Laman

Pages - Menu

Jumat, 27 Mei 2016

[QUOTES] Undying

Cover Single Undying The GazettE
Halo, maafkan jika Jumat ini boom postingan. Hanya ingin berbagi dan balas dendam beberapa minggu tidak mampir. Kali ini saya lagi kepincut sama band visual-kei yang sudah lama berkarya dan karyanya kali ini mengembalikan cinta lama yang mulai terlupakan. Ya, saya lagi tergila-gila dengan lagu Undying punya The GazettE. Jika penasaran, hubungi youtube dan nontonlah PV-nya.
Sebenernya, gambar yang saya posting cuma album art dari single Undying dengan beberapa perubahan. Dan lirik di dalam gambarnya bukan quotes yang ingin saya bagi. Itu adalah lirik kesukaan saya di lagu ini. Awalnya pelan-pelan, menenangkan dengan suara angelic-nya Ruki tapi endingnya dia scream dengan tipe suara yang ultimate demonic. Kyaaa… ini quotes yang ingin saya bagi. Diambil dari wawancara single Undying dengan Ruki dan kawan-kawan.
“Jika kau sama dengan yang lain, kau tidak akan dipilih dan pudar ke dalam ketidakjelasan.  Tapi jika kau terlalu berbeda, kau mungkin akan dijauhi. Rasanya tidak adil saat orang-orang mengatakan agar kau jangan berubah tapi jika kau terus-terusan melakukan hal yang sama, mereka akan bosan denganmu.”

Ruki- The Gazette

[FIKSI] Baru Inspirasi

Sumber: onrpg.com
Haloo, ceritanya hari ini saya lagi di perpustakaan. Seperti biasa (berburu wifi dan heningnya) tapi rasanya ada yang tidak biasa. Ya, lebih sepi karena sudah musim liburan dan satu lagi keanehannya. Saya datang jam dua siang. Hehe, biasanya jam lima atau jam enam sih. Berasa aneh ketika matahari masih bersinar dan saya sudah ngumpet di perpustakaan. Oke, itu tadi info tidak penting. Ini sepenggal fiksi yang saya temukan dalam keanehan hari ini. Secara tidak sadar, saya menciptakan karakter knight tapi female dan sepertinya cocok untuk cerita fiksi fantasi.

[BELUM ADA JUDUL]
Chapteranian bukanlah milikku, tempatku ada di balik kokohnya dinding benteng. Menjaga sang raja dan keluarganya tetap berada dalam kondisi aman dengan lindungan pedang terkutuk milikku yang selalu haus akan darah para pembangkang. Hidup ini akan dan selalu kuabdikan untuk pertempuran, bahkan posisiku saat ini adalah seorang dari tiga jendral terbaik yang dipunyai Chapteranian.
Raja tak pernah melihatku sebagai wanita sehingga ia meremehkan kemampuanku, ia bahkan memercayakan keamanan pribadinya padaku. Keluarganya memang belum mau menerimaku sebagai saudara, tapi itu bukan masalah. Bukankah aku memang tak pernah miliki sebuah keluarga? Tak ada satupun yang kumiliki, hanya kepercayaan dari raja yang membuatku tetap kokoh. Bahkan aku telah lupa bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga yang utuh. Kehangatan dan kasih sayang dalam keluarga bagiku hanya mitos, cerita semu yang tak pernah ada.

