Laman

Pages - Menu

Senin, 26 Desember 2016

One Ok Rock- I Was King

Yay, akhirnya saya nambah label baru di blog campur aduk gado-gado saya ini. Yaitu tentang lirik lagu dan tentunya dari band yang saya suka atau dari lagu yang saya suka. Hahaha, maksa ya? Untuk post pertama dengan label lirik akan diisi oleh One Ok Rock dengan lagu 'I was King' dari album full bahasa Inggris pertamanya yaitu Ambitions. Ini album pertama di bawah naungan manajemen Fueled By Ramen. Album ini sudah ada versi digitalnya dan akan rilis album fisik pada tanggal 11 Januari 2016. Selamat menyimak.


PS: disarankan sambil dengerin lagunya. Supaya terasa karaokean gitu... Ini official music video-nya dari manajemen Fueled By Ramen.


I WAS KING

We said tonight, no going back
Nothing seems right, stuck in the past

Toomawari mo yorimichi mo
Subete no koto ni imi ga atte
Karamawari mo sono itami mo

When am I, when am I gonna start this dreaming?
When I was king, I was king, we had everything
When am I, when am I gonna start living?

When I was king, I was king, we had everything
When am I, when am I gonna start living?

Don't wanna go, I'm holding on tight
Something to live for make it our nights
(Shut down the sirens in our heads)

When I was king, I was king, we had everything
When am I, when am I gonna start living?

When I was king, I was king, we had everything
When am I, when am I gonna start living?
When I was king

I was king
I was king
I was king

If I go down, I will go down fighting
I will go down, down like lightning

If I go down, I will go down fighting
I will go down, down like lightning

When I was king, I was king, we had everything
When am I, when am I gonna start living?

When am I, when am I gonna move on?
When am I, when am I gonna kill this feeling?
When am I, when am I gonna stop this dreaming?

When I was king, I was king, I was king
I was king, I was king, we had everything
When I was king


*

Nah waktunya pembahasan dan komentar sedikit. Videonya sudah ada di official youtube-nya Fueled by Ramen. Menurut saya videonya unik karena berbentuk animasi yang berkisah seiring dengan isi lagu. Musiknya dibuka dengan awalan gitar yang Toru banget karena sangat familiar. Menurut saya awalannya sih mirip lagu Nothing Helps dari album Jinsei kakete Boku wa tahun 2013. Overall good, tetep easy listening dan saya perlahan menerima kok. Coba saja dengerin.

Special thanks to Furahasekai.com untuk lirik bahasa jepangnya yang susah ditemui. Bagi yang penasaran dengan terjemahan lirik bahasa Indonesianya, silahkan berkunjung ke web yang saya sebutkan tadi. 
***


[OPINI] Juara Tanpa Mahkota (5 kali)

King without crown

Segala yang berlebihan memang selalu berujung tidak baik. Fanatisme pada apapun termasuk sepak bola. Memang rasanya seperti angin segar ketika Tim Nasional Indonesia dengan ajaib bisa menerobos ke final Piala AFF 2016. Memang ini bukan pertama kalinya, ini kelima kali dan sudah empat kali berakhir sebagai runner up. Dari yang awalnya menghujat, hingga berakhir memuji. Dari yang awalnya ragu, tiba-tiba percaya diri hari ini pasti menang. Banyak ahli prediksi yang muncul ke permukaan. Jelas saja menjagokan Indonesia dan momentum untuk bangkit.

Dari awal, saya sudah pesimis. Dari laga awal yang terseok-seok, setelah satu tahun diskors FIFA, organisasi yang berantakan, liga yang tidak mumpuni dan masih banyak ketimpangan di birokrasi PSSI. Makin pesimis sambil geleng kepala saat tahu Thailand yang menyambut di final. Bisa sampai ke final saja sudah sangat wow prestasi yang tak pernah disangka-sangka. Eh malah penonton ingnnya Indonesia bisa juara. Harapan memang boleh saja. Tapi tidak logis, mungkin terlalu banyak kemakan ungkapan retorik; bola itu bundar. Dengan maksud semua hal bisa terjadi di sepak bola.

Pesimis saya bukan karena tidak nasionalis, hanya saja saya berpikir LOGIS. Sekali lagi, logis ya. Harapan yang terlalu tinggi supaya Indonesia menang seolah terasa tak tahu diri. Perbaiki dulu lah semua kesemrawutan organisasi. Gegara final tahun ini, banyak pihak yang menyebut Indonesia sebagai tim underdog setara Portugal yang mengalahkan Prancis di Piala Euro atau Chelsea saat kampiun liga Champions. Saya nyaris terbaha mendengarnya. Timnas Indonesia bukan mencuri gelar tapi mencuri perhatian. Timnas Indonesia baru berkumpul selama beberapa bulan saja. Beda dengan Timnas Thailand yang sudah berkumpul bertahun-ahun dengan pembinaan terencana.

