Laman

Pages - Menu

Minggu, 16 Juli 2017

MORNING DEW


*
Tak ada kopi, mimpi buruk ataupun gunungan tugas yang menyebalkan. Tapi aku masih terjaga, diam dengan lorong panjang yang kosong tergambar jelas di kepala. 

Haruskah kuisi cangkirku? Abaikan saja. Hey, biarkan aku melihat diriku saat bertingkah layaknya orang gila. Seburuk itukah? Mana yang kau suka? Eve? Roarke? Without rules, chaos or with chaos, life?

Semua teriakan, makian dan keluhan itu mulai melingkari kepalaku. Aku merapatkan selimut saat gerutuan itu justru semakin keras dan membentuk pusaran luar biasa besar. Garis hitam dan putih beredar menjadi satu dan memelintir tubuhku untuk masuk ke dalamnya.

Aku mendekati sebuah rumah kecil serupa pondok. Matahari tak bersinar di sini, meskipun langitnya membiru. Aku tak tahu, apakah ini siang tanpa matahari atau malam tannpa gemintang. Sebatang pohon Maple besar teronggok di sana, tepat di sampingnya adalah ayunan sederhana dari ban bekas. Lalu kulihat samping rumah dan sekitarnya, rumah ini berada di hamparan padang dandelion. Bahkan beberapa beterbangan terbawa angin lembut yang dingin.

Ini bukan mimpi, akupun masih mengenakan gaun tidurku. Gaun putih panjang kusam dan sebuah syal hitam. Kakiku bahkan telanjang dan mulai menikmati sensasi tanah segar di dunia ini. Angin sesekali berhembus, menghempas rambut ekor kuda yang terikat berantakan hasil kegusaranku di atas bantal. Tempat apa ini?

“Halo?” 

Derit pintu menuntun langkahku memasuki ruang penuh kenangan yang kini terbungkus debu. Pertanda bahwa keberadaannya kini tak terurus. Kutemui seorang gadis cilik yang tengah bergelung dalam lindungan selimut tebal. Bertarung dengan dinginnya dinding. Secercah cahaya dari perapian menerangi wajah polosnya. Aku seolah berkaca saat mataku bertemu matanya. 

Dia bangkit dari sofa reot dan berjalan kearahku dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelum air matanya meluncur, aku segera menghampirinya dan menghapus air mata itu.

“Mengapa kau menangis?”

“Aku menangis karena kulihat sebuah kenangan yang perlahan terlupakan. Bagai sehelai daun yang layu, gugur hingga terhempas ke atas tanah, kering dan hancur. Aku membencinya.”

“Tapi tak ada yang abadi, begitu pula dedaunan hijau yang lebat. Suatu saat nanti mereka juga akan gugur dan tergantikan oleh tunas baru yang menjaga kelangsungan hidup si batang pohon. Mereka berkorban untuk kehidupan yang lebih panjang. Kau tahu berapa umur pohon di halaman rumah ini?” tentu saja dia menggeleng, pertanyaan konyol. Akupun tak tahu. Jauh sebelum aku kemari, dia sudah di sana. Jadi akupun tak bisa menerka berapa banyak daun yang sudah berguguran untuk kehidupan pohon sebesar itu.

“Aku benci daun yang gugur. Aku benci musim gugur, aku benci pohon yang melupakan daunnya sendiri. Aku benci melihat dedaunan itu terlupakan begitu saja. Aku benci kenangan.”

“Hey, kau tak bisa menganalogikan kenangan dengan dedaunan yang gugur.”

“Apa bedanya, mereka sama saja.” 

Gadis kecil keras kepala, pikirku. Aku semakin yakin bahwa dia dan aku memang terikat satu pemikiran yang sama. Aku juga pernah berada dalam posisinya saat ini. Ketika aku membenci dedaunan yang gugur dan terlupakan.

“Saat musim panas, pepohonan akan menggugurkan daunnya. Semakin banyak yang terbuang, akan semakin baik dia bertahan. Tapi manusia bukanlah sebatang pohon. Semakin banyak kenangan yang tersimpan akan membuatnya semakin kuat menjalani hidup. Bahkan jika kenangan dalam dirinya kosong, dia akan kosong pula. Dia akan menderita.”

“Tapi kau tidak begitu, kau menyembunyikannya. Kau terluka karena sebuah kenangan dan kau menyembunyikannya. Karena kenangan itulah kau kembali ke tempat ini. Ruang yang sudah lama kau tinggalkan. Lalu mengapa kau kembali jika kau datang hanya untuk lari?”

