Laman

Pages - Menu

Jumat, 29 April 2016

[GEOWISATA] Kisi-Kisi Geopark Gunung Batur

Yeay, Jumat bermanfaat kembali lagi. Kali saya akan share pengetahuan yang saya dapat di mata kuliah di luar prodi saya. Ya, saya melanglang buana sampai terdampar di prodi Geologi dengan kelas Geowisata yang menarik. Informasi berikut merupakan karakteristik dan keadaan Gunung Batur yang sudah diakui sebagai anggota dari UNESCO Global Geopark. Selamat membaca…

1.  Gunung Batur adalah gunung tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung.

2. Terletak di Kintamani, Bangli, Bali.

3.  Gunung Batur adalah salah satu dari 19 kaldera yang ada di Indonesia.

4. Punya Danau berbentuk bulan sabit, dibentengi lengkungan tebing yang terjal dari Gunung Api Batur Purba.

5. Kaldera Batur menampilkan bentuk kaldera ganda atau kaldera dalam kaldera.

6. Pada awalnya Gunung Batur Tua/Purba memiliki ketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut. Gunung Batur Purba ini meletus sekitar 29.300 tahun yang lalu dan menghancurkan separuh bagian atas. Letusan dahsyat ini diikuti dengan amblasnya dasar Gunung Batur berukuran 13,8 x 10km2

7. Melingkar dengan diameter 7,5 km dan membentuk dinding terjal sedalam 400 m. Letusan kedua terjadi 20.150 tahun yang lalu dari kawasan pusat kaldera dan memicu kembali amblasnya dasar Gunung Batur yang membentuk kaldera melingkar di dalam kaldera pertama. Inilah yang disebut kaldera kedua. Dari letusan kedua juga terbentuk topografi dinding tebing terjal sedalam kira-kira 200 meter. Daerah amblasan yang paling rendah dari gunung batur kemudian menjadi Danau Batur disebabkan akumulasi air hujan.

8. Ketinggian Gunung Batur saat ini adalah 1717 mdpl atau 686 meter di atas permukaan air danau batur.

9. Sejarah letusan Gunung Api Batur sampai saat ini tercatat sebanyak 25 kali sejak tahun 1800-an dan letusan terakhir di tahun 2004. Dengan jenis letusan yang pada umumnya Stromboli yang menghasilkan aliran lava bersifat basalt dan andesit basaltic. Aktivitas vulkanik gunung batur dalam sejarahnya ditandai dengan dua letusan besar yang fenomenal terjadi pada tahun 1926 dan tahun 1963.

10. Pada tahun 1926, Gunung Api Batur menyebabkan pindahnya penduduk Batur ke daerah Karanganyar yang saat ini disebut Desa Batur.

11. Tahun 1963, letusan ini memuntahkan lava sebanyak kira-kira 35 juta meter kubik yang menutupi kurang lebih 5,8 juta meter persegi.

12. Aliran lava Gunung Batur umumnya bersifat bongkah dengan ciri permukaan yang sangat tidak teratur dan memperlihatkan retakan, pecahan atau bongkahan pada bagian permukaannya yang diakibatkan pendinginan lebih awal. Sedangkan bagian dalam atau intinya masih bersifat plastis dan terus bergerak. Pergerakan cairan bagian dalam ini kemudian membentuk terowongan atau goa lava. Apabila lava pada bagian plastis ini terus bergerak, kemudian gerakannya mendorong bagian lava yang sudah membeku sehingga akan mencuat ke atas maka terbentuklah lava tumuli dan lava bongkah.

13. Pada saat ini di Indonesia hanya Gunung Batur yang memiliki goa lava.

14. Geopark Gunung Batur mendukung program konservasi, pendidikan dan pembangunan berkelanjutan.

15. Geopark Gunung Batur adalah GGN (Global Geopark Network sekarang menjadi UNESCO Global Geopark) pertama di Indonesia. Sidang komite GGN pada tanggal 19-21 September 2012 di Portugal, Gunung Batur ditetapkan oleh UNESCO sebagai anggota GGN. Dengan tujuan meningkatkan konservasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat.

16. Abu vulkanik yang melapisi lereng-lereng gunung dimanfaatkan oleh petani dengan menanam tanaman hias maupun tanaman holtikultura.

17. Danau Batur dikelilingi oleh beberapa desa yang disebut wingkang ranu. Beberapa desa tersebut ialah Desa Songan, Desa Batur, Desa Kedisan, Desa Buahan dan Desa Trunyan.

18. Masyarakat Trunyan disebut juga masyarakat Bali Aga atau Bali Asli. Sudah mendiami kawasan sisi timur danau batur sejak zaman pra sejarah, dibuktikan dengan ditemukannya situs megalitikum. Masyarakat Trunyan memiliki keunikan budaya terutama dalam penguburan mayat. Mereka meletakkan mayat di bawah pohon tarumenyan.

19. Di sekeliling Gunung Batur adalah lahan pertanian yang subur dengan sumber air dari Danau Batur. Daerah ini banyak menghasilkan sayuran dan perikanan air tawar. Berdasarkan catatan demografi, penduduk sekitar gunung batur berprofesi sebagai pedagang, petani, buruh, perikanan air tawar, pelayanan wisatawan termasuk restoran dan perhotelan.

20. Lokasi sekitar Kaldera Batur sarat dengan kegiatan keagamaan dan budaya, pura sebagai sarana sembahyang termasuk salah satu destinasi wisata khas Geopark Batur.

21. Pura Ulundanu Batur di Desa Karanganyar, Kecamatan Kintamani adalah pura yang dianggap paling penting kedua setelah Pura Besakih. Pembangunan pura ini dipersembahkan untuk memuja Ida Betari Dewi Danu yang melambangkan kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Kata Ulundanu bermakna penguasa danau.

22. Kegiatan wisata di Gunung Batur yang bisa dinikmati antara lain wisata budaya berupa kegiatan keagamaan dan tradisi kultur tradisional maupun wisata yang berkaitan dengan alam seperti pendakian.

23. Ada museum geopark yang menunjang fungsi edukasi.
Yap, itulah tadi bermacam info mengenai Geopark Gunung Batur yang sudah menjadi Geopark Internasional menurut UNESCO. Semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan teman-teman.

Kamis, 28 April 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 28

Yatta, finally update juga ini sinetron. Karena semalam masih sempat begadang jadi saya tambahin secuil ilustrasi deh biar tambah mantap. Oh iya, kepingan kali ini sepertinya klimaks cerita. Jadi peringatan bagi anda yang lemah jantung harap membacanya dengan didampingi orang terdekat karena konten dalam kepingan kali ini mengandung unsur-unsur yang mengejutkan. 
Hapy reading

Televisi di lobi rumah sakit masih menyala menampilkan dua orang pembaca berita yang langsung memotong acara sebelumnya. Sebuah berita duka ditampilkan di layar dengan judul yang mengejutkan.
“Kota Viga ikut berduka setelah kehilangan sosok dermawan hebat. Suzanne Franklin meninggal pukul 2 dini hari di Rumah Sakit Franklin’s Group. Beliau tidak dapat diselamatkan karena kegagalan operasi setelah kecelakaan yang dialaminya. Seperti yang kita ketahui, kecelakaan dialami dermawan ini pada pukul 9 malam di KM 345…”