Tentang bonus milyaran yang dikatakan Presiden sebelum laga, saya kira presiden memang mengada-ada. Mungkin pemerintah memang belum punya dana sebanyak itu hanya untuk bonus atlet berprestasi sehingga Tuhan belum meridhoi kemenangan untuk Timnas Indonesia.

Pada akhirnya, apresiasi saya sebesar-besarnya untuk seluruh pemain yang berlaga dengan tangguh. Piala SFF 2016 memang belum bisa dibawa pulang tapi tim juara sudah terbentuk. Dengan pembinaan dan perencanaan yang matang juga dukungan yang tak terputus, saya yakin Indonesia bisa mewujudkan impian menjadi kampiun se-Asia Tenggara ini. Juga apresiasi untuk coach Alfred Riedl yang mungkin ini kali terakhirnya sebagai coach Timnas Indonesia. Juga apresiasi sebesar-besarnya untuk jajaran coach lainnya. Seluruh kru dan official Timnas Indonesia yang mampu bersiap cepat di segala keterbatasan. Untuk seluruh doa dan dukungan rakyat Indonesia yang luar biasa. Mungkin ini belum saatnya. Tapi tetaplah semangat karena ini baru lima kali, masih ada kesempatan lainnya. Sampai jumpa di Piala AFF selanjutnya.

Lalu apakah kalimat yang sesuai untuk jadi headline koran esok hari? Apa kalimat yang akan diucapkan pembawa acara berita pagi, siang, sore dan malam hari?Apa yang akan dibahas acara review sepakbola tentang final kelima tanpa piala? Semoga ada sebaris dari yang saya tuliskan di awal paragraf sebelumnya. Semoga. Ah media, bermanislah beritanya untuk perjuangan mereka. Jangan sampai mereka yang telah berjuang keras menanggung beban ekspektasi penonton malah menjadi rendah diri. Jangan lupakan perjuangan mereka. Jangan buat mereka merasa habis manis sepah dibuang. Jadilah media yang hebat.


Plesiran, 17 Desember 2016. 21:44




P.S: Opini dituliskan selepas Final Piala AFF 2016 antara Indonesia vs Thailand. Namun baru di-post pada hari ini. Hehehe, kan suka-suka saya. Terimakasih sudah mampir untuk membaca opini saya.

Selasa, 20 Desember 2016

[OPINI] Jurnalisme Bolak-Balik

Gambar: pexels.com

Disclaimer: Tulisan ini dibuat hanya untuk menyampaikan aspirasi penulis. Seluruh isi tulisan berdasarkan opini pribadi dan tidak bertujuan untuk menyudutkan salah satu pihak maupun merendahkan profesi jurnalisme.
***

Keadaan dunia saat ini berada dalam puncak kekacauannya. Kemajuan teknologi informasi yang melenyapkan jarak juga seolah menjebol keran filter akan informasi yang benar. Saat ini berita tentang apapun bisa menjadi sangat beringas dan buas mencabik siapa saja yang salah bertingkah. Itu masih mending karena beritanya tertulis karena memang ada kesalahan. Tapi yang lebih miris adalah meluapnya berita-berita bohong yang terkesan keterlaluan. Beberapa kali saya mendatangi seminar jurnalistik. Saya tertarik dengan dunia jurnalistik sejak SMA. Saya pernah membaca kode etiknya. Saya pernah satu bulan berlangganan koran ternama dan membacanya dengan seksama tiap hari. Saya suka menonton film tentang dunia jurnalistik yang istimewa. Saya suka mendengar kisah-kisah jurnalis yang sudah lama berkecimpung. Tapi untuk saat ini saya mundur teratur.

Jurnalis, ah masihkah ada jurnalis yang benar-benar jurnalis? Masih adakah jurnalis yang menuliskan berita juga cerita apa adanya? Masihkah ada fakta di antara karya yang dituliskannya? Apa tujuan jurnalis menulis beritanya? Benarkah hanya untuk menginformasi? Atau bahkan disisipi kepentingan lain sang pemilik media? Atau bahkan berisi dogma tertentu? Benarkah fakta itu disajikan di tempatnya? Benarkah tidak ada yang dipelintir? Pentingkah berita yang dituliskan? Apakah berita itu ditampilkan bukan untuk pengalihan isu? Benarkah berita itu tak pakai framing? Miris.

Masih banyak pertanyaan yang saya simpan mengenai karya jurnalistik zaman ini. Pernahkah kau bertanya dan membayangkannya? Membayangkan penyimpangan jurnalistik ini membuat saya ngeri. Betapa menyeramkannya jika hal ini terjadi dan menurut saya memang sedang menuju ke arah itu. Setiap ada peristiwa, apalagi yang jauh dari saya, melihat dari satu media tidaklah cukup. Melihat dari dua media yang berbeda seolah sedang melempar koin ke udara untuk memutuskan mana yang benar. Masih ragu hingga mencari sumber lain yang terpercaya. Namun kembali pada pertanyaan miris. Sumber terpercaya? Siapa lagi sumber terpercaya dari dunia yang semakin kabur ini? Bukankah hati manusia juga gampang terbolak-balik? Jadi untuk memutuskan sebuah berita benar atau tidak menjadi hal yang cukup rumit. Menyebalkan memang. Tapi saya sudah hilang kepercayaan pada berita media.