“Aku tidak lari, aku hanya merindukan sebuah kenangan. Itulah yang membuatku datang ke mari.”

“Aku mengingat mereka yang terakhir kulihat berkumpul di sini. Mereka juga melakukan hal yang sama padaku, aku masih ingat kata mereka. Hingga kini yang tersisa hanyalah duka saat mereka tiada. Mereka pergi setelah melepas janjinya.”

“Siapa?”

“Aku masih ingat yang diucapkannya: I’ll never let you go. Lalu saat itu aku hanya bisa merengek sambil membalas: don’t leave me here alone.” 

“Kata yang indah.” 

Dia tersenyum kecut tanpa menatapku.

“Kau pun tahu itu begitu indah. Tak seindah kalimat terakhirnya.”

You’ll be alright, no one can hurt you now,” sahutku spontan.

“Siapa kau? Mengapa kau mampu mengulang kenangan itu dalam kalimatmu. Siapa kau?” dia bergerak mundur menjauhiku. Bahkan kini lambaian tanganku tak mampu menggapainya.

“Aku pun tak tahu. Aku masih mencari tahunya, siapa aku dan mengapa aku memasuki rumah ini. Seolah ada yang menarikku untuk kembali. Kumohon jangan lakukan itu padaku, aku benci sendiri…”

“… dan aku tak mau sendiri,” sambungnya. 

Aku masih tak mengerti dengan gadis cilik itu. Dia semakin jauh dariku dan sebanyak apapun aku mencoba menggapainya, dia selalu menjauh. Apa yang terjadi? Mengapa terasa begitu menyakitkan? Haruskah kupanggil seseorang bernama Zack untuk mengatakan siapa aku dan mengapa aku di sini? Aku bahkan tak mengingat Zack, yang kuingat darinya hanya uluran jemarinya saat dia membersihkan sarang laba-laba yang menyangkut di rambutnya. Juga teriakanku yang terkejut saat melihatnya muncul dari kedalaman rumah tua ini. Itu sudah lama sekali, sangat lama. 

Saat terakhir kami saling mengucapkan rindu, dan menerbangkan impian kami bersama di padang dandelion. Hingga gugurnya daun Maple mengantar kami ke gerbang kehidupan masing-masing.

“Mungkin berat juga melelahkan bagimu untuk mengingatku, tapi ini sebenarnya sangat mudah. Aku sangat dekat denganmu, bahkan lebih dekat dari bayanganmu sendiri. Aku ada dalam dirimu, aku selalu bergelung dan meringkuk sendiri di sana. Ruangan ini seperti dirimu saat ini, kosong, dingin, berdebu, tak terurus. Semua deskripsi rumah ini adalah gambaran dirimu sendiri.”

“Lalu kau?”

“Aku hanya bagian kecil dari dirimu yang mulai kau lupakan. Aku sehelai daun yang rela gugur agar kau dapat bertahan. Aku yang perlahan mulai pergi darimu dan kehidupanmu yang kini penuh logika. Terakhir kau keluar dari kenangan ini, kau menciptakan tembok tebal yang sangat kokoh. Aku bahkan tak bisa menyentuhnya sama sekali.”

“Dinding?”

“Kau menciptakannya atas kebencianmu sendiri. Kau membenci hati kecilmu dan berniat mengosongkannya. Kau membuatku terkurung sendiri, kau jauh lebih banyak melangkah dengan logikamu, dengan perhitungan di kepalamu. Kau melupakanku dan aku mulai menyadarinya ketika kau meniup lilin bertuliskan angka 18. Kini kau nyaris dua puluh, hampir dua tahun kau membiarkanku di sini kedinginan.”

“Kau adalah aku?”

“Awalnya aku tak mengerti, setelah pembicaraan awal tadi aku mulai menyimpulkan dan aku tahu bahwa kau adalah orang yang ingin kutemui. Hanya ada satu orang yang ingin kutemui dalam kisah ini. Dia adalah kau, aku selalu memimpikan saat aku menemuimu dan mengatakan semua ini.” Aku mengulurkan tanganku dan jemari kami berdua saling terpaut. Aku mengamati jemari kecilnya yang mulai memudar tapi tidak dengan senyumnya.

“Kumohon  kali ini selamatkan aku. Aku tak mau sendiri.”