LEIL
“Jossie, jangan bertindak bodoh,” teriakku dari kejauhan sambil berusaha mendekat.
“Tidak akan kulepaskan dia! Dia mencuri yang paling berharga dalam hidupku, dia membunuh ibuku, Leil.”
Aku tak tahu lagi bagaimana cara melepaskan Jossie dari vampir wanita yang menerobos rumah sakit dan mencuri beberapa kantong darah terbatas yang telah disiapkan untuk operasi Nyonya Franklin. Entah mengapa vampir wanita itu diam tak mencoba membebaskan diri. Padahal dia bisa saja dengan mudah melempar Jossie. Mungkinkah dia sangat kelaparan atau mungkin ia akan memberikannya pada anak-anaknya yang kelaparan. Setidaknya mencuri kantong darah lebih baik daripada menculik manusia dan manyedot habis darahnya. Sayangnya, ia mencuri kantong yang salah. Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkan keduanya?
“Aku akan membunuhnya!” teriak Jossie.
Aku menarik tubuh Jossie dan melakukan kontak mata dengan si vampir wanita berharap ia mengerti apa yang aku mohonkan. Tapi itu tak terjadi, aku juga tak tahu apa yang dia pikirkan saat ini. Dia hanya diam dan akupun tak bisa melihat wajahnya yang separuh tertutup masker. Seolah dia memang berniat menyembunyikan identitasnya dari pemburu. Di tengah kekacauan, aku justru terlempar. Ketika aku mencoba mendekat lagi, sekelebat bayangan berkecepatan tinggi menyambar Jossie dan menghantamkannya ke pinus raksasa. Bisa kupastikan dia adalah vampir. Mungkinkah itu upaya penyelamatan si vampir wanita? Jadi sekarang ada dua vampir?
“Jossie, gunakan pisaumu!” teriakku sambil terus mendekati arena pergumulan, sementara vampir wanita itu mengejarku dengan terpincang. Ia menghentikan langkahku dan menahanku jauh dari Jossie. Maskernya sudah terkoyak dan kini jelas aku bisa melihat wajahnya. Dia adalah Sofia.
“Leil, tolong aku!” kulihat gerakan tangan Jossie dengan pisau yang mencoba menghujam liar ke tubuh si vampir. Tapi, semua terlambat, aku tak mendengar suara Jossie lagi.
“Menjauh dari temanku, vampir busuk!” teriakku sambil melempar pisauku yang kemudian mengenai lengan kirinya. Ia melompat kesakitan karena sayatan pisauku. Vampir itu berbalik menuju arahku dengan gerakan cepat.
“Pergilah. Aku akan mengurusnya,” seru Sofia sambil melesat menyambut vampir itu. Tapi Anehnya aku hanya diam menyambut kedatangannya padaku. Wajah tampannya, rambut hitamnya, tubuh menjulang yang hanya terbalut kemeja putih dengan celana pendek hitam dan mata turqouise itu? Kecepatannya membelah kabut dan dengan jelas kulihat dia dengan bibir berhiaskan darah Jossie.
“Pierre…” gumamku.
Benarkah itu dia? Aku harus terbangun untuk menyadari mimpi macam apa ini? Tapi aku tak juga terbangun, aku tetap di sini. Jika ini sebuah mimpi, maka harusnya mimpi itu sudah tak di sini. Kini ia berada tepat di hadapanku, Sofia menghalangi tubuhku dari Pierre. Ia mendorongku jauh sedangkan ia terlempar karena serangan Pierre. Pierre kembali menemukanku, mencengkeram kedua bahuku dan aku pun terdorong jauh. Tubuhku berhenti bergerak ketika dia memojokkanku di batang pinus raksasa.
“Leil, jam tanganmu!” teriak Sofia.
Dia benar, jam tanganku terbuat dari perak tapi aku tak bisa berbuat apapun ketika Pierre mengunciku dengan tatapan matanya. Tapi mata itu bukan mata yang biasa kukagumi. Matanya seolah kehilangan keindahannya, tatapannya tak bisa lagi menyejukkan. Bahkan ia membuatku ketakutan. Itu bukan dia, sungguh itu bukan dia. Tapi seberapa banyak pun aku menyangkal, kenyataannya tetap tidak berubah. Dia tetaplah Pierre.
“Menjauh darinya, dasar bodoh!” Sofia menancapkan sebuah jarum ke punggung Pierre ketika ia mulai membelai leherku dengan jarinya yang terasa tajam. Seketika Pierre jatuh tak sadarkan diri.
“Pierre?” aku masih menggeleng tak percaya.
“Harusnya kau sudah bersiap untuk kemungkinan ini karena kau sudah tahu bahwa Pierre bukan manusia. Maaf untuk kekacauan ini, tapi aku tak bisa membereskan sisanya.”
Mereka menghilang dalam kabut. Hanya kalimat itu yang kudapat dari Sofia. Sama sekali tak menjawab apa yang ingin kutanyakan padanya. Sekarang tak ada yang tersisa di sini. Hanya dingin, hening, sepi dan sendiri. Kudekati tubuh Jossie yang terkoyak. Sebuah keberanian bodoh nan gila berujung kematian, masih tak kupercaya apa yang terjadi. Mimpikah ini? Pierre membunuh Jossie? Tubuhku menggigil, terus bergetar hebat hingga aku tak mampu menahan berat tubuhku. Aku duduk bersimpuh di samping Jossie, menahan getaran tubuhku. Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Aku takut…
Pancaran sinar mentari di ufuk timur menyadarkanku, ini bukanlah sebuah mimpi buruk. Tapi ini benar-benar buruk.
*
DARE LIFE: Tersa-Vampir berada di balik kematian Suzanne Franklin, akankah kita tinggal diam sementara mereka tlah merenggut satu persatu dari kita? Ayo bergerak dan angkat busurmu. Perburuan tlah dimulai. [VJ]
“Aku turut berduka, Leil. Jossie adalah yang terbaik. Dia selalu mencintaimu dengan tulus. Aku berdoa semoga dia mendapat tempat yang nyaman di samping ibunya.”
“Terima kasih June.”
June memelukku erat, mencoba menguatkan diri walau sebenarnya aku ingin tumbang. Semua orang menatapku dengan tatapan yang sama. Seolah aku ini adalah pengantin yang ditinggalkan. Lebih parahnya lagi, mereka bilang aku adalah isteri yang ditinggal mati suaminya. Banyak yang berasumsi bahwa aku dan Jossie tlah menikah diam-diam. Apalagi dengan cincin berlian yang masih melingkar di jari manisku.
Ratusan tangkai krisan putih menumpuk di bawah nisan atas nama Joshua Franklin. Ratusan lainnya bertumpuk di bawah nisan Suzanne Franklin yang tepat bersebelahan.  Krisan putih, anehnya semua krisan ini malah mengingatkanku pada satu nama yang membuatku ngeri. Pierre.
Semua temanku datang ke pemakaman Jossie untuk melakukan hal yang sama dengan June. Sekaligus ingin kembali menatap wajah Jossie untuk terakhir kalinya meskipun hanya melalui bingkai foto. Merelakan pria yang mereka kagumi pergi begitu saja tanpa ucapan selamat tinggal maupun senyum perpisahan secara langsung. Mereka masih tersedu di hadapan foto Jossie, lalu kutatap gambaran wajah tirusnya dengan senyum menawan yang terpenjara dalam pigura hitam, rambut pirang dan mata coklatnya tak akan kulupakan. Maafkan aku, Jossie…
“Nona Leil, bisakah kuminta sedikit keteranganmu tentang kematian saudara Joshua Franklin?” tanya seorang polisi yang menghampiriku.
“Bagian mana yang paling kalian inginkan?” tantangku. Kulihat polisi itu mulai membuka buku catatannya yang hanya sebesar telapak tangan. Tapi ayah segera muncul sebelum mereka membacakan pertanyaan pertama.
“Maaf tapi putriku masih perlu waktu untuk membicarakannya.” Ayah merangkul bahuku, memperlakukanku seolah aku tak bisa menghadapi dua polisi itu sendiri.
“Oh, baiklah. Maafkan kami, nona. Aku turut berduka cita.” Kedua polisi itu menjauh dariku. Ayah membawaku untuk masuk ke mobil dan kami bergerak pulang menjauh dari pemakaman dan kerumunan pelayat yang tengah berduka sekaligus penasaran dengan kematian Jossie. Ayah juga sepertinya menginginkan jawaban itu dariku.
Mobil berhenti begitu kami memasuki halaman rumah sederhana kami. Ayah menatapku tajam, seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Ayah menginginkan jawabanku.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Leil? tolong katakan pada ayah.” Aku masih diam, tak berani kutatap balik ayah yang begitu menginginkan jawaban dariku.
“Ayah, aku takut…” aku hanya mampu memeluk ayah sambil menangis.
“Serigala mana? Vampir mana yang membuatmu takut? Akan kubunuh mereka. Itu pasti. Atau pria itukah?” tubuhku langsung bergetar hebat dalam pelukan ayah. Bagaimana bisa ayah menebaknya dengan cepat dan tepat bahwa Pierre adalah satu nama pertama yang patut dicurigai. Apa yang harus kukatakan?
“Tidurlah, dari kemarin malam kau belum tidur.”
Aku turun dari mobil, berjalan gontai dengan semua pertanyaan tentang Pierre, Aku, Jossie, Ayah, polisi itu, Sofia, dan para werewolf. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku hingga aku tak menyadari ketika kakiku terantuk kaki meja dan jatuh menghadap meja telepon. Entah apa yang kupikirkan, jemariku malah menari di atas beberapa tombol dengan angkanya masing-masing.
“Selamat siang, panggilan darurat Kepolisian Viga. Ada yang bisa kami bantu?”
*
Aku masih meringkuk di atas kasur ketika suara gaduh mendekati kamarku. Kudengar teriakan ayah memaki seseorang dan dengan jelas ayah mencoba menahan mereka menuju kamarku. Dalam hitungan detik pintu kamarku terbuka, aku masih dalam posisiku. Dua orang polisi yang menemuiku di pemakaman kini muncul kembali di hadapanku.
“Nona Leil Grazdien, anda ditangkap atas kasus pembunuhan terhadap saudara Joshua Franklin.” Aku bangkit dari kasur dan membiarkan mereka mengunci pergelangan tanganku dengan borgol. Tak berani kutatap ayah.
“Leil? bukan seperti ini harusnya. Katakan pada ayah, sayang.”
“Maaf, aku telah mengecewakan ayah.”
“Siapa yang membunuh Jossie!” teriak ayah sambil mengguncang tubuhku. Tapi semua percuma, sia-sia, akan kusimpan jawaban ini untuk diriku sendiri. Biarlah ini terjadi.
“Maaf ayah, aku telah membunuh Joshua Franklin.”
***
Bonus: visualisasi untuk Pierre, yap karena sempat gambar jadi saya tambahkan. Siapa tahu bisa untuk cuci mata.

