Halo, semuanya. Saya rindu kalian. Hmm, sudah berminggu-minggu tak bercerita dan tak produktif menghasilkan review (efek baca lima paper jadi satu). Dengan sisa tenaga yang ada, di tengah kekacauan yang menimpa, saya perjuangkan satu keping dari series 3Blood. Dibarengi dengan lagu The Light Behind Your Eyes dari My Chemical Romance, ini dia update terbaru dari kisah fantasi (kebanyakan romance -_-) Leil dan Pierre. Selamat membaca.
P.S: Oh, ya keping kali ini saya tambahkan sianida (hahaha, maksudnya ilustrasi)
PIERRE
Kusandarkan tubuh kepayahan ini pada dinding batu. Nafasku tersengal tak beraturan dengan luka yang masih mengucurkan darah. Aku sengaja berhenti dan menghindari pertarungan karena tubuhku tak mampu menahannya lagi. Aku perlu memulihkan diri sejenak sampai siap kembali bertarung. Ini semua diluar dugaan, mereka menyerangku terus menerus hingga aku tak punya jeda untuk pulih.
“Arrgh…!” Aku harus pergi dari sini secepatnya. Kucoba menyeret tubuhku yang masih tetap tak mau diajak kompromi. Haruskah aku mati di sini? Sekarang? Dalam kehampaan? Tiba-tiba terbayang Leil dengan wajah penasarannya, senyumnya, dan pertanyaannya. Aku tak bisa mati begitu saja sebelum membuktikan pada Sofia bahwa aku bisa melindungi Leil. Aku yang telah berjanji bahwa keberadaanku tidak akan membuat kebahagiaannya pudar. Saat keinginanku untuk hidup itu kembali, para pemburuku juga kembali menemukanku.
“Pengkhianat!”
Aku telah berdiri tegak menyambut lima dari mereka yang tersisa. Tapi dari kejauhan kudengar beberapa mendekat lagi. Ada lebih banyak yang menyusulku. Astaga Leil, maafkanlah kebodohanku.
“Kudengar kau sangat dekat dengan gadis itu. Apa dia istimewa?”
“Dia hanya gadis manusia biasa.”
“Oh, menarik sekali. Gadis manusia biasa bisa sangat dekat dengan makhluk sepertimu? Lupakanlah dia, mencintainya berarti kau hanya akan menyakitinya. Sadarlah tempatmu.”
“Aku bisa dekat dengannya karena aku juga manusia.” Mereka terbahak.
“Buang jauh-jauh impianmu untuk hidup bersamanya sebagai manusia karena dalam darahmu tak mengalir darah manusia.”
“Omong kosong, menjauhlah dariku, penguntit.”
Mereka mulai bersiap untuk menyerangku. Aku masih ragu untuk meladeni mereka. Ketepatan dan kecepatanku tentu lebih baik dari mereka tapi jika kulepaskan kekuatan supranaturalku lagi, kesempatanku untuk normal menjadi lebih kecil. Leil, maafkan aku…
Di sinilah aku sekarang, terdiam di hamparan padang ilalang. Memandangi langit yang perlahan tak lagi hitam, gemintang masih ada yang tersisa untuk menyaksikanku sekarat. Aku memang bodoh. Hampir seluruh tubuhku terkoyak, bahkan darah menggenang di sekitarku dan mengubah ilalang coklat kering menjadi merah. Semua rasa sakit itu telah hilang bersama semua kenangan di masa lalu. Aku tlah menukarnya dengan luka-luka baru di sekujur tubuh. Seharusnya tak ada yang bisa kuingat, tapi aku masih mengingat pertempuran itu hingga bagaimana luka sebesar telapak tangan bisa merobek jantungku. Mungkinkah semua rasa sakit itu menghilang seiring dengan akan hilangnya jiwaku? Akankah ini berakhir? Seperti inikah akhir ceritaku?
Desah angin menghempas padang dan menyisir lukaku, membuatnya terasa semakin perih. Mataku mulai sayu terasa lelah dan ingin terpejam, samar kulihat seorang gadis duduk menghampiriku. Apa yang dia lakukan? Siapa dia? Ia lalu menatapku, menangis di sampingku, dia mengoceh terus sambil bercucuran air mata tapi aku tak dapat mendengar kata apa yang dia ucapkan. Kutatap dalam gadis itu, mencoba mencari kepingan memori yang mungkin masih tersisa tentang seraut wajah familiar ini. Hingga mata sayuku terbelalak, mendapati sepotong ingatan akan sebuah nama. Leil. Ia mengelus wajahku dengan lembut. Sanggupkah kuucapkan selamat tinggal padanya? Sanggupkah aku meninggalkannya?