“Tentu, karena akupun benci untuk hidup sendiri. Aku berjanji, aku akan selalu menjagamu dalam hatiku” aku membenamkannya dalam pelukan sebelum ia segera keluar dari rengkuhanku.

“Jangan putus asa. Hidupmu indah, kau tinggal menjalaninya saja. Pilih juga jalan yang indah bagimu, aku percaya kau tak akan meninggalkanku lagi, Bela.”


Kring…. Kriiing …

Aku tersentak, jantungku berdebar kencang dan segera aku menyambar cangkir air putih di atas meja samping tempat tidurku. Apa yang baru saja terjadi?

Angin berhembus sepoi menerbangkan tirai kamarku dan menyingkapnya, membuka ruang bagi cahaya matahari untuk menyapaku. Gadis kecil itu? Matahari pagi ini, adalah semangatku. Saat aku bangkit, laptopku masih menyala dengan sepenggal kalimat tertulis di salah satu sticky notes berwarna pink.

“Jangan putus asa. Hidupmu indah, kau tinggal menjalaninya saja. Pilih juga jalan yang indah bagimu, aku percaya kau tak akan meninggalkanku lagi, Bela.”

Aku tersenyum membacanya. Aku memang bertemu denganmu rupanya, ini bukan mimpi. Satu lagi keajaiban pagi ini, ada yang mengirimiku secangkir kopi panas yang masih mengepulkan uap. Terima kasih untuk kopinya, gadis cilik.
***

P.S: Maafkan karena lama non aktif. Karena internet mahal dan pergerakan saya terbatas untuk mengejar wifi gratis. Sebuah cerpen absurd yang ditulis pas saya ulang tahun ke dua puluh satu. Berdasarkan kejadian nyata. Pagi-pagi sekitar jam setengah limaan baru mau tidur setelah begadang semalaman. Sempat tidur lima belas menit dan bangun-bangun sudah ada secangkir kopi hangat di meja. Saya pikir mimpi, ternyata buatan saya sendiri sebelum micro-sleep. Semoga menikmati kegajeannya.

Sabtu, 08 Juli 2017

Dokumentasi Hidup part 2


21
NB: KILL THE TRAITOR, please
kita ini semua sama, satu akar dari satu dasar, semua benar semua salah. tergantung dari mana kau melihatnya. manusia adalah manusia. ingin selalu terlihat mulia. bicara seakan utusan dewa. silat lidah silat kata. tuhanku tuhanmu. tuhanmu tuhanku. hanya dia segala maha. kita hanya mahluk jelata. -MATA JIWA.

22
Helikopter, minta duit!!!!!

23
Aku tahu setiap orang datang dengan bebannya masing-masing. Itulah yang membuatku bertahan. Aku perlu tempat sembunyi.

24
Take my hand tonight and lets talk about tomorrow -TAKE MY HAND

25
Part I
Di antara dua kubu yang berlawanan. Di antara dua kebencian yang saling berhadapan. Di sela-sela sepoi hembus angin pembawa gaduh suara genderang perang. Aku diam. Tersisihkan dan terlempar dari kubu. Bukan. Bukan tersisihkan, aku memang tak punya kubu. Aku memang memilih jalan ini. Meski sendiri, tapi kesendirianku adalah kedamaianku.

Part II
Hari ini, aku coba naikkan pandangan. Kubuka jendela gubuk yang lama tertutup. Saat itulah aku melihat dia. Tepat di seberang kubu lawan. Dan dia juga sendirian. Kupikir, ah ternyata ada juga yang benci kegaduhan perang. Untuk beberapa waktu, kami bertemu di tempat yang sama. Duduk-duduk di tepian sungai yang memerah karena perang. Berfantasi tentang beningnya air sungai sebelum ternoda. Bahkan tak jarang, kami saling mengabaikan, membebaskan diri untuk menikmati diamnya masing-masing.

Part III
Pagi yang cerah, kubuka jendela. Suara gaduh langsung menyeruak. Kulihat sisinya tak lagi sepi. Dia juga telah berkubu dan aku tertipu. Kututup jendela juga telinga. Tak ada orang lain yang tak suka berkubu. Hanya aku.
20 Oktober 2016

26
Semesta, bantulah MAHASISA!

27
Mereka telah jatuh cinta pada kalkulus. Hingga mengabaikan Tuhannya untuk menyelesaikan satu soal dari tumpukan tugas kalkulus. Padahal Tuhan yan memberi mereka waktu untuk mengerjakan kalkulus. 