PIERRE
Aku tak bisa melihat apapun, pandanganku gelap dan terasa sangat dingin merasuk ke tubuh. Dingin yang bahkan seolah membekukan hingga dalam sekejap membuatku mati rasa. Kini, hanya telinga yang masih bisa menangkap suara samar-samar. Yang kudengar pun bukan suara yang indah. Aku mendengar gonggongan anjing yang terdengar semakin keras, bercampur dengan suara angin yang terbelah dan gesekan ranting dengan daun. Aku tak merasakan tangan maupun kakiku tapi aku yakin sedang bergerak.  Suara gonggongan anjing semakin pudar, aku semakin menjauh darinya? Tapi kemudian senyap, aku merasa kosong karena tak ada satupun yang bisa kudengar. Di tengah kehampaan, yang kudengar hanya desah nafas perempuan yang diikuti gerutuan. Sofia.
“Sialan si tampan itu. Dan kau lebih kurang ajar, bodoh. Kau mendengarku! Kau bodoh!” teriak Sofia. Tentu saja aku mendengarnya, tapi begitu sulit untuk menjawabnya. Tak kudengar sama sekali ada satu kata yang berhasil keluar. Aku hanya diam.
Jadi memang benar aku tengah bergerak dibawa lari Sofia. Tapi untuk apa? Ke mana? Mengapa kami melewati hutan penuh gonggongan anjing? Kudengar sebuah benda jatuh ke dalam air, diikuti gerutuan Sofia, lagi.
“Kuharap ini sudah sangat jauh dari mereka. Lebih baik kau cepat bangun dan lari sendiri. Pria itu lebih gila dari yang kuduga,” katanya. Tapi aku sama sekali tak mengerti apa yang dia bicarakan. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan. Pertanyaan pertamaku tentu saja mengapa aku tak bisa merasakan tubuhku? Bahkan kepalaku tak mau memikirkan kemungkinannya. Apa yang sebenarnya Sofia gerutukan? Siapa pria yang dimaksudnya?
“Hey Pierre, maaf aku membuatmu bingung. Tapi aku tak akan menjawab semua pertanyaanmu karena aku hanya ingin kau cepat sembuh. Karena itulah aku membuatmu tetap diam. Ketika kau bisa bangun sendiri, akan ada beban berat yang harus kau tanggung. Jadi istirahatkanlah dirimu dan jangan khawatir.”
Mengapa aku harus khawatir, justru semua kalimatnya membuatku semakin khawatir. Dengan keadaan diamku saat ini, apa yang bisa kuketahui? Mengapa Sofia mengatakan hal yang semakin tak kuketahui? Sialan kau Sofia.
“Aku ini darah murni, jadi tak mungkin si tampan dapat mengalahkanku. Bahkan semua prajuritnya yang tak mempunyai darah sudah kujadikan abu. Dia benar-benar meremehkan kemampuanku. Mengirim pasukan tanpa darah untuk mengejar seorang darah murni adalah penghinaan terbesar dalam hidupku. Setidaknya dia harus mengirim beberapa bangsawan dan darah murni lainnya jika memang berniat mengejarku.”
Diamlah, Sofia. Ocehanmu semakin membuatku kesal.
“Pierre, ini pertama kalinya aku melihat matahari. Pagi tadi, dia masih lingkaran jingga yang tertutup kabut. Siang hari, lingkaran itu menghilang dari langit. Aku tak bisa menemukannya tapi cahayanya membuat seluruhnya jadi terang. Begitu menyilaukan hingga mataku rasanya ingin terbakar. Begitu kau bangun, aku akan menghajarmu karena membuatku bergerak di siang hari tanpa persiapan. Aku akan membeli banyak bawang merah dan menyuruhmu mengupasnya, aku akan bahagia ketika melihat mata turquoise indahmu itu menangis pedih.”
Berhenti bicara, Sofia!
“Astaga, apa kita pernah berbincang sepanjang ini? Rasanya ini pertama kali. Malam ini begitu indah, bulan memang belum mencapai purnama tapi itu tak masalah bagiku. Selama dia masih ada di langit dan bermain-main bersama kabut gelap. Kau tahu tidak, setebal apapun kegelapan yang menyelimuti bulan tak akan benar-benar menutupinya. Ia akan menjadi yang paling terang lagi. Padahal cahayanya hanya pinjaman dari matahari. Mungkin karena bulan juga bayangan, jadi tak ada yang bisa menutupinya dengan bayangan lagi. Apa yang kau dengar, Pierre?”
Dia menyebalkan, menceritakan tentang sebuah keindahan padahal ia sendiri tengah menahan sakitnya. Kudengar suara Sofia bergetar, begitu pilu dan menyakitkan. Kenangan apa yang tengah ia pikirkan? Ini pertama kalinya kudengar suaranya bergetar.
“Aku kembali ketakutan, aku kembali lemah. Kemarin aku melihat sebuah kematian yang menyakitkan. Aku melihat gadis itu bergetar ketakutan dan itu mengingatkanku pada diriku sendiri. Saat itu aku pergi dengan dingin, seolah aku tak peduli padahal aku ingin memeluk gadis itu erat-erat. Aku ingin dia menangis keras dalam lindunganku, aku ingin menguatkannya. Aku ingin membantunya melewati hari yang menakutkan itu tapi aku hanya bisa melarikan diri. Karena aku ketakutan…”
Sofia memberi jeda pada kalimatnya. Sungguh semakin mengesalkan ketika ia kembali menceritakan hal yang tidak kuketahui. Apa dia tengah membahas masa lalunya? Lalu gadis yang ia ceritakan? Siapa gadis itu? Kudengar semilir angin menghempas rerumputan. Gesekan daun dan ranting pohon juga terdengar setelahnya. Gelombang-gelombang kecil di permukaan air yang tenang mulai terdengar. Mungkin karena daun yang jatuh ke permukaannya.
“Malam yang menenangkan. Ini kali pertamaku membawamu ke tempat ini. Ini juga pertama kalinya aku bicara tentang ketakutanku. Ini pertama kalinya kubiarkan kau mendengarku bergetar ketakutan. Kau juga pasti tahu bagaimana aku peduli padamu. Jadi maafkan jika sikapku selama ini tak mengenakkan. Aku hanya tak mau kehilangan lagi dan kau sudah menjadi bagian penting dari hidupku. Tak akan kubiarkan siapapun mendapatkanmu. Tak kubiarkan orang lain melukaimu dan tentu saja tak kubiarkan kau melakukan hal bodoh yang mungkin mencelakakan dirimu sendiri. Itulah janji yang kubuat saat kita pertama bertemu. Itulah yang membuatku selalu muncul pertama tanpa kau minta. Kau masih mendengarku, bocah bodoh!”
Saat kita pertama kali berjumpa?
“Kau masih begitu muda, sekarat dan berlumur darah di semak-semak rumahku yang hancur dan banjir darah. Yang pertama kulihat adalah tatapan mata turquoise itu yang seolah tak ingin padam. Tapi aku justru memadamkannya agar jiwaku kembali menyala. Kini waktunya untuk kembali menyala bersama-sama. Kau mendengarku?”
Tapi itu tak menjawab apapun. Tak satupun.
“Malam semakin malam, tenang saja, aku sudah makan dan kaupun sudah kuberi makan. Mulai saat ini aku akan menambah janjiku, aku tidak akan membuatmu kelaparan. Meskipun aku harus menjejalkan makanan ke mulutmu, itu akan kulakukan. Aneh sekali, mataku terasa sangat pedih. Padahal aku hanya memandangi bulan yang biasanya bersahabat denganku. Mengapa terasa pedih? Apa karena cahaya bulan adalah pinjaman dari matahari?”
Pertanyaan bodoh. Mengapa kau terus melemparkan pertanyaan jika kau tahu aku bahkan tak bisa bersuara untuk menjawabnya?
“Kau harusnya tahu bahwa makna tak harus diungkapkan lewat suara. Suara hanya sebagian kecil menyiratkan makna. Astaga, aku semakin tak mengerti dengan yang kukatakan. Kau juga sama kan, Pierre? Kau pasti tak mengerti apa yang wanita tua ini katakan. Maaf, aku justru mengganggu istirahatmu.”
Kemudian diam, tak terdengar apapun. Bahkan suara angin, gemericik air, gelombang di permukaan dan gesekan daun-daun mulai meredup. Tidak, jangan dulu. Aku tak mau itu terjadi, setidaknya aku bahagia masih bisa mendengar Sofia bercerita. Tak bisakah aku mendengarnya terus? Ya, segalanya hampir senyap sampai bisikan Sofia terdengar sangat jelas dalam diriku.
“Aku ingin kau tetap bersamaku maka aku akan terus mempertahankanmu. Selamat tidur, sayangku.”
Sekarang benar-benar hilang. Aku kosong.