Tak ada satupun dari ribuan bahkan jutaan cerita yang selalu diceritakan sampai berbuih itu benar. Kebenaran tentang kebahagiaan yang selalu dibeberkan hanyalah sebuah pemanis untuk menutupi kelemahan dasar seorang manusia hina. Ketergantungan pada manusia lain, lemah jika sendiri, mencari penopang hidup dengan berkelompok. Sehingga apapun jenis manusia, aku bukanlah bagian dari mereka. Aku mampu berdiri sendiri bahkan akulah penopang kehidupan seorang raja. Aku adalah tangan kanannya, mediatornya untuk membinasakan siapa saja yang berani mengusik apalagi menentang raja kami. Akhir-akhir ini pekerjaanku semakin banyak saja. Kasta rendahan yang dipenuhi makhluk hina nan kosong kekuasaan mulai menunjukkan geliat revolusinya. Meski samar tetap saja mampu terendus.
Seorang pemuda dari kasta rendahan memulai pemberontakan. Dia mengomando kawanannya untuk membunuh satu persatu dari deretan menteri kerajaan. Banyak menteri yang mati dan setiap kematian, dia selalu menitipkan setangkai mawar putih berpita hitam.
Pita hitam memang tak memiliki magis apapun untuk membunuh orang tapi ia menyerang psikologi orang yang menerimanya. Membunuhnya perlahan dari dalam jiwa. Sama seperti yang kulakukan beberapa tahun lalu.  Pembantaian terhadap desa pemberontak di wilayah utara, sebelum hari berdarah itu terjadi aku mengirimkan setangkai mawar putih berpita hitam ke setiap orang disana. Ia meniruku, ia pembunuh dan aku juga pembunuh. Dia sudah mengirimkan pita itu untukku kemarin. Dia menjanjikan kematian untuk keluarga kerajaan. Hingga hari itu datang, aku menyambutnya. Pemuda gila dengan busur, anak panah di punggungnya dan pedang di dua tangan. Ia menatapku sebelum akhirnya ia kembali menyerahkan setangkai mawar putih dan pita hitamnya.
“Ini untuk rajamu dan impiannya.” Emosiku memuncak.
“Akan kuhabisi kau…”

[CURHAT] Masih Adakah Indonesia?

Haloo, kali ini saya liburkan Jumat bermanfaat dan saya jadikan Jumat curhat. Ceritanya tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba #WorthyStory yang diadakan idntimes. Berhubung lombanya sudah ada juara dan bukan saya, jadi hal milik ini kembali kan. Daripada sayang dibuang, jadi lebih baik dibagikan.
Tema yang saya pilih adalah ‘surat untuk diriku sendiri lima tahun ke depan’ dan inilah yang saya tanyakan pada diri saya sendiri. Mungkin terlalu nasionalis dan kurang individualis makanya saya tidak menang, hehe. Tapi memang yang saya khawatirkan lima tahun ke depan adalah tentang Indonesia. Nikmati sajalah yaa,