28
I want to run away, but I can't leave you here alone.
I want to destroy this way, but I can't hurt you more.
I want to cry, but I can't see tears in your eye.

29
Coffee time is perfect writing time.

30
Ketika aku mendekat satu langkah pada mereka, sambil membuka satu fakta tentang diriku. Maka mereka malah ambil satu langkah mundur karena kekuranganku. Hey, human is a bad things to observe.

31
Tentang hujan? Tidak. Ini bukan lagi tentang hujan ataupun tentangmu. Juga bukan tentangku. Kemarin kutuliskan enam kata yang mewakili hujan, kamu dan aku: Hujan ini bukan lagi tetangmu. Hari ini ingin kubunuh kamu dari aku. Enyahlah kamu, juga hujan itu.

Semuanya berlalu
Hilang
Tak kucari lagi
Biarlah pergi
Aku tak peduli
Biarlah mati
Aku sendiri
Kubunuh kau lagi

Senin, 21 November 2015/ Setelah hujan tanpa pelangi.
P.S: Tak semua hujan diakhiri pelangi. Tak semua kesedihan berakhir bahagia. Kebahagiaan tercipta karena kesedihan tetap menjadi kesedihan [?]

32
If I could be with you tonight. I would sing you to sleep. Never let them take the light behind your eyes. I failed and lose this fight -THE LIGHT BEHIND YOUR EYES

33
Hey, bukankah sudah kubilang, jangan belikan aku kue ulang tahun? Kau membuatku bersedih. Ini memalukan, cahaya lilinnya akan menerangi wajahku saat aku menangis. Kau harusnya yang paling tahu betapa aku paling benci perayaan. Terutama perayaan yang kau sebut ulang tahun itu.

Hey, aku ini tak suka spotlight. Juga perayaannya. Bukan aku membenci perayaan darimu, aku tetap mengulum senyum bukan? Aku tak pernah bisa membecimu juga kalian.

Hey, kau tahu mengapa aku membenci kue ulang tahun? Jika kau masih mengingatnya, maaf aku mengulanginya dan membuat telingamu bising karenanya. Karena aku tak tahu harus kubagi dengan siapa. Karena aku tak punya banyak orang untuk menghabiskannya. Karena aku tahu, akhirnya itu akan sia-sia. Karena pada akhirnya perayaan itu tetap hampa. Meski ada belasan kepala yang memberiku senyuman. Meski mereka menyenandungka lagu yang sama setiap perayaannya. Lalu apa yang kurisaukan? Meskipun mereka memberiku selantun doa indah. Meskipun aku tetap tersenyum saat kita berfoto bersama. 

Harusnya kau tahu.

Bagaimana mungkin aku menangis saat lilin-lilin itu menerangi wajahku. Bagaimana mungkin aku abaikan semua yang kalian usahakan. Lalu siapa yang salah? Mungkin saja ini bukan salah kalian. Ini memang keanehanku saja. Karena aku tak sama dengan kalian. Bukan istimewa, hanya saja aku selalu merasa berbeda. Hey, bukankah semua manusia memang istimewa dengan mengandalkan perbedaannya? 

Hey, aku tak marah. Sungguh. Hanya merasa malang. Itu saja.
8 Mei 2015

34
FAIRY TAIL
There are walls that can't be broken through power alone. But if there is a power that even break through those walls, it's the power of feelings! -MAVIS VERMILION
Everyone has the right to choose the future! We're headin' for the future that we choose! -NATSU DRAGNEEL
We don't have to know what tomorrow holds! That's why we can live for everything we're worth today! - NATSU DRAGNEEL

35
Ligiken: hujan salju di puncak Jaya Wijaya
Keneker: kelereng
Imbesil: Dalam keadaan mempunyai kecerdasan berpikir yang sangat rendah pada orang dewasa
Guli: Ruas jari tangan yang digunakan sebagai ukuran dalam arsitektur tradisional
Ontogeni: sejarah proses perkembangan makhluk hidup

36
Always smile more than you cry. Give more than you take and love more than you hate

37
NESTAPA DI NIRWANA
Aku memang minoritas. Di antara mereka para berlian yang dihasilkan dari tambang. Memang aku tak terlihat berharga. Tapi bagi orang tuaku, aku adalah miliknya yang paling berharga. Bahkan tak bisa dirupiahkan. 
Bagi mereka yang bergelimang materi, aku mungkin hanya pengemis hina. Tapi bagi orang tuaku, aku adalah harapannya. 