(Bersambung…)

Sabtu, 23 April 2016

[PROMO] Buku: ESCAPEE, Romantisme Venice di mata gadis patah hati

Promo Hari Buku Internasional 23 April 2016, Launching anak pertama Penerbit Ataru
Judul                     : Escapee, Romatisme Venice di mata gadis patah hati
Penulis                 : Nitya Kemala
Jml. Halaman     : 272 halaman
Ukuran kertas   : A5
Harga asli             : Rp. 60.000
Harga promo      : Rp. 48.000 (disc.20%)

Tidak seperti air yang bisa dialirkan sesuai kemauan, angin cenderung sulit untuk dialihkan. Ia akan berhembus ke tempat semestinya. Cinta pun demikian. Sekeras apapun usaha untuk mengalihkannya akan sia-sia karena cinta itu akan menuju hati yang tepat.
Mia memutuskan untuk mundur dari pernikahan yang seharusnya dihelat megah di Venice dan menenangkan diri dalam perjalannya. Tapi dia sendiri tak menyangka pelarian diri itu justru membuatnya terdampar di Venice. Di jembatan Rialto semuanya bermula, perkenalannya dengan Venice yang mengingatkannya pada luka. Purnama pertama di langit Venice yang romantis seakan menyindirnya. Bahkan nyanyian cinta para pendayung gondola terdengar bagai kalimat dusta di telinganya. Mia putuskan untuk menutup hatinya akan cinta karena ia takut hanya omong kosong belaka. Namun uluran tangan seseorang di malam itu menariknya dari ketidakpercayaan. Perlahan, ia mendapatan pelarian diri yang sempurna. Tapi tidak selamanya kesempurnaan itu ada bukan?
Mau lebih banyak? Order yuk, karena ini bukan tipe yang diteriaki Encore 3x lalu muncul lebih banyak spoiler, hehe. Untuk info pemesanan, komen aja. Atau langsung ke Instagram ataru_id

Jumat, 22 April 2016

[CHRM] Berkenalan dengan Vignette Analysis

Halo, postingan kali ini bukan tentang sesuatu yang absurd tapi menurut saya ini lebih absurd dari biasanya. Karena spesial tiap Jumat (semoga jika sempat) akan saya luangkan waktu untuk post suatu ilmu yang bermanfaat. Saya akan coba tularkan pengetahuan yang saya dapat di kelas ke kalian- wooo, hanya alibi. Haha, sebenarnya ini langkah tepat menyingkirkan tugas dari drive yang mulai kepenuhan.
Baik, karena ini minggu pertama postingan Jumat bermanfaat, saya akan bagi sedikit ilmu mengenai Vignette Analysis dari mata kuliah Contemporary Human Resource Management yang saya ikuti. Selamat menyimak dan semoga bermanfaat.



Kalian pasti pernah mendengar berbagai metode dalam pemecahan masalah, kan? Ya, Vignette Analysis juga termasuk di dalamnya. Memang masih jarang digunakan dan pertama kali saya dengar juga sedikit aneh dan penasaran dengan metode yang satu ini. Jika ada dosen yang mengatakan, “Coba kalian cari sebab dari terjadinya masalah tersebut menggunakan diagram fishbone.”
Wah pasti langsung kalian menggambar diagram itu secepat kilat (erdengar seperti anak SD yang menggambar tulang ikan seenaknya, nyatanya fishbone diagram kadang lebih menyebalkan. Haha itu curhat.) atau mungkin ada juga satu metode yang sudah terkenal untuk mencari symptom dari sebuah masalah, misalnya WHY, Why, Why and Why. Metode ini semacam pertanyaan berantai, menanyakan alasan ‘Why’ dari sebuah alasan mengapa masalah itu terjadi.
Sekarang Vignette Analysis, perkenalkan, jreng, jreng, jreng….
Jadi intinya, metode ini fokus pada satu bagian yang sudah dipersempit untuk mencari kemungkinan terjadinya masalah. Misalkan, seorang nona muda kaya raya, bangsawan yang kecantikannya terkenal sampai tingkat dewa (over hiperbola< jangan panggil saya alay, hehe). Nona ini mengaku kulitnya adalah yang paling mulus sejagat raya. Ya, memang jika pandangi memang dia sempurna. Lalu kita lakukan Vignette Analysis pada wajah si nona. Coba kita lihat bagian hidungnya saja, kita fokus untuk melihat secara detail ada apa di bagian hidung hingga mungkin kita akan menemukan ‘bakal jerawat’ di hidungnya. Setelah kita temukan, kita lapor ke si nona dan memberikan rekomendasi agar jerawat itu tidak sampai muncul ke permukaan. Demikianlah ilustrasi dari penggunaan vignette analysis.
Berikut ini adalah contoh yang wajar dalam pengaplikasian vignette analysis. Berhubung ini mata kuliah Human Resource jadi contoh yang dibahas adalah permasalahan tentang contoh kasus di bidang HR.


Dengan Vignette Analysis, case study yang panjang lebar sampai belasan halaman bisa dipersingkat menjadi beberapa poin penting saja. Poin-poin ini menjadi fokus dari analisis. Bahwa hal-hal inilah yang terjadi.


Selanjutnya, kita bisa define problem. Mencari masalah sebenarnya dari analisis poin-poin tadi. Jika kita sudah tahu apa yang terjadi, pasti kita akan paham apa masalahnya.


Pada akhirnya, inilah tujuan utama dari setiap metode pemecahan masalah. Memberikan rekomendasi untuk mengatasi masalah yang ditemukan.
***
Sekian, semoga bukan hanya buang sampah (baca: sisa tugas). Semoga kalian jadi semakin tahu kalau analisis pemecahan masalah bukan hanya fishbone, jadi jangan ragu untuk move on. Salam.


Kamis, 14 April 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 27


Fiuh, berhasil membuat hari Kamis update. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Oh iya untuk kali ini sedikit lebih panjang dari biasanya karena keping ini saya libatkan Jossie untuk ikut bercerita. Ya, siapa tahu ada yang penasaran dengan pria ini. Happy Reading


DAY 4: PIERRE
Rasa sakit di sekujur tubuhku tak berkurang sedikitpun, justru rasanya semakin menyiksa. Ini hari keempatku terbaring. Mencoba menyembuhkan luka tapi tak ada perubahan.

“Sudah kelaparan?” celetuk Sofia yang tiba-tiba muncul. Dia berjongkok sambil memandangiku yang meringis kesakitan.