Satu berita bisa dibuat minimal dua versi, sama seperti muka manusia yang bisa dipakaikan bermacam topeng. Tapi persepsi seorang manusia tak dapat terbelah ke dua sisi yang berbeda, kecuali dia diliputi kemunafikan. Persepsi hanya akan terarah pada satu poros. Masalahnya adalah mana poros yang benar? Mana informasi yang benar? Saya merasa skeptis dengan berita. Saya waspada dengan kebohongan yang dibalut kedok jurnalisme. Saya jijik dengan berbagai versi, berbagai topeng dalam satu opera. Saya merasa berada dalam kegelapan gua dan tak percaya pada siapapun yang membisikki deskripsi tentang keadaan di luar gua. Akhirnya saya hanya menatap kosong di kegelapan yang bahkan tak bisa melihat apapun meski mata terbuka lebar. Itulah gambaran dunia jurnalistik kita saat ini. Penuh intrik, penuh ketimpangan, penuh framing dan kaya akan versi.

Tapi saya bisa apa? Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan narasumber, saya bukan jurnalisnya. Hanya bisa menulis aspirasi di media sosial pribadi. Itupun setelah revisi lagi. Mempertimbangkan kalimat yang cukup halus agar lolos dari jeratan UU ITE. 

Kembali miris, ketika menyampaikan aspirasi, opini dan perasaan juga bisa dijerat hukum. Media sosial yang harusnya jadi ranah privat bebas malah terbungkam juga. Yasudahlah, setiap hukum dibuat juga tentu dengan tujuan yang baik. Juga setiap hukum juga pasti punya efek samping. Saya rasa opini saya sekian saja.


Plesiran, 20 Desember 2016. 24:18.

Rabu, 07 Desember 2016

Tentang Maslow Hierarchy of Need

pict from: storify.com

Dalam ilmu manajemen terutama Human Resources Manajemen pasti kenal dengan istilah teori motivasi Abraham Maslow. Normalnya hanya ada lima tingkat di piramidanya yaitu seperti di gambar di atas. Bagian Physiological sampai Self-Esteem termasuk basic needs. Jika diibaratkan, kebutuhan ini serupa dengan jika badanmu gatal ya tinggal garuk saja. Nah, sederhananya seperti itu.

Sedangkan Self-Actualization ini jadi bagian paling tinggi dari kebutuhan seorang manusia. Jadi, pada tingkatan ini, manusia merasa butuh tempat untuk mengekspresikan diri, membebaskan diri. Dan untuk mencapai tingkatan ini, maka basic needs harus terpenuhi bahkan terlampaui dulu. Misalkan, dia ini sudah berkecukupan kebutuhan fisiknya, pekerjaannya mapan, keluarganya bagagia, jabatannya tinggi, maka segera menuju level Self-Actualization.

Nah, berhubung tugas akhir yang selalu saya jadikan alasan [sekaligus kambing hitam karena mengabaikan blog ini] juga tentang piramida itu. Di tugas akhir saya, piramdanya punya tujuh tingkat. Awalnya saya juga kaget dan coba cari tahu tentang hal ini. Siapa tahu nantinya dosen penguji menanyakan mengapa saya pakai piramida tujuh tingkat seperti gambar di bawah ini:


Karena menurut saya ini penemuan hebat dan sepertinya belum ada yang menuliskan, jadi saya akan tuliskan disini. Hasil ini saya temukan setelah baca dari buku Motivation and Personality yang ditulis oleh Abraham Maslow. Di buku ini dijelaskan memang lima tingkatan. Namun ada dua tambahan penjelasan setelah penjelasan lima needs umumnya, yaitu Cognitive Needs dan Aesthetics Needs.
Keduanya ini bisa ditambahkan ke dalam piramida karena merupakan syarat untuk pemenuhan kriteria puas di empat tingkatan basic needs. Atau bahasa bukunya: the precondition for the basic needs satisfaction.

Di tingkat kelima ada Cognitive Needs. Dijelaskan sebagai: perceptual, intellectual, learning, the desire to know and to understand, to satisfy curiosity, to explain, to systematize, to organize, to analyze, to look for relations and meaning, to construct a system of values.

Di tingkat keenam, Aesthetics Needs. Dijelaskan sebagai the needs for order, for symmetry, for closure, for completion of the act, for system and for structure may be indiscriminately assigned to either cognitive, conative or aesthetic, or even to neurotics needs.

Ya, begitulah. Semoga bermanfaat. Kalo mau lebih jelas lagi, buka buku Motivation and Personality by Abraham Maslow chapter 4 halaman 48-51. Saya sendiri menuliskan ini supaya lebih awet diingat. Catatan saya ada pada secarik kertas dan takut lupa ataupun saya lupakan jadi saya luapkan di sini.