Mungkin bagi mereka yang sudah punya istana, aku hanya gelandangan tak berharga. Tapi bagiku, aku bangga. Gelandangan ini mampu berada di tempat yang sama dengan mereka yang menghinanya. 

Aku mungkin hanya dipandang sebagai serangga. Terserah apa ocehan mereka. Persetan pula dengan tatapan jijik mereka. Hanya satu saran untuk mereka. Berhati-hatilah dalam memperlakukan serangga. Dia bisa saja menusukkan racun dalam darahmu dan membunuhmu. Atau kau memeliharanya untuk jadi temanmu. Bagai kupu-kupu yang membantu penyerbukan setangkai bunga.

38
One day I will be ready to go see the world behind my wall -WORLD BEHIND MY WALL
Mengapa orang lebih pilih yang berbunyi meskipun kadang tak berguna?

39
Menyedihkan itu ketika ada yang bertanya bagaimana kabarmu? Dan kujawab dengan baik-baik saja, hehe. Yang kutulis begitu. Padahal di dunia nyata, air mata mengalir deras. DASAR PEMBOHONG.

40
"Apa yang membuat kota itu begitu istimewa?"

"Tak ada. Tapi dalam jiwa, itu adalah segalanya."

Akhirnya aku menyerahkan kerajaan Tuhan di bumi pada ksatria bijak di hadapanku. Yang kutahu, dia tak seperti rajaku. Dia benar-benar berperang untuk Tuhannya, bukan hanya untuk merebut tanah lawannya dan membunuh rakyatnya. Dia bahkan mengizinkanku berbagi kedamaian kota ini. Dia menuntun kami untuk perg engan damai. Saat itu aku menyadari sesuatu. Hal yang dia katakan sebelum kepergianku.

"Jika kau berperang untuk melindungi orang-orang tak berdaya di balik dinding, maka kau salah. Perang hanya akan merenggut mereka yang disayangi dari mereka yang kau lindungi. Kepedihan adalah hakikat utama sebuah perang. Darah yang mengalir di medan perang tak akan berhenti saat raganya mati. Tapi akan selalu menggenang dalam air mata para generasi. Damai adalah kata bijak yang selalu melindungi. Tuhan ciptakan kita dengan kedamaian lalu mengapa kita mengusik keindahan dari kedamaian itu? Assalamu 'alaikum warrahmatullahi wabarukatuh."


Bersambung... 
lain kali.

Jumat, 07 Juli 2017

Originalitas Doa dalam sebuah Nama


*
Kerandoman kali ini, aku akan bahas tentang nama. Umumnya, nama adalah identitas pertama yang dimiliki manusia. Sebuah identitas yang diberikan oleh orang tua. Sebuah nama adalah sebuah doa juga pertanda lahir. 

Baru-baru ini, aku punya dua nama. Nama pemberian orang tua dan nama yang kutulis sendiri. Sejak lahir namaku Bela Azania. Itupun sudah salah tulis saat ngurus akta kelahiran. Karena harusnya Bella Adzania. Nah nama yang baru kemarin kugunakan adalah nama Nitya Kemala. Nama pena untuk tulisan yang kemarin coba diterbitkan oleh penerbitan sendiri. 

Entah kenapa aku memilih menggunakan nama pena daripada nama sendiri. Aku bukannya tidak pede dengan nama pemberian orang tua. Hanya saja, sifat introvert ini memaksa diri untuk tetap sembunyi di balik identitas baru. Meskipun tidak ada untungnya menghidupkan sebuah nama baru. Awalnya aku menghidupkan Nitya Kemala ini dengan nama akun instagram. Tapi lama kelamaan aku malah bosan sendiri. Dan akhirnya kembali ke nama asli. Sekarang, jika ada kesempatan untuk kembali menerbitkan sebuah karya, aku akan gunakan nama pemberian orang tua. Meski tidak lengkap dan sedikit di-fiksikan. Karena saat aku mulai menghidupkan blog ini, aku sudah memutuskan. Nama penaku di kemudian hari adalah Adzania. Iyap hanya Adzania saja. Mohon maaf untuk Nitya Kemala, karena kita hanya ada dalam satu buku saja.

Kenapa? Kenapa tidak konsisten dengan nama yang sudah dipilih? Kenapa tidak bertahan dan mempertahankan nama yang sudah dipilih? Kenapa galau kemudian ganti lagi? Kenapa labil? Jawabannya satu. Sakit hati ini.