“Semakin lama menahannya, kau akan semakin tersiksa. Tubuhmu juga akan kelelahan sendiri. Luka sekecil apapun tak akan sembuh jika kau hanya diam dan menahan dahaga itu. Ayolah, jangan naif Pierre.”

Sialan dengan semoa ocehannya. Tubuhku menginginkan asupan makanan dan aku menolaknya karena itulah rasanya begitu menyakitkan. Tubuh vampirku bisa cukup rakus untuk menuntaskan dahaga, sangat berbahaya jika aku keluar dan berada di antara manusia.

“Sofia, pukul aku.”

“Hei, apa maumu bocah bodoh? Yang kau butuhkan sekarang hanya makan bukan pukulan. Kau butuh makan, sayangku.”

“Buat aku tertidur hingga aku lupa rasa laparku. Kumohon,” pintaku. Ya, ini pertama kalinya dalam sepuluh tahun darah vampirku mendominasi. Sebelumnya aku bisa menekannya untuk tetap tertidur. Aku selalu mencegah darah itu bangun tapi kini semuanya sudah terjadi.

“Apa begitu merepotkan untuk keluar sebentar dan makan?”

“Karena kata makan tak semudah mengucapkannya! Itu berarti aku harus membunuh, bukan?” Sofia langsung berdiri dengan wajah kesal.

“Dasar bodoh! Diamlah disini, aku yang akan mencari makanan untukmu!” teriaknya kesal.

“Aku tak mau mengkhianatinya, Sofia,” kataku lemah.

“Penuhilah kebutuhan tubuhmu atau kau akan kehilangannya, Tuan Vampir. Kau pasti tahu apa artinya kan? Kau mati, sebagai vampir, werewolf dan sebagai manusia dengan begitu kau mengingkari janjimu, kau mengkhianati gadis itu.”

Sofia tak menerima apapun alasanku, ia mengunci tiap jendela dan pintu di rumahnya dan menutup tirainya sampai benar-benar gelap di dalam.

“Jangan berkeliaran. Bau vampir sekarat adalah favorit werewolf. Aku akan kembali.” Begitulah ia, keras kepala tapi penuh perhatian dan penyayang. Kuharap aku bisa membalas kebaikannya suatu saat nanti.
***

LEIL
NEWS PIECE: Viga- Ratu keluarga Franklin, Suzanne Franklin, malam ini mengalami kecelakaan di km 345 setelah menghadiri acara pembukaan kantor cabang Franklin’s Group di Tersa. Mobilnya hancur, sopir meninggal di tempat sementara Suzanne Franklin luka berat.

Diam dan keheningan sebuah tempat bernama Rumah Sakit adalah sebuah mimpi buruk. Tapi, kini aku malah terjebak di tempat ini. Aku duduk di deretan bangku putih yang tersedia di depan ruang. Hatiku hancur ketika beberapa menit lalu, telepon rumah Jossie berdering dan mengabarkan berita tak mengenakkan. Saat kami mempersiapkan kejutan untuk kepulangan Nyonya Franklin dari Tersa, justru beliau yang mengejutkan kami. Ia mengalami kecelakaan dan keadaannya buruk. Aku masih tak mau memercayainya tapi itulah yang terjadi.

Kini, tim dokter keluarga Franklin tengah berusaha keras untuk menolong kliennya. Jossie terus menunduk lesu di sampingku, rasa penyesalan dan takut kehilangan tergambar jelas di wajah tampannya. Sesekali air mata meluncur tanpa penghalang.

“Bukankah semuanya akan baik saja, Josh?” tanyaku.

“Kuharap begitu, Leil.”

Seorang dokter keluar dari ruangan dan menghampiri Jossie. Ayahku juga ikut merapat. Saat ini hanya ayah yang bisa kami andalkan sebagai wali. Jossie langsung bertanya tentang ibunya.

“Nyonya Franklin dalam keadaan baik. Tapi masih memerlukan beberapa operasi kecil untuk mengeluarkan serpihan kaca yang masih ada di tubuhnya.”

“Mengapa tidak segera kau lakukan, bodoh!” seru Jossie sambil mencengkeram kemeja sang dokter. Aku berusaha melepaskan sang dokter dari kemarahan Jossie. Ayah juga membantuku.

“Tenanglah Josh. Dengarkan dulu alasannya,” kata ayah perlahan.

“Kami masih menunggu stok darah dari rumah sakit di Linas untuk operasi tersebut. Hanya tersisa satu kantong dan kami membutuhkan lebih banyak lagi untuk Nyonya Franklin. Jadi saya harap anda cukup bersabar untuk menunggu kantong darah itu sampai.”

“Berapa lama aku harus menunggunya?”

“Satu atau dua jam ke depan. Tapi kami mengusahakan secepatnya. Ini semua untuk kebaikan Nyonya Franklin.”

Si dokter undur diri dan kami kembali duduk di deretan bangku ruang tunggu. Berkali-kali Jossie meminta izin untuk bertemu dengan ibunya tapi tidak diperbolehkan. Hingga akhirnya ia kesal dan terus memukul-mukul tembok tempat kami bersandar. Aku menghampirinya untuk menenangkannya. Aku menepuk bahunya dan perlahan membawanya untuk duduk. Air mata mengalir deras, entah apa yang dia pikirkan pasti itu sangat buruk. Baru kali ini aku melihat Jossie tersedu demikian hebat. Ketegarannya meluruh hingga akhirnya bersimpuh di lantai. Menyandarkan kepalanya pada tembok yang selesai dipukulnya. Aku ikut duduk di sampingnya.

“Hey, aku tak tahu kata apa yang akan menenangkanmu. Tapi kuharap ini semua akan berakhir dengan indah. Untuk saat ini aku berdoa yang terbaik untuk ibumu. Aku juga cemas dengan keadaannya,”

“Leil, tetaplah bersamaku. Aku merasa tenang jika kau ada disini,” katanya putus asa. Jossie merebahkan badannya dan tidur dalam pangkuanku. Perlahan jemari tanganku membelai rambutnya dengan lembut. Ayah hanya berputar-putar di koridor sambil sesekali melirik jam tangannya. Jossie perlahan mulai tenang, bahkan kulihat ia terlelap di pangkuanku. Kali ini ponselnya yang berdering, bersuara beberapa kali kemudian diam dengan sendirinya. Ayah yang memeriksa panggilan itu.

“Sebuah nomor asing. Apa yang coba dia sampaikan pada Jossie?” kata ayah. Aku hanya menggeleng. Tak berapa lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Ayah sepertinya sangat penasaran dengan penelpon, saat ia akan meraih ponsel Jossie segera kuhalangi.

“Mungkin kita tunggu Jossie saja.” Ayah mengangguk, mengerti dengan alasanku. Ia kembali duduk di bangku ruang tunggu. Sementara aku masih duduk bersandar pada dinding dengan Jossie meringkuk di pangkuanku. Terlelap dengan tenang. Menatap ketenangannya memberiku ketenangan pula hingga lamat-lamat aku mendengar sesuatu dari kejauhan.

Astaga, ini kesempatan terakhirnya dan ia justru mengacuhkanku. Apa yang dia pikirkan? Terlelap di pangkuan seorang gadis? Yang benar saja. Apa dia juga berpikir untuk mengajak gadis itu tidur bersamanya. Cih, pada akhirnya dia tetap saja bodoh.

Ada yang sedang mengamati kami, yang kudengar adalah suara pria dan begitu jelas. Sudah pasti dia berada dekat sini, tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Yang kudengar tentu saja bukan ocehan pria yang cemburu ataupun wartawan dari majalah gossip. Lorong ini begitu tenang, ketenangan menuju pertengahan malam. Lagipula, yang kudengar bukan hanya kalimat itu tapi juga suara angin yang teralihkan karena seseorang melintas dengan sangat cepat. Tentu dia bukan manusia. Ponsel Jossie kembali berdering, kali ini langsung kuraih dan saat itulah Jossie merebutnya dariku.

“Boleh kuangkat teleponnya?” tanya Jossie dengan senyumnya. Senyum indah yang berkebalikan dengan mata sembabnya. Kulepaskan tanganku dari ponselnya.

“Tentu, itu untukmu,” kataku singkat. Jossie langsung bangkit, aku juga ikut berdiri. Jossie mengangkat teleponnya dan raut wajahnya terlihat berubah drastic. Senyumnya menghilang dan selanjutnya berjalan menjauh dari aku dan ayah.

