Crispin.

“Dengan begini kau sudah menjadi kesayangannya, Pin,” lanjut Ivory. 

“Ini indah, seperti matamu.”

Crispin memandangi Ivory. Keduanya terdiam cukup lama. Ivory tak tahu apa yang dipikirkan Crispin dan apa pesan yang ingin disampaikannya lewat tatapan itu. Ivory seolah hanya melihat kehampaan di antara diam. Tapi Crispin kemudian tersenyum. Sebuah senyuman yang berhasil menarik senyum Ivory juga.

“Jemarimu juga pas mengenakannya. Kenakan saja, sampai kapanpun kau mau.”

“Dari awal berada di sini, aku selalu ingin jadi kesayangan ayah. Aku menunggu hal baik itu terjadi padaku setiap tahunnya. Tapi tak pernah terwujud. Aku hanya jadi slav kepala istal selama empat tahun,” kata Crispin.

“Kau sudah jadi kesayangan, Pin.”

“Tidak. Bukan aku, tapi kau. Kau akan menjadi kesayangan ayah sampai akhir. Bahkan jika aku mati, bukankah aku tak pernah punya kesempatan untuk jadi kesayangannya?”

“Aku tidak suka kata-katamu. Ayah tidak sebaik itu. Kesayangan bukan berarti seindah itu. Buatku, hal baik bahkan satu-satunya hal baik yang datang padaku adalah kau Crispin.”

“Maaf.” Ivory menggenggam tangan Crispin.

“Pin. Kau adalah kesayanganku.”

“Aku senang mendengarnya, Tuan Alastair.”

“Sudah kubilang ‘kan, kau sudah jadi kesayangan.” Crispin tersenyum. Morel masuk di antara keheningan keduanya. Dia mengibas-ngibaskan ekornya lalu mengeong.

“Morel,” gumam Crispin. Ivory menggendong kucing itu dan meletakkannya di atas kasur tepat di antara Crispin dan Ivory. 

“Kupikir dia tidak menyukai nama itu,” gerutu Ivory. Morel berputar-putar kemudian tertidur melingkar. Crispin mengelusnya dan Morel pun mendengkur.

“Dia menyukainya,” kata Crispin.

“Terserah kau sajalah, Pin.” Ivory ikut mengelus Morel.

“Tuan Alastair, keluargaku selalu berharap padamu hingga akhir. Ayahku selalu membanggakanmu. Ibuku juga menyayangimu. Kami selalu bersamamu bahkan hingga malam tragedi itu. Jangan buang nama Alastair hanya karena kejadian malam itu. Jangan lupakan tujuanmu datang ke sini, Tuan Alastair. Jangan dibutakan oleh kematian pion-pionmu. Kau harus tetap menjadi Alastair.”

“Pin?”

“Aku bahagia telah menjadi pion bagimu, Tuan Alastair.”

“Aku juga senang kau memanggilku dengan nama itu, Pin.” Crispin tersenyum bahagia. Terlihat indah dan tenang. Ivory ikut tersenyum melihatnya. Hingga akhirnya air mata menitik di sudut mata Ivory. Crispin telah pergi untuk selamanya.
*

Malam makin pekat bagi Alastair. Ia telah kehilangan kesayangannya. Ia telah kehilangan sahabat terbaiknya dan satu-satunya yang ia percaya. Tapi ia juga telah menemukan dirinya. Ia telah kembali pada Alastair. Sebuah nama yang dulunya menghilang karena ia telah merajai Manor dan menjadi yang tak terbantahkan.

Alastair mengumpulkan para slav di ruang karantina. Ia juga memerintahkan dua slav pribadinya dan beberapa slav lain untuk memindahkan sebuah gerobak berisi karung-karung dari istal. Morel mengikuti langkahnya menuju ruang karantina. 

Saat memasuki ruang karantina, satu slav-nya langsung menutup pintu ruang karantina. Sementara seorang lagi berjaga di depan ruangan. Alastair memerintahkan seluruh slav dalam ruangan untuk berbaris. Ia duduk di kursi dan meja yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Diam saja dan turuti apa yang kukatakan,” kata Alastair tegas.

“Tuan Ivory, apa maksudmu?”

“Aku memerdekakan kalian, para slav.”

Hanya ada riuh para slav yang bergumam antara bingung dan kagum. Alastair membuka koper besar yang dibawanya. Isinya adalah tumpukan kertas kontrak kepemilikan atas slav.

“Gunakan uang yang kuberikan untuk pergi ke tempat kalian berasal. Jangan menampakkan diri sebelum fajar lusa.”

“Tapi, tuan pasti akan marah.”

“Aku yang bertanggung jawab. Aku Ivory adalah anak kesayangan ayah. Dia tak pernah bisa menolak apapun permintaanku. Bahkan mungkin dia lebih memilih mati daripada tak bisa memenuhi keinginanku. Pergilah, semua yang tersisa di sini akan baik saja.”

“Terima kasih, Tuan Ivory. Kami akan pergi.”

“Apa kau juga akan melepas Crispin? Atau akan membawanya bersama anda?” Ivory tersenyum kecut.

“Dia bersamaku,” kata Ivory.

“Syukurlah, saya lega jika masih ada Crispin bersama anda.”

“Ya, aku juga,” sambung Ivory.

“Tuanku, bolehkah kami mengenang nama aslimu?”

“Namaku Alastair.”
***