Masihkah Ada Indonesia?
Sumber: Google Pict.
Menjadi Indonesia bukan semata lahir dan tinggal di wilayahnya. Mengeluh akan kekacauan di negaranya, menunjuk-nunjuk para pemimpin di pemerintahan dan menuntut kebecusan bekerja. Tapi pemerintah dan segala ruwetnya politik hanyalah secuil bagian dari Indonesia. Keindahan pulau-pulaunya terkadang begitu memesona hingga membuat terlena. Bahwa Indonesia juga bukan hanya tentang keindahan alam dan kekayaan buminya saja. Indonesia bukan hanya tentang tari-tarian, lagu dan bermacam bahasa daerahnya saja. Tapi Indonesia juga dilengkapi dengan semua problema yang tak bisa melulu muncul ke permukaan. Bahkan sulit mendapatkan ruang dalam acara.
Selama 20 tahun umurku, telah dihabiskan hanya di Jawa. Itupun tak seluruhnya, Jawa Tengah hanya di kota tempatku lahir dan Jawa Barat hanya di satu kota tempatku belajar. Aku masih buta dengan luasnya Indonesia. Hanya menonton dari program dokumenter yang ditayangkan di televisi tentang pojok Indonesia. Mengintip perbatasan Indonesia dengan perbedaan mencolok di bidang ekonomi dengan negara tetangga. Memaknai arti pendidikan dari mereka di sudut-sudut Indonesia yang masih terus berjuang meski di sekolah tanpa atap. Merenung untuk nasi basi yang pagi ini kubuang sementara di sudut lain negeri ini masih ada yang kesulitan mendapatkannya meski hanya sesuap. Mereka semua adalah Indonesia. Seorang dosen dari luar negeri pernah bertanya tentang identitas Indonesia dan aku kaku, beku dan gagu tak bisa menjawabnya sampai tuntas. Dia bercerita tentang pengalamannya ketika bertanya pada orang Indonesia.
“Apakah anda orang Indonesia?” Tentu saja yang ditanya menjawab dengan yakin.
“Apa cirinya?” tanya si bapak dosen lagi. Orang itu mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Ia menunjukkan KTP nya.
“Saya terdaftar sebagai warga Negara Indonesia, saya punya KTP Indonesia dan saya berbicara bahasa Indonesia.” Padahal dosen tersebut sudah tinggal di Indonesia selama puluhan tahun, dia bisa bahasa Indonesia, menyanyi lagu Indonesia Raya, mengetahui detail sejarah Indonesia.
“Apalagi yang menjadikan anda orang Indonesia? Apa makna menjadi orang Indonesia? Apa yang anda tahu tentang anda sebagai orang Indonesia?” orang itu hanya nyengir dan terus menunjuk KTP nya.
Sumber: Google Pict.
Semuanya menjadikanku beku. Tentang identitas diri sebagai seorang Indonesia. Sudah cukupkah KTP, lagu kebangsaan dan bahasa Indonesia untuk menjadikanmu bagian dari Indonesia? Sumpah Pemuda 1928 menyebutkan apa itu menjadi Indonesia. Ialah kami yang bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia. Ialah kami yang bertanah air satu, tanah air Indonesia. Ialah kami yang menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Realitanya, deretan kalimat sakral itu hanya lembaran buku sejarah. Sejarah yang berhenti dituturkan setelah seorang siswa lulus dari SMA. Di bangku kuliah, jarang ada pelajaran sejarah yang masih mengikuti. Padahal sebuah pidato terkenal dari bapak pendiri negeri berwasiat jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah seolah hanya jadi masa lalu yang mulai terabaikan dengan dalih move on kata anak kekinian.