“Jossie,” panggilku. Sungguh tanganku dingin dan bergetar karena panik bercampur takut. Jossie berhenti untuk berbalik dan memandang ke arahku.

“Hati-hati,” pesanku. Setelah itu ia kembali menjauh menuju ujung lorong. Ayah menumpuk jemarinya di atas jemariku. Bodohnya, aku justru berjingkat karena terkejut dengan gerakannya. Astaga, aku ketakutan.

“Tenang saja, dia akan baik-baik saja,” kata ayah. Tapi kata-kata ayah tak sepenuhnya membuatku tenang, justru membuatku semakin gelisah. Jika yang menelpon Jossie adalah pria yang sama yang kurasakan kehadirannya. Maka Jossie sama sekali tidak baik-baik saja. Ia berhubungan dengan vampir? Aku harus menyusulnya.
***

JOSSIE
“Untuk apa kau menghubungiku lagi? Bukankah sudah kukatakan untuk diam saja dan nikmati permainannya, bodoh!”

“Oh, kau sudah bangun tidur. Apa kau mimpi indah?”

“Sialan. Kau ada di sini? Tak bisakah kau menunggu semuanya berakhir dan menerima kekalahanmu nantinya?”

Sambil terus memancingnya berbicara denganku, aku berlari memutari lorong di lantai saat ini aku berada. Terus berputar dan memerhatikan tiap pria yang melintas. Tapi aku tak menemukannya. Sialan. Dimana dia? Kesal karena tak menemukannya, aku naik kea tap untuk membebaskan paru-paru dari sesak. Ya, untuk saat ini sepertinya udara segar cukup membantu mendinginkan kepala.

“Oh, sabar Tuan Joshua Franklin. Jika kau berteriak begitu keras, gadismu itu akan mendengarnya dan berakhirlah semua kesenangan ini. Ah, iya aku hampir lupa. Kedatanganku malam ini bukan hanya untuk menjengukmu dan Nyonya tersayang itu. Hanya sebagai penjagaan dan penyampai pesan. Bahwa aku ingin keputusan malam ini juga. Permainan yang terlalu lama juga menyebalkan. Aku bosan.”

“Aku sudah di jalur kemenanganku. Sudah kusingkirkan Pierre pengganggu itu dan jalanku sudah pasti adalah menang. Bagaimanapun, kemenanganku akan mengajarkanmu bahwa yang lama menjadi sampah tak akan bisa dengan mudah menjadi berlian.”

“Kau yakin melakukannya? Wah wah, Joshua Franklin…”

Belum selesai ia berkata-kata, langsung kuakhiri pembicaraan yang mulai tak berguna ini. Dia ada di sini dan itu cukup memberiku alasan untuk mematikan telepon dan bergegas kembali menuju kamar ibu. Dia orang gila, dia bisa saja nekat mengakhiri permainan ini dengan caranya sendiri dan aku takut kecelakaan yang ibu alami adalah bagian dari kegilaannya. Saat aku berbalik, ia sudah ada di hadapanku. Mengenakan setelan mahal dan tetap menampilkan kesan tenang nan elegan tapi mengancam.

“Halo,” sapanya ceria. Ia bahkan merentangkan dua tangannya seolah menyambutku dengan pelukan.

“Kau tidak ada pekerjaan lain?”

“Inilah pekerjaanku, Tuan Joshua Franklin. Memastikan anda bermain dengan baik dan tidak membuatku bosan,” jawabnya santai.

“Oh, kau datang ke hadapanku untuk mengakui kekalahanmu secara langsung? Ya, kau memang perlu berlutut dan mengatakan dengan lantang bahwa kau kalah.” Ia tak berkata apapun, hanya menyeringai dengan licik. Bertepuk tangan dan memutariku. Tepukan tangannya terdengar penuh dengan muatan penghinaan. Apa dia sedang meremehkanku? Dia tak percaya dengan omonganku?

“Kau begitu yakin akan menang? Lucu sekali. Bisa kita lanjutkan percakapan yang tadi terputus? Aku belum selesai dengan laporanmu.”

“Saat aku menutup teleponnya, itu berarti aku sudah selesai denganmu.”

“Kau menyingkirkan pengganggu itu?”

“Aku yakin pasti dia sudah membusuk di rumah hantunya tanpa ada seorangpun yang tahu. Mengenaskan, tapi memang itulah yang akan terjadi pada semua yang berani menghalangi Joshua Franklin. Bahkan sampah sepertimu juga bisa jadi lebih busuk daripada sekarang jika kau masih saja berdiri di hadapanku dan menghalangi jalan.”

“Wow, kau memang pemain yang kejam,” katanya sambil bertepuk tangan dan menyeringai menyebalkan dengan senyum manisnya. Sialan orang ini. Aku juga harus menyingkirkannya!

“Jangan pernah mencoba menyingkirkanku karena kau yang akan tersingkir lebih dulu dari permainan ini. Ingat, sedikit sampah bisa mengacaukan seluruh istana. Jika kau tak percaya, kau boleh membuktikannya sendiri, Tuan Joshua Franklin.”

“Berbicaralah sesukamu.”

Aku pergi darinya. Mengacuhkannya yang masih terus tertawa bagai orang gila. Beberapa lampu yang menerangi jalanku menuju pintu masuk tiba-tiba padam. Hanya tersisa satu lampu yang masih berkedip-kedip antara hidup dan mati. Di antara gelap dan terang yang bergantian itulah aku melihatnya menyeringai.

“Kau yakin akan meninggalkanku dalam kekalahan?” serunya. Aku masih tak peduli, tanganku menarik gagang pintu tapi tak mau terbuka. Hingga akhirnya lampu terakhir di sini benar-benar padam. Kegelapan total menyelimuti dan aku tahu ini adalah kegilaannya. Akhirnya aku berbalik, berjalan ke arahnya dengan pukulan yang siap kuhantamkan pada wajah tampan memuakkan itu.

“Enyahlah kau, sampah!”

Sebelum pukulanku mendarat, ia menghentikanku dengan telepon dari Leil. Ponselku ada di tangannya. Dengan senyum puas yang sangat licik ia menatapku. Astaga, aku melewatkan aksi liciknya. Sejak kapan ponselku ada padanya?

“Oh, kelinci kita menelpon. Apa yang harus kulakukan? Mengatakan padanya bahwa kau sedang ada urusan denganku hingga tak bisa diganggu? Sepertinya menarik.”

“Berikan padaku!”

“Atau harus kukatakan bahwa Joshua Franklin, oh bukan, siapa nama panggilanmu? Jossie? Ya, haruskah aku memberinya selamat karena Jossie telah memilihnya sebagai kelinci mainannya? Apa dia akan bahagia mendengarnya? Apa kau akan tetap dengan kemenanganmu? Hmm, beri aku jawaban hingga aku bisa mempertimbangkannya.”

“Sialan.” Dia hanya tertawa. Ponselku masih tetap berdering, Leil mengapa kau tidak berhenti saja dan jangan campuri urusanku?

“Hanya itu jawabanmu? Hanya mengumpat? Mengapa tidak katakan hal seperti sebelumnya? Bagaimana kalau kau…”

“Lakukan sesukamu,” jawabku kesal.

“Inilah Joshua Franklin yang terkenal. Aku suka bermain denganmu.” Dia segera menerima panggilan Leil dan menyalakan speaker agar kami berdua bisa mendengar apa yang Leil katakan.

“Jossie, ada dimana kau?”

Aku masih diam, dia menatapku sambil manggut-manggut. Tatapan matanya semakin tajam, suara Leil memanggil-manggil, mengembalikanku dari diam.

“Aku ada di atap, mencari udara segar dan mendinginkan kepala,” jawabku. Kudengar Leil mendesah lega menerima jawaban dariku. Ia bahkan dengan semangat mengatakan bahwa saat ini tengah menyusul.

“Leil, bisakah kau tunggu saja di bawah?” dia segera membanting ponselku hingga menjadi kepingan. Tersenyum ke arahku sambil menyerahkan setangkai mawar merah dari saku jasnya.

“Bisa kita akhiri malam ini?” tanyaku sambil menyambut mawar merah darinya. Kali ini tatapanku juga tajam mengimbangi seringainya. Pintu terbuka dan Leil segera dalam jarak pandangku. Ajaib, dia bahkan bisa membuka pintu yang terkunci dan menyalakan kembali lampu yang tadinya padam. Bahkan dia bisa mengusir pria yang tak bisa kuusir.