Iya, sakit di hati. Bukan maksud aku sakit liver. Bukan juga sakit hati karena gunjingan orang. Bukan sakit hati yang sama dengan patah hati. Ini benar-benar mak-JLEB. Jleb-nya itu ketika mama baca novelku dan tanya: Kenapa namanya Nitya Kemala bukan Bela Azania?

Lalu kau tau apa jawabanku?

"Itu nama pena, Mam."

Aku pikir itu ending pertanyaan. Ternyata tidak. Mama tanya lagi atau setidaknya itu adalah sebuah komentar mengenai jawaban yang kuberikan. Komentarnya: Kok sama sekali ga ada nyambung-nyambungnya sama nama aslimu?

DEG! Langsung JLEB banget. Saat itulah aku sadar bahwa pertanyaan Mama adalah sebuah kesedihan. Ketika Mama lebih mengharapkan nama yang aku gunakan adalah nama pemberiannya. Memang sih, rasanya pasti sakit ketika seseorang malah tidak menggunakan nama yang sudah dibuatkan untuknya. Apalagi spesial dari orang tua. Setelah dipikir-pikir, aku tahu sih alasannya.

Pertama, membuat nama itu tidak semudah ngelempar pakaian kotor ke bak cuci. Buat nama itu ribet. Untuk nama pena ecek-ecek sekelas Nitya Kemala saja, aku mikirya bermalam-malam sebelum sampul di-desain. Ketika ditanya desainernya mau pake nama pena apa? Baru deh bingung cari nama. Kedua, nama itu biasanya disangkut pautkan dengan sebuah arti, sebuah definisi dan doa-doa. Lalu mengapa akhirnya aku pake nama Nitya Kemala?

Jadi ceritanya panjang, bahkan aku menghabiskan banyak waktu untuk browsing untuk arti nama. Bahkan sampai masuk ke website-website penyedia nama anak, rempong kan? Nitya artinya Malam, [awalnya mau pake nama Dalu yang artinya malam juga]. Referensinya dari bahasa jawa kuno dan nyerempet ke sansekerta. Kenapa dipilih malam? Ya itu mungkin karena saya terbiasa kerja di malam hari. Apalagi untuk proses penulisan novel kemarin memang lebih banyak nulis malam alias begadang. Jadilah aku masukkan elemen malam itu dalam nama pena. Nah kemudian kata Kemala, berarti pusaka, senjata, kekuatan [berarti sama dengan Kumala, Kamala]. Nah bagian ini rada bikin merinding karena ternyata biasa dalam konotasi ajimat. Weleh, padahal niatnya adalah arti dari nama NITYA KEMALA adalah kekuatan [melawan deadline] di malam hari. Yang sangat aku banget, hehehe. Tahap terakhir dari pencarian nama pena ini adalah, aku browsing di gugel tentang Nitya Kemala. Dan BOOOM, tak ada satupun manusia tiga dimensi yang memiliki nama tersebut. Jadilah saya menggunakannya.

Fiuh, terbayang kan betapa ribetnya? Jadi, aku memutuskan untuk menghargai nama yang sudah dibuat hanya untukku. Sembunyi di balik nama orang lain, nama pena, nama buatan sendiri rasanya ga enak. Ga enaknya adalah merasa menjadi pengkhianat. Seperti curi-curi kabur dari pemberian setulus hati dari orang tua. Dan bagiku, nama terindah adalah nama yang dipilihkan orang yang akan selalu mencintaimu tanpa syarat, yaitu orang tua.

Selain, menghargai orang tua, menggunakan nama asli dalam pencantumannya di sebuah karya akan memberikan kebanggaan tersendiri. Orang tua juga ikut bangga ketika nama yang mereka berikan ada dalam karya si anak. Karena karya dan prestasi seorang anak adalah bayaran terindah bagi orang tua. Mama sendiri yang bilang begitu. Love you, Mam.

Okedeh. Jadi seberapapun pendeknya namamu, seberapapun kunonya namamu, seberapapun mainstream-nya namamu, seberapapun panjangnya namamu, seberapapun susahnya namamu, seberapapun anehnya namamu, tunjukkan saja. Karena namamu itu adalah identitas pertama yang diberikan orang tuamu sebagai pembeda di dunia. Karena namamu itulah yang senantiasa dipanggil ramah oleh orang tuamu. Karena namamu itulah kau dikenal.
***