Samar, kudengar derap langkah kaki dan aroma yang familiar dengan hidungku. Werewolf. Mereka yang langkahnya kudengar semakin mendekat saat pertarungan. Pemburuku masih belum habis. Aku langsung bangkit dan menyergap Leil, membawanya lari dalam gendonganku.
“Pierre, ada apa? Hey kau mau membawaku kemana?” teriak Leil sambil terus meronta.
Aku tetap membawanya berlari sejauh mungkin dari bahaya yang mengejarku dan mungkin mengancamnya. Tak kupedulikan pukulan-pukulan putus asa dari Leil yang tak terasa sakit sedikit pun. Satu-satunya rasa sakitku kini adalah beberapa luka merepotkan sisa pertempuran. Biasanya hanya perlu beberapa menit saja untuk memulihkannya, tapi kali ini aku bahkan tak punya waktu untuk berhenti lari. Nyawa Leil adalah prioritas utamaku sekarang.
“Tolong jawab aku, kumohon…”
Leil, dia tak lagi meronta. Dengan suara lembut bermuatan putus asa ia memohon, beberapa tetesan air terasa hangat membasahi bahuku membuatku tak kuasa untuk terus membawanya lari dan kupikir kami sudah cukup jauh dari bahaya. Akhirnya kuputuskan untuk menghentikan langkahku dan menurunkannya dari bahuku. Kulihat matanya yang sembab dibanjiri air mata. Leil menjauh untuk menghindariku.
“Leil…”
“Apa kau tak pernah percaya padaku? Mengapa kau tak mengatakan semua tentang dirimu? Setiap kali ada perubahan, aku selalu ketakutan. Mengapa kau tidak menunjukannya sekaligus supaya aku terbiasa dengan keadaanmu?”
“Leil?” dia tersenyum manis meski tetap menghindariku. Air matanya masih terus mengalir. Gadis itu menangis, aku membuatnya menangis. Aku hanya bisa menyakitinya.
“Leil, maafkan aku.”
“Aku baik-baik saja hanya perlu waktu untuk membiasakan diri,” katanya. Aku tak bisa membiarkan pergi sendiri, kuikuti langkahnya perlahan tapi ia tetap menolak keberadaanku.
“Berhenti di situ, aku baik-baik saja dan yang kuperlukan saat ini hanya menenangkan diriku sendiri.” Lalu kurasakan sebuah benda asing menerobos permukaan kulitku. Kutemukan sebuah anak panah berisi cairan biru menancap di bahu kiriku.
“Jauhi putriku!” hardik Tuan Grazdien.
“Ayah.”
Dunia serasa berputar terbalik. Semua rasa tak menyenangkan mulai hinggap di tubuhku. Rasanya kaku, beku, dan dingin. Cairan itu kurasakan bergerak cepat dalam aliran darahku dan mulai meracuni setiap luka. Mungkin butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Yang kutahu, cairan ini adalah sejenis racun yang akan menyerang sistem syaraf dan melumpuhkannya hingga target tak berdaya lagi untuk menyerang. Para pemburu vampir biasa menggunakan ini sebelum mereka membantainya. Dengan keadaanku saat ini, mungkin racun ini juga dapat membunuhku langsung. Nafasku mulai terasa berat, aku benar-benar tak berdaya di atas tanah. Kulihat ayah Leil mendekat, bersiap dengan pisaunya.
“Kalian akan membutuhkanku…” gumamku.
“Kami tak membutuhkan apapun darimu.”
“Ayah…”
“Tenang, sayang. Aku akan membunuh ketakutanmu.”
Ayah Leil semakin mendekat, begitu pula gerombolan werewolf yang mengejarku. Bagaimana aku memperingatkan bahaya ini pada mereka jika membuat mereka percaya padaku saja sangatlah sulit. Tanpa kusadari pisau ayah Leil tlah berdiri tepat diatas jantungku. Tapi semua gelap sebelum kurasakan tikamannya…
***
![]() |
hohoho, ilustration yes. maafkan skill saya yang blm meningkat dalam urusan mengambar pria tampan. mukanya Pierre terlalu girly. Maafkan. |
LEIL
“Ayah! Jangan lakukan ini!” teriakku sambil berusaha menarik tubuh ayah menjauhi Pierre.