“Jossie, Nyonya Franklin kritis”

“Leil Grazdien, menikahlah denganku.”

Aku berlutut, dengan geram kakiku melumat setangkai mawar merah, menggaet jemari Leil dan memasukkan cincin permata yang sudah berulang kali coba kuberikan padanya. Kali ini semuanya akan selesai.

“Jossie, tapi ibumu…”

“Menikahlah denganku.”


(Bersambung…)

Jumat, 08 April 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 26

[no ilustration to display]
karena author lagi frustasi
gegara ngurus revisi.
harap dimaklumi :)
Haloo, saya kangen. Di antara banyak paper employee engagement dan paper social anthropology, saya melarikan diri ke kota kecil bernama Viga ini. Menemui Leil dan menengok keadaan Pierre. Eh di tengah jalan malah ketemu Sofia dan berpapasan dengan Jossie yang pulang mengantar Leil. Semuanya juga ikut bingung, mungkin psikologi author ada korelasinya dengan psikologi tokoh. Hmm, daripada semakin ngelantur langsung saja kalian baca lanjutan dari keping kemarin. Happy reading

PIERRE

Aku masih terbaring di atas sofa, tubuhku serasa tak mampu lagi bergerak keluar dan berjalan di bawah dunia sang matahari. Sofia mengganti perban yang membalut lukaku, darah masih terus mengucur meskipun sudah berlalu dua hari. Ya, setelah kejadian itu aku hanya berbaring di sofa rumah Sofia. Entah mengapa aku merasa aman dan nyaman saat berada di sini.
Sofia adalah vampir berdarah murni tapi ia mau menampung makhluk tak jelas sepertiku di rumahnya. Ia juga hidup soliter, berbeda dengan trueblood lainnya yang hidup dalam kelompok bernama persaudaraan trueblood. Dalam hierarki kehidupan vampir, merekalah golongan yang berada di puncak kekuasaan. Tapi karena suatu alasan yang selalu Sofia tutupi dariku, ia memilih untuk keluar dari puncak piramida tersebut. Ia hidup sendiri menghuni rumah ini setelah suami dan tiga anaknya mati dibantai werewolf.
“Maaf merepotkanmu. Aku akan pergi besok.”
“Bodoh. Kau pikir aku tidak tahu. Untuk bergerak saja kau masih kepayahan. Tetaplah di sini sampai aku bersihkan racun dari anak panah pemburu vampir itu. Jika tidak semuanya keluar, kau akan mati.”
“Tapi dia juga masih dalam bahaya.”
“Dia… gadis itu? Kau pikir ayahnya yang pemburu itu tidak bisa melindunginya? Sudahlah, lagipula dengan keadaanmu sekarang, kau bisa melindunginya? Sebagai apa? Vampir? Ayahnya akan membunuhmu lebih dahulu saat tahu kau vampir,” ejek Sofia.
“Aku akan melindunginya sebagai seorang pria.”
Sofia diam mendengarnya lalu mendadak terbahak sambil mengetuk keningku. Ya, Sofia benar, aku menjadi vampir semenjak serangan terakhir. Tubuh werewolf-ku kepayahan menanggung luka yang begitu berat hingga darah keduaku mendominasi. Kupikir aku harus menemui kakek tukang sandiwara itu. Ia mengetahui tentang tiga darah yang mengalir dalam tubuhku jadi mungkin ia mengetahui asal-usulku.
“Pria bodoh,” celetuk Sofia. Dia menepuk dadaku, refleks tubuh ringkihku terbatuk hingga darah mengalir melewati ujung bibir. Sofia menyeka darah itu dengan ibu jarinya kemudian menyesapnya. Ia terlihat begitu menikmatinya.
“Darahmu saling berperang jadi rasanya sedikit aneh,” celetuknya.
“Mengapa aku harus memiliki tiga darah? Darimana asal tiga darah ini?” Sofia memalingkan wajah dariku dan seolah berusaha menghindar. Tapi tanganku cepat menahannya.
“Itu karena kau istimewa.”
“Darah mana yang paling kau suka?”
“Pertanyaan apa itu? Sangat tidak penting. Kau tak bisa menolak tiga darah itu tapi kau bisa memilih satu yang terkuat untuk jadi dominannya dirimu. Semakin lama kau mengunci kemampuanmu, sakit yang kau rasakan akan bertambah. Jadi lepaskan saja.”
“Semakin sering aku melepasnya, maka kesempatanku hidup normal akan semakin kecil. Aku tak mau itu terjadi karena aku memilih menjadi manusia.”
“Astaga, kau memang bodoh. Berkali-kali kubilang bahwa menjadi manusia itu pilihan yang paling tidak menguntungkan. Jika kau jadi manusia, kau hanya akan jadi makananku. Cobalah pilihan lain.”
“Sofia kau pasti tahu asal-usulku bukan? Tolong katakan semuanya padaku? Mengapa tiga darah berbeda ini mengalir dalam tubuhku? Mengapa aku tidak hidup dengan satu identitas dominan saja?” Sofia memalingkan wajahnya dariku. Ia menutupiku dengan selimut.
“Jangan konyol. Diam di sini sampai kau benar-benar sembuh, bodoh.” Saat wajahku keluar dari balik selimut, dia sudah menghilang. Apa jawabannya begitu rahasia hingga dia tak mau mengatakannya? Atau apakah aku terlalu hina untuk tahu jawabannya?