Masa kini adalah masa ketika pertumpahan darah bukan lagi untuk membela Tanah Air. Tanah Air hanya bahan gurauan untuk ditempel di bokong truk, tanahnya sewa dan airnya beli. Bagaimana bisa seseorang mencintai tanah kelahirannya jika kalimat itu memang mencerminkan apa adanya. Tentang bahasa juga tak kalah mirisnya. Ketika eksistensi bahasa Indonesia mulai diterpa ekspansi bahasa asing. Bahkan anak di TK juga sudah mulai diajarkan bagaimana berbicara dalam bahasa Inggris. Bahkan anak kuliahan harus bertanya bolehkah pakai bahasa Indonesia? Kami kuliah di negeri sendiri, di Indonesia yang berbahasa Indonesia. Lalu apa yang salah?
Sumber: Google Pict.
Untuk diriku di masa depan. Sudahkah kau berkeliling dan menemukan apa itu menjadi Indonesia? Sudahkah kau memberi makna dari identitas Indonesiamu? Sudahkah kau tahu apa sebenarnya Indonesia, siapa sebenarnya Indonesia dan bagaimana harusnya seseorang harus bergerak sebagai warga Indonesia? Kuharap kau masih menjadi Indonesia. Kuharap kau berguna bagi Tanah Air mu. Kuharap kau bisa menjawab pertanyaan seberapa Indonesia-kah kita?

Jumat, 13 Mei 2016

[QUOTES?] Dari Chapteranian

Halo, karena deskripsi akan saya ganti. Jadi lebih baik dimuseumkan si quotes yang lama. Peng-arsipan adalah hal yang paling penting untuk dilakukan. Bukan hanya untuk dokumen-dokumen penting saja. Bahkan catatan pelajaran juga termasuk arsip loh. Nah, mulai dari sekarang jangan anggap remeh tulisan-tulisan di bukumu yaa. Jadikan tiap kalimat dari tanganmu berharga. Karena apresiasi selalu dimulai dari diri sendiri #tsaah.
Salam S’mangat,

Adz

[CHRM] Review Chapter 11 Buku: Manager's Guide to Reward

Halo, minggu ketiga edisi Jumat bermanfaat masih bisa mempertahankan kosistensinya. Minggu ini akan dibahas masih dari sisa tugas Contemporary Human Resource Management (CHRM). Kali ini yang saya post adalah review satu chapter dari kitabnya mahasiswa Human Resources Management, dengan judul: Managers Guide to Rewards. Buku ini intinya membahas tentang idealnya manager mengimplementasikan goal menuju sukses organisasi dengan merangkul para pekerjanya. Berikut ini cuplikan (ciyeeh) yang saya comot dari review nya amazon.com
“In order to keep their most valuable employees happy and productive, managers must understand the ins and outs of their companies, compensation system! And once they do, they often find they have a lot more control than they realized. “The Manager’s Guide to Rewards” shows readers how they can use rewards creatively to retain their best people, keep them motivated, and ensure that they continue to produce outstanding results.”