“Apa yang kau lakukan, Leil?”
“Aku sudah tahu kalau dia berbeda. Aku menerimanya meskipun kadang aku ketakutan.”
“Dia bukan manusia, kan? Benar kan?”
“Tidak sepenuhnya begitu.”
“Tetap saja, dia mungkin berbahaya bagimu!”
Bumi bergetar oleh derap langkah yang bergemuruh dari kejauhan. Aku tercengang dan mulai waspada dengan sekitarku. Ayah mulai bersiap dengan persenjataannya dan membaginya denganku. Semak di sekitar tersibak, segerombolan serigala besar melompat dari gelap dan mengepung kami. Werewolf. Mungkinkah mereka yang mengejar Pierre hingga ia memaksaku ikut melarikan diri dengannya? Seekor serigala, yang paling besar mendekati Pierre dan mengendus tubuhnya yang diam tak bergerak. Segera werewolf itu merubah wujudnya menjadi manusia. Pria itu berdiri menghadapku, tubuhnya yang tinggi besar dilapisi jubah bulu lebar layaknya seorang raja. Ia mendekatiku dan langsung menatap tajam.
“Manusia ini telah membunuhnya!” semua anggota melolong mengerikan.
“Kami tak membunuhnya. Kalian yang melukainya!” aku berseru dengan keberanian yang luar biasa bodoh.
“Kau menantangku, gadis kecil?” si pemimpin mengayunkan lengannya ke arahku hingga membuatku terbang jauh dan mendarat tepat di samping tubuh Pierre. Kurasakan tubuhnya yang dingin bagai es, wajahnya begitu pucat bagai makhluk tak bernyawa. Dia benar-benar beku. Tak mungkin ia mati. Ayah tak mungkin sekejam itu hingga membunuhnya. Ini tak mungkin…
“Kalian urus gadis kecil itu. Aku akan bermain dengan orang tua yang sok jagoan ini.” Aku mulai bergerak dan bersiap membela diri dari beberapa serigala yang mulai mendekat. Mengepungku dengan intimidasi seringai taring tajam.
“Menjauh dariku!”
Ketakutan mulai kurasakan tapi tetap kucoba agar suara ini tak ikut bergetar. Tapi aku tak bisa menyembunyikannya, aku ketakutan dan tubuhku bergetar. Satu-satunya yang masih kugenggam erat adalah sebilah pisau perak. Aku tak tahu apa efeknya untuk serigala, tapi sepertinya mereka tak merasa terancam dengan pisau ini. Mereka terus saja mendekat, seekor menghampiriku dengan cakar tajam yang terayun padaku.
“AYAH…”
Bau anyir darah dari daging yang tersayat segera menguar. Belum berani kubuka mata tapi kurasakan cipratan darah mengguyur hampir seluruh tubuhku. Tak ada sedikit pun rasa sakit yang menempel walau tubuhku berlumur darah. Hanya lemas karena diguyur darah dan sebuah kedinginan hebat yang tiba-tiba menyambarku. Lalu…
“Gunakan pisaumu.”
Sebuah bisikan halus langsung membuat mataku terbelalak. Ternyata benda dingin yang melapisi tubuhku adalah ketakutanku. Pierre. Tubuh dinginnya menyatu dengan tubuhku. Lengannya memanduku untuk menusuk satu jantung werewolf.
“Pierre?”
“Pergilah ke utara. Werewolf tak akan berani memasuki kawasan itu. Tanah itu adalah wilayah perjanjian yang dikuasai vampir. Fajar akan segera menyingsing jadi kalian tak akan kesulitan melewatinya dan kuyakin ayahmu sanggup mengatasi vampir.”
“Bagaimana denganmu?”
“Pergi,” perintahnya. Aku berlari menjangkau ayah dan mulai menuntunnya menuju utara. Sementara Pierre bergerak cepat membersihkan jalan kami. Aku mulai memberanikan diri untuk menggunakan pisauku.
“Gunakan pisaumu.”