LEIL
“Leil, awas keranjang mawarnya!” teriak June.
Tapi terlambat, keranjang itu menggelinding tertabrak langkahku yang tengah memeluk keranjang krisan. Kulempar keranjang krisan hingga isinya menghambur kemana-mana sementara keranjang mawar yang menggelinding berhenti di depan pintu dengan beberapa kelopak mawar yang tergerus. Keduanya berantakan, kakiku seolah tak punya tenaga untuk menopang kecerobohan ini. Aku bersimpuh di tengah hamburan krisan dan mawar merah. Memandangi keduanya berantakan. June datang, aku siap dengan omelannya yang hanya kubiarkan. Pikiranku terlalu sibuk untuk mendengarkan June. Pikiranku melayang pada hal lain.
“Maafkan aku June. Aku hanya bisa membuat kekacauan.”
“Apa yang kau bicarakan. Semakin lama kau diam di situ, kau semakin aneh saja. Sudah bereskan saja semua kekacauan yang kau buat.”
“Apa tidak ada hal berguna yang bisa kulakukan? Apa aku hanya bisa menangis saat kekacauan terjadi? Mengapa aku hanya bisa berbuat kekacauan?” tiba-tiba air mata mengalir dengan sendirinya. Sedangkan tanganku tak berniat menghapusnya.
“Leil,” June memelukku erat dan tangis ini semakin menjadi. Aku tak tahu harus bercerita pada siapa tentang kegilaan ini. Tak akan ada yang mau mendengarku, mereka akan menganggapku gila. June memberiku jeda waktu untuk menenangkan diri di gazebo belakang. Aku duduk sambil membuang duri tiap mawar yang baru saja June panen.
Langit yang tadinya biru kini perlahan terkena invasi abu-abu. Mendung menggantung terlihat tebal dan cukup meyakinkan bahwa sore ini akan hujan lebat. Angin bertiup membawa wangi mawar dan semerbak bunga lainnya dari taman. Kuletakan gunting dan diam menikmati pikiranku sendiri yang terbang melayang-layang. Kuhirup wangi mawar yang masih kupegang hingga seekor kupu-kupu biru melintas. Apa vampir wanita itu datang lagi ataukah hanya kupu-kupu biasa? Petir yang tiba-tiba menyambar membuatku berjingkat dan nyeri di jari telunjukku. Duri mawar menancap di sana dan saat kulepaskan, sebulir cairan merah keluar dan perlahan semakin tumpah. Hanya bisa kupandangi darah itu, sialnya hal itu malah membuatku kembali memikirkan Pierre. Tubuhnya begitu dingin dan wajahnya yang pucat, kecepatannya, seolah dia adalah vampir. Jika dia memang vampir, dia pasti meminum darah manusia ‘kan? Apa rasa darahku? Apa darahku bisa memuaskannya?
Perlahan telunjukku semakin dekat dengan bibir. Aku justru semakin penasaran dengan rasa darahku. Aku penasaran apakah Pierre akan menginginkan darahku? Apa benar dia vampir? Sebuah tangan yang terasa sangat dingin menghentikan laju telunjukku. Dia menahanku dan kulihat kemudian adalah Sofia.
“Jangan paksakan dirimu melakukannya. Biar aku saja yang menjawab semua rasa penasaranmu,” katanya sambil memasukkan telunjukku ke dalam mulutnya. Aku sedikit tersentak ketika ia menarik darahku lebih banyak dari yang muncul di permukaan. Tapi aku tak bisa menghentikannya, bibirku kaku hingga akhirnya dia berhenti dengan sendirinya. Sofia menutup luka di telunjukku dengan plester.
“Terima kasih,” kataku. Tentu saja kutujukan pada plesternya bukan karena ia telah menyesap darahku. Ia duduk di sampingku sambil memainkan setangkai mawar.
“Kau terlalu banyak memikirkan bocah bodoh itu hingga kau juga berlaku bodoh,” katanya ketus.
“Siapa bocah yang kau maksud?”
“Kau juga bodoh. Ya, kau yang kedua. Pierre ada bersamaku, dia adalah yang paling bodoh yang pernah kutemui.” Jawabannya hanya kutanggapi dengan anggukan kepala.
“Apa kau tidak bisa bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa? Kau melamun, mengacau dan tiba-tiba menangis. Itu mencurigakan, orang lain akan bertanya-tanya tentang semua itu. Ketika kau menjawabnya, mereka akan menganggapmu gila.” Ya, dia mengatakan tepat apa yang terjadi padaku. Dia bahkan mengatakan keanehan dan kekacauanku hari ini secara detail. Apa dia mengawasiku seharian ini?
“Aku tidak bisa berpura-pura. Apa Pierre baik-baik saja?”
“Hmm, sepertinya aku juga harus menghapus ingatanmu. Jika kau tetap saja bertingkah bodoh seperti ini,” sahut Sofia enteng.
“Kalau begitu lakukankah. Hapus juga memoriku, biarkan aku kembali kosong. Semua orang mengaggapku gila saat aku menceritakan hal ini. Mereka tak percaya dengan ceritaku.”
“Bukankah aku pernah melakukannya sekali?”
“Tidak ada salahnya jika kau melakukannya lagi.”
“Sayang sekali, karena aku tak mau melakukannya. Ya, aku pernah menghapus ingatanmu tapi kau bahkan tak melupakan kami. Aku benci untuk mengulangi hal yang sia-sia, hanya membuang waktu saja.”
“Malangnya diriku.”
“Kau menyukai Pierre ‘kan? Awalnya memang kau hanya penasaran dengannya, tapi setelah kau tahu bahwa Pierre bukan manusia kau bahkan semakin menginginkannya. Kau tak menghindarinya meskipun seharusnya begitu. Kau bisa saja menghindarinya dan memilih pria flamboyan yang biasa mengejarmu.”
“Apa begitu jelas?”
“Hmm, itulah yang kurasakan dari darahmu. Begitu rumit, rasa penasaranmu dan rasa takutmu saling memberontak. Pasti pilihan yang sulit,”
“Ya, aku tak menyangka akan sesulit ini.”
“Mengapa kau memilih Pierre?”
“Kau tak bisa merasakannya dari darahku?”
“Aku hanya mencicipimu jadi mana mungkin aku bisa tahu sepenuhnya tentang apa yang kau pikirkan.” Kusibak helaian rambutku ke sisi kiri sehingga leherku sebelah kanan tersingkap. Sofia hanya menatapku tajam. Entah karena dia menginginkanku atau karena terkejut aku bisa senekat ini.
“Kalau begitu, minumlah lebih banyak,” kataku. Dia malah memalingkan wajah.
“Kalian sama-sama bodoh.”
Kami saling diam. Tak ada kalimat yang keluar, menikmati pikiran masing-masing. Kupandangi tetes gerimis yang menerpa kelopak-kelopak mawar. Aroma mawar juga sesekali melintas ketika angin membawanya mendekat pada hidungku. Langit masih tetap gelap. Aku tetap diam. Dalam hati bertanya mengapa June bahkan tidak tertarik untuk melongok keadaanku. Sofia juga diam, dia sama sekali tak mengarahkan pandangannya padaku. Seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apa masalah yang begitu rumit untuk seorang vampir?
“Pierre memiliki tiga darah berbeda. Jadi ketika kau bertanya siapa Pierre sebenarnya, aku tak tahu jawaban mana yang tepat. Dia bisa saja seorang manusia, werewolf ataupun vampir. Kurasa kau sudah melihat semua perubahannya, bukan?” ujar Sofia memecah keheningan.
“Apa itu mungkin?”
“Hmm, memang sangat langka tapi itulah yang terjadi. Karena tiga darahnya, ia menjadi buruan vampir juga werewolf. Tapi manusia juga memburunya.”
“Mengapa?”
“Persekutuan Trueblood menganggap Pierre sebagai keajaiban dan juga ancaman. Tiga darah dalam satu tubuh menjadikannya tak terkalahkan jika dia memanfaatkannya dengan baik. Ketika dia memilih untuk bergabung dengan salah satu kelompok, maka dia akan menjadi senjata andalan yang tak terhentikan.”
“Kau adalah vampir, apa kau akan membawanya pada klanmu?”
“Aku tak ambil bagian dalam politik. Aku hidup sendiri, karena itulah aku selalu menampungnya. Dia tak tahu harus pulang kemana, ia kebingungan akan tempatnya. Aku keluar dari persekutuan karena aku kasihan padanya. Ia masih begitu muda ketika tahu ada tiga darah dalam tubuhnya. Ia masih sangat muda ketika seluruh klan memburunya.”
“Jika dia sendiri sudah sibuk dengan para pemburunya, mengapa masih sempat menolongku?”
“Karena itulah kubilang dia itu pria bodoh.”
“Ya, aku tak cukup pantas untuk dipertahankan seperti itu.”
“Kau cukup pantas untuk diperjuangkan.”
“Maksudmu?”
“Ah, melelahkan bicara dengan orang bodoh.” Sofia menghilang dari pandangan. Ia memudar begitu saja bagai asap yang terburai saat angin menghempasnya. Mengapa dia tak pernah mengatakan segala sesuatunya dengan tuntas?
“Leil?” aku berbalik ke arah sumber suara. Jossie mendekat hingga akhirnya duduk di sampingku. Berapa lama kami tak jumpa?
“Hey Josh, lama tak jumpa.” Ia hanya melayangkan senyum indahnya.
Jossie mengantarku pulang. June memberiku cuti untuk esok hari bukan karena dia prihatin dengan keadaanku yang lebih banyak melamun dan membuat kekacauan di hari ini. Tapi karena undangan Jossie. Ya, sekali lagi Jossie mengundangku. Kali ini bukan untuk tampil di acara publik mengingat kejadian tak menyenangkan yang pernah terjadi. Ketika Leil si gadis biasa ini tiba-tiba menjadi Cinderella dan diburu media dan pecinta Joshua Franklin. Jossie mengundangku dan ayah untuk makan malam bersama di mansion keluarga Franklin. Makan malam ini sengaja Jossie adakan untuk menyambut kepulangan Nyonya Franklin dari pembukaan kantor cabang di Tersa. Ya pembukaan kantor cabang di Tersa bertepatan dengan hari ulang tahun Nyonya Franklin. Jika biasanya Jossie yang akan hadir untuk melakukan peresmian kantor cabang baru, kali ini ia mewakilkan pada ibunya agar dia sendiri bisa merangkai pesta kejutan ini di rumah. Tapi jossie tak mengundang banyak orang, hanya aku dan ayah saja.
Aku masih meringkuk di kursi teras rumah ditemani secangkir kopi yang mulai dingin. Ya, sudah lama aku diam di sini. Menikmati malam yang mulai sepi dan ayah juga belum kembali dari pekerjaannya. Tidak seperti malam sebelumnya, kali ini aku merasa benar-benar sendiri.
Diam, hening, tenang. Tak ada yang mengintai di balik semak. Tak ada yang akan datang tiba-tiba untuk menculikku. Tak ada yang datang untuk mengacaukan lagi rumahku. Tak ada yang akan datang untuk kembali membelah televisiku. Tak akan ada yang datang, bukan?

(Bersambung…)