Buku ini ditulis oleh tiga orang yaitu Doug Jensen, Tom McMullen, dan Mel Stark (wah ini siapanya Tonny Stark si pak Iron Man yaa). Oh iya, karena tugasnya berbahasa Inggris jadi materinya juga berbahasa inggris. Siapkan aja secangkir kopi, tempat yang nyaman, buku, pena dan kamus. Sekalian belajar Human Resource dan nyambi nambah vocabulary. jangan ketinggalan musiknya, kalo saya sih buat review sambil headbang bareng suara angel-demonic nya mas Ruki Gazette. Selamat membaca…

















Kamis, 12 Mei 2016

[Review] Humanity: Bagi Manusia Yang Punya Kemanusiaan

Manusia dan kemanusiaan bukankah dua hal yang tak bisa dipisahkan? Seperti software dan hardware yang saling melengkapi. Tak bernilai jika hanya salah satu yang tinggal. Sama seperti manusia, ketika jasmani manusia tidak dilengkapi dengan kemanusiaan maka ia bukanlah apa-apa. Manusia tidak akan menjadi manusia sepenuhnya bahkan ia tak pantas disebut manusia. Mungkin definisinya hanya disebutkan sebagai onggokan organ berjalan yang hanya sebuah spesies yang dibahas di buku Biologi.
Kembali ke analogi mata uang karena manusia pun sangat dekat untuk dianalogikan sebagai dua muka selembar uang. Selembar uang kertas awalnya bukan apa-apa, dia hanya selembar kertas. Namun ketika dicetak bermacam warna, ia akan bernilai sesuai warnanya. Warna inilah yang biasa ekonom sebut sebagai nilai nominal, sebuah angka yang melabeli lembaran kertas itu. Tapi mau apapun warnanya, ia tetaplah selembar kertas, inilah yang disebut nilai intrinsik.
Lalu apa yang membuat manusia sama seperti lembaran uang kertas? Manusia juga memiiki nilai intrinsik dan nilai nominal hanya saja nilai nominal manusia adalah jabatannya, pendidikannya, kekayaannya. Lalu apa nilai intrinsik seorang manusia yang harusnya tak boleh terlupa? Adalah kemanusiaannya.
Mau sekaya apapun seorang manusia, dia tetaplah manusia yang tak bisa membeli semuanya. Dengan kemanusiaan, ia akan berpikir untuk berbagi dan membuat manusia lain ikut bahagia. Mau setinggi apapun jabatan seorang manusia, ia tak bisa menjangkau akhir dari tinginya langit. Dengan kemanusiaan, ia akan membantu manusia lain yang jangkauannya tak setinggi miliknya. Mau sebanyak apapun ilmu yang membuat seorang manusia disebut pandai, ia tak bisa lebih pandai dari Sang Maha Pandai yang menciptakan ilmu itu ada di pikiran manusia. Dengan kemanusiaan, ia bisa membagi ilmunya agar manusia lain tidak terbodohi.
Tapi lihatlah potret manusia masa kini (terserah mau masukin saya ato tidak, tapi FYI, saya itu aneh) kebanyakan menjadi manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Lalu disebut apa? Binatang? Entahlah bahkan binatang juga tidak sebrutal manusia-manusia kosong tanpa kemanusiaan tersebut. Cobalah kita renungkan berita yang hits minggu-minggu ini.
Mahasiswa depresi karena Mahaskripsi
Ada mahasiswa yang bacok dosennya sampai meninggal hanya karena persoalan skripsi (nb: skripsi tidak boleh disebut hanya, justru harusnya Maha-Skripsi). Mahasiswa adalah manusia. Manusia dibekali otak yang berlogika sehingga menjadi mahasiswa. Tapi sebagai manusia dia hanya wadah kosong. Ia mengkhianati logika di kepalanya, melupakan Tuhannya dan berbohong tentang status mahasiswanya. Sedemikian pendek pemikirannya, apa wadah kosong itu tak mempertimbangkan resiko dan manfaat dari tindakannya? Ya, namanya juga sedang terbutakan atau memang sudah buta? Mungkin bisa dianalogikan dengan orang yang melompat dari tebing karena dililit hutang. Pikirannya pendek, logikanya dikesampingkan. Bahkan logikanya sudah diterjunkan ke jurang lebih dulu. Kembali ke kasus, karena Maha-Skripsi yang membuat sang mahasiswa kesal berulang kali dengan orang yang sama. Jadilah mahasiswa bacok dosen. Ketika dosennya mati, maka mahasiswa tidak lagi dibuat kesal. Tapi skripsinya kan jadi tidak kelar, malah ia masuk bui bahkan lulus sebelum waktunya alias ditendang dari kampus alias DO. Kalau sudah begini, mau diapain lagi itu skripsi? Tak berguna kalau dilanjutkan, bukan? (udah kamu nulis novel saja nak, puk puk puk)
Ekonomi jadi kambing hitam tindak pembunuhan
Lain sungai, lain juga ikannya. Seolah menjadi berita balas dendam, di minggu yang tak terlalu jauh muncul berita matinya seorang mahasiswi di kamar mandi kampusnya. Bahkan diduga sudah empat hari jasadnya terkurung. Kali ini bukan dosen yang membantainya, tapi hanya cleaning service. Ya, petugas yang seharusnya membersihkan ruangan bukan membersihkan nyawa mahasiswa. Setelah tertangkap, tersangka mengaku hanya karena motif ekonomi. Hanya ekonomi? Bukankah ia telah menjadi wadah kosong setelah menggadai nyawa manusia lainnya demi rupiah? Memang terasa janggal, memangnya berapa banyak rupiah yang dimiliki seorang mahasiswa? Mengapa pelaku tidak merampok rumah koruptor saja yang terbukti banyak duit? Saya juga mahasiswa dan menjadi mahasiswa dengan beasiswa. Lalu mengapa masih ada yang beranggapan bahwa mahasiswa punya lebih banyak duit daripada ibu kosnya? Yang dipunya mahasiswa itu lebih banyak beban di pikirannya (ups, curhat)
kemanusiaan hilang direnggut tuak, nyawa manusia hilang direnggut libido