Kalimat itu kembali terngiang dan semakin menguatkan keberanianku untuk menghadapi ketakutan. Aku dan ayah terus berlari tanpa halangan. Bidikan ayah selalu tepat mengenai sasaran, sedangkan Pierre, kecepatan luar biasanya memberi kami perlindungan dari tiap serigala yang mengejar. Semburat jingga fajar mulai memudar karena matahari mulai menunjukkan kuasanya. Terang mulai memudahkan mata untuk terjaga, aku tak menemukan Pierre menyusul kami. Tapi kuharap dia baik-baik saja.
Aku dan ayah masih terus berjalan melintasi hutan utara. Tak ada yang menghambat perjalanan kami. Pohon pinus berjajar rapat menjulang ke langit, sedikit meneduhkan dari sinar matahari. Kabut juga masih menggantung dan kulihat sekelebat bayang sosok perempuan di antara deretan pinus. Kupu-kupu biru mengelilingiku dan sepertinya aku tahu siapa yang datang.
“Sofia,” panggilku.
Vampir wanita itu menyingkap kabut yang menutupi wajah cantiknya. Bola mata merahnya bersinar jelas, rambut pirang panjangnya tergerai dan tengah dimainkan angina. Beberapa kupu-kupu setia hinggap di tubuhnya. Apa Pierre sengaja menuntunku untuk bertemu dengannya?
“Apa yang kau lakukan?” aku mencoba mendorongnya untuk kembali bersembunyi. Jika ayah melihatnya, dia bisa dalam bahaya. Apalagi saat ini ayah dalam persenjataan lengkap.
“Tak perlu khawatir. Aku tidak seperti bocah bodoh itu,” katanya sambil memberi arahan dengan gerakan dagunya untukku supaya berbalik. Aku menoleh dan melihat ayah sudah terkapar dikelilingi kupu-kupu Sofia.
“Dia baik-baik saja?”
Sofia menghampiri ayah. Meletakan telapak tangannya di kening ayah dan cahaya biru berpendar menunjukkan apa yang sudah terjadi. Pertemuan kami dengan Pierre dan pertarungan pagi ini. Semuanya tergambar jelas bagai putaran layar film. Sofia membalikkan telapak tangannya, cahaya itu menutup semua gambaran menjadi sebuah bulatan dan Sofia segera meniupnya. Gambaran itu pergi bagai debu yang terkena tiupan angin.
“Kau juga akan menghapus ingatanku?”
“Kau masih mengingat namaku dan kau masih saja menempel pada Pierre. Bukankah itu cukup membuktikan jika menghapus ingatanmu hanya tindakan yang sia-sia?”
“Sofia, makhluk apa sebenarnya Pierre?”
“Dia hanya bocah bodoh yang begitu terobsesi padamu. Bawa pulang ayahmu dan bersikaplah seolah tak terjadi apapun. Pertanyaanmu sulit untuk kujawab. Kuharap kau menemukan jawabannya suatu hari nanti.”
Sosok Sofia memudar dan tersisa sebagai puluhan kupu-kupu biru yang mulai terbang menjauhiku menuju kedalaman hutan. Bahkan dia pun tak memberiku jawaban tentang Pierre. Apa dia memang tak mengetahui jawabannya atau dia tak mau memberitahuku?
*
Aku duduk di sofa teras dalam kehampaan, terdiam memandangi beberapa anak kecil yang tengah bermain dengan ceria di seberang jalan menikmati hari Minggunya. Pikiranku melayang pada satu nama. Pierre. Siapa dia sebenarnya? Terkadang tubuhnya hangat normal, seketika pernah kutemui kehangatan itu memuncak, menjadikan panas tubuhnya di atas normal manusia dan pagi ini tubuhnya dingin bagai makhluk tak bernyawa.
“Kopi?” kata ayah yang langsung menyadarkanku dari lamunan.
“Aku sayang ayah,” kataku sembari memeluknya erat hingga beberapa tetes air mata meluncur. Di balik tubuh ayah, mataku masih memandangi tomat yang mulai memerah sempurna dalam pot bungaku. Teringat janjiku untuk membaginya dengan Pierre saat pohon itu berbuah. Tapi untuk saat ini apa kami bisa bertemu lagi?
“Ada apa?”
“Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi.”
(Bersambung…)