Laman

Pages - Menu

Kamis, 25 Februari 2016

Gerilya Hati di Era Profitability

Ibu adalah sumber inspirasi utama dari kehidupan seorang anak dan ini tentang pembelajaranku darinya. Bukan pelajaran yang berat seperti Fisika Dasar, Kalkulus maupun Kimia. Bukan tentang kognitif yang selalu dijejalkan dalam sistem pendidikan, ini tentang keikhlasan. Kata yang tak bisa kusebutkan dengan awalan hanya, karena ikhlas bukan hal yang kecil yang bisa dianggap remeh. Kata ini menggambarkan betapa dalam dan mulianya sebuah akhlak. Seseorang yang besar tak akan jadi apa-apa tanpa keihklasan untuk melakukan banyak hal. Tapi seseorang yang tak memiliki apapun akan tetap menjadi kaya dengan keikhlasannya.
Ibuku bukan karyawan di pabrik yang selalu berangkat teratur tiap pagi. Ibuku bukan wanita karier yang cemerlang dalam memimpin sebuah perusahaan. Ibuku bukan public figure terkenal yang akrab dengan kamera dan dunia gemerlap. Tapi ibuku selalu bangun jam satu pagi dan mulai memasak di dapur dengan ditemani segelas besar kopi. Ibuku selalu bisa mengurus semua kekacauan yang dibuat anak-anaknya di rumah. Ibuku terkenal akan masakannya dan kerendahan hatinya. Ya, ibuku seorang ibu rumah tangga. Bahkan aku tak pernah memanggilnya ibu, aku biasa memanggilnya mama. Tapi untuk saat ini, aku akan menuliskan tiga huruf itu untuk menyebutnya. Aku akan menulis tentang ibuku.
Ibu memasak dini hari untuk dijual di pagi hari, tepatnya setelah adzan subuh. Semua harus sudah terhidang karena warung ibu buka saat ketukan pelanggan pertama mendarat di pintu rumah. Sebenarnya terlalu besar jika harus disebut warung, hanya sebuah meja makan di dekat jendela ruang tamu, tempat biasa ibu menghidangkan masakannya. Ibu menjual masakannya dengan harga yang menurutku (sebagai anak perantauan di Bandung) sangat murah. Bayangkan saja hanya dengan dua ribu rupiah kau bisa makan kenyang. Jika di Bandung hanya akan menjadi ongkos angkot ke kampus, maka di rumahku kau bisa beli nasi uduk enak lengkap dengan lauknya. Jika warung lain menjual gorengan tiga potong per dua ribu rupiah, maka ibu menjualnya seharga lima ratus rupiah per potong. Setiap libur semester, aku selalu menjadi pekerjanya, menggoreng perkedel jagung selama ibu melayani pembelinya yang datang pagi buta.
Jam enam pagi, masakan ibu pasti sudah ludes. Ketika yang lain baru mulai membuka warung, ibu sedang membereskan piring dan menikmati lagi segelas kopi di pagi hari. Awalnya aku tak mengerti dengan cara berjualan ibuku yang menurutku tidak profitable. Bagaimana mungkin ia berjualan dengan harga yang demikian murah? Apalagi dengan ilmu yang kudapat dari pelajaran berbisnis di bangku kuliah, kami selalu berdebat tentang hal yang sama. Harga dan keuntungan. Tapi sepanjang apapun aku berdebat dengan ibu, selalu aku yang akhirnya harus tersenyum kalah. Di balik kekalahan itulah kupetik sebuah pelajaran.
Ibu tahu bahwa cara jualannya tidak akan menghasilkan banyak keuntungan. Apalagi ibu tak mau menambah jumlah masakan yang dijualnya. Ia membuatnya sedikit dan dengan rasa yang benar-benar dijaga tanpa pernah mencoba asal-asalan masak. Saat kutanya mengapa, ibu hanya menjawab dengan nada bergurau. Menyembunyikan kata ikhlas di balik alasan hobi. Ia selalu berdalih bahwa memasak adalah hobinya, ia merasa bahagia ketika orang lain menikmati masakannya. Tapi tak ada orang di dunia ini yang tak butuh uang, bukan? Apalagi kami dari keluarga yang pas-pasan, aku pun kuliah karena beasiswa tidak mampu. Lalu di tengah keterbatasan itu, ibu masih bisa tersenyum karena dagangannya ludes laris manis meski keuntungannya tak semanis itu. Kata ikhlas kutemukan sebagai sesuatu misterius yang menjadi sumber senyumannya.
Jawaban yang membuatku tersenyum juga. Jika selama ini aku belajar tentang teori dan praktek berbisnis yang cenderung menjurus pada liberalisme, ternyata ibuku malah memeranginya. Ibu menjadikan apa yang dilakukannya sebagai pemberian manfaat bagi banyak orang. Jika aku belajar tentang teori egoism, Ibu malah berjuang dengan altruism. Ternyata kepuasan yang benar-benar memenuhi hati adalah manfaat kita untuk orang lain bukan hanya tercapainya apa yang diinginkan diri sendiri. Materi memang diperlukan untuk bertahan hidup di realitas dunia tapi kepuasan batin lah yang akan membuat seorang manusia hidup damai dalam kehidupannya. Seperti ibu yang selalu menyumbangkan waktu, tenaga dan senyumnya untuk sebuah kedamaian yang dibangunnya dari keikhlasan. Jika perusahaan besar hanya menyumbangkan dua persen dari keuntungannya untuk dana Corporate Social Responsibility (CSR), maka aku lebih berbangga karena ibuku melakukan CSR tanpa harus menunggu keuntungan terkumpul. Setiap keikhlasan yang ibu relakan seolah lebih besar dari dua persen CSR perusahaan top.