Lain cerita, Yuyun dan empat belas birahi. Eits, tunggu dulu, ini bukan karya roman dengan judul yang vulgar. Itu juga bukan judul cerpen bulan Mei yang tembus ke kolom cerpen Minggu di harian Kompas. Itu bukan kisah yang cukup hanya dibayar dengan satu juta rupiah royalti dari koran. Ini tragedi nyata bocah perempuan empat belas tahun yang digilir empat belas bocah laki-laki kesetanan yang diperbudak libido. Astaga, mereka sungguh masih bocah. Betapa mirisnya membayangkan adik-adik kecil ini saling mengoyak temannya. Sebagai seorang wanita, saya ngeri membaca kisah dek Yuyun. Sebagai seorang wanita yang akan menjadi ibu, hati saya sakit membayangkan perasaan ibu dek Yuyun. Sebagai seorang wanita yang merdeka, saya geram dengan empat belas wadah kosong itu. Sayangnya mereka diputuskan dihukum hanya sepuluh tahun. Mungkin peradilan melihat para tersangka sebagai bocah yang khilaf saja tanpa mempertimbangkan betapa sangat khilafnya mereka. Mungkin peradilan melihat bahwa ke-khilafan itu terjadi karena tuak yang mereka tenggak. Tapi peradilan tak mempertimbangkan bahwa mereka adalah bocah yang melanggar batasan dengan minum tuak. Mungkin peradilan melihat mereka sebagai bocah-bocah yang membawa harapan dari orang tuanya untuk masa depan. Tapi sudah sepantasnya pula peradilan melihat orang tua Dek Yuyun yang kehilangan harapan dan masa depannya. Manusia tidak pernah bisa dibandingkan dengan apapun. Hilangnya nyawa satu manusia bahkan tak bisa tergantikan dengan nyawa lainnya. Beda dengan sebotol tuak yang jika kau habiskan bisa kau beli lagi. Malang nian nasibmu dek Yuyun.
manusia berbondong-bondong nonton Civil War tapi mengabaikan realitanya
Lalu bagaimana dengan Aleppo? Ketika Paris terkena terror penembakan, nyaris seluruh dunia berduka. Berbondong-bondong mereka menyatakan simpatinya lewat tagar save Paris. Bahkan tak hanya hits di media sosial, televisi dan koran juga memberitakannya dengan gencar. Akhirnya pertanyaan harus saya ulang lagi, lalu bagaimana dengan Aleppo? Ah itu hanya sebuah kota di Syiria yang tak lebih terkenal daripada Paris. Ah, tentu saja Aleppo tak punya menara se-romantis Eiffel. Ah, itu hanya sebuah kota di luar benua Eropa. Ah, mata uangnya tak sekuat Euro. Ah, kalian yang berpikir demikian sungguh wadah kosong. Penembakan di Paris hanya untuk membuat keramaian. Hanya orang-orang yang kurang perhatian publik. Tapi yang terjadi di Aleppo benar-benar miris, bung. Warga sipil ditembaki, jalanan memerah karena banjir darah, pembantaian tapi tak dapat perhatian. Ini bukan semata penarik perhatian tapi ini perang. Sayangnya berita Aleppo tak mampu menembus ruang media, kalah dengan kegelisahan lebay Cinta dan Rangga juga perangnya dua kubu superhero. Jarang ada yang mengetahui ada civil war nyata yang tak tayang di bioskop juga media. Hanya segelintir orang yang simpati dan mengerti. Mereka mengubah profile picture mereka jadi merah. Bahkan menyebarkan video kerusakan di Aleppo saja langsung kena blokir Yo***be. Miris memang. Mengapa sesama manusia harus saling bantai? Apa hidup damai dengan saling berdampingan hanya ada dalam dongeng saja? Manusia sudah jadi serigala (hei ini bukan judul sinetron loh), homo homini lupus-manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainnya. Kenapa harus saling membantai? Ah, dasar wadah-wadah kosong.
Semuanya ber-gelontang, wadah-wadah kosong itu saling beradu, riuh hingga gaduh. Intinya kacau, hanya membuat kekacauan saja. Apakah saya terlalu berangan-angan bahwa manusia bisa hidup damai? Seandainya semua manusia yang berilmu berdedikasi untuk membagi manfaat dari ilmunya pada manusia yang masih awam. Seandainya semua manusia yang berharta tidak sungkan memberi manfaat dari hartanya pada manusia yang masih miskin. Seandainya semua manusia yang berkuasa bersedia mengayomi manusia yang masih jelata. Seandainya semua manusia benar-benar menjaga kemanusiaannya. Seandainya manusia-manusia itu tahu bahwa kemanusiaan lebih berharga dan lebih dihargai daripada harta, kuasa politik dan kepandaian untuk mengibuli yang bodoh. Seandainya, seandainya, oh seandainya.
Ada yang bilang kalau dunia ini sudah indah, jadi nikmati saja. Tapi bagaimana dengan manusianya? Apa kemanusiaannya masih dijaga, ah entahlah dan kembali seandainya. Manusia yang kehilangan kemanusiaannya toh tetap berwujud manusia. Ia tidak serta merta berubah jadi serigala (auuuuww), wujudnya tetap manusia. Tapi menjadi manusia dalam raga tidaklah sempurna. Manusia itu hanya jadi wadah kosong. Kehilangan kemanusiaan memang jarang terasa efeknya oleh si pelaku. Jadi kebanyakan dari mereka tidak sadar atau memang tidak peka bahwa mereka tidak manusiawi. Jadi bisa saja kau sudah kehilangan kemanusiaanmu. Atau mungkin kau sudah setengah jalan menuju wadah kosong. Atau bahkan saya yang sudah menjadi wadah kosong dan memangsa manusia lain sebagai serigala (auuuuww).
Ah entahlah…
Ah seandainya…


Bandung, 10 Mei 2016