Tentang profitability dan sistem manajemen memang menjadi tuntutan utama dalam kehidupan nyata dalam bisnis. Tapi alangkah baiknya jika ternyata berdampingan dengan manajemen diri untuk membawa manfaat bagi orang lain. 

Kamis, 18 Februari 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 24


Tanpa basa basi, jebreet. Update guys… mungkin untuk minggu besok akan mulai pertarungan sengit dan semakin kompleks [spoiler #kodekeras]. Maaf untuk penambahan tokoh ini, bukan bermaksud lain, hanya untuk menambah rasa misteriusnya. Happy reading…

LEIL
“Aku minta dua tangkai krisan putih,” kata si pelanggan. Aku langsung mengambil dua tangkai krisan dari keranjang bunga dan membungkusnya. Gerakan tanganku terhenti ketika aku mengingatnya. Pria turquoise itu pernah datang untuk membeli krisan. Aku tahu kemana aku harus pergi untuk memastikan.
“Hey Leil, kau mau kemana?” tegur June ketika aku melangkah keluar toko sambil membawa dua tangkai krisan yang baru saja dipesan. Tapi aku mengabaikan pertanyaannya. Dengan tergesa aku segera berlari menuju bukit. Aku yakin ada sesuatu di sana dan pria itu kuharap dia ada di sana. Pria yang berpura-pura dingin ketika kami kembali bertemu malam itu. Pria yang terus mengalihkan wajahnya agar aku keluar dari pandangan mata turquoise-nya. Pria yang membenamkan bibit tomat pada pot tanamanku yang kosong. Pria yang mengakui bahwa dirinya bukanlah manusia dan aku meninggalkannya.
“Sudah kuduga bahwa akan kutemukan jawaban di bukit ini. Tempat yang berhasil kau sembunyikan dariku beberapa hari ini. Tapi aku berhasil mengingatmu.” Aku menemukannya tengah berbaring di atas rerumputan. Jika ingatanku tidak salah, ia sebenarnya tengah berbaring di atas makam. Pierre.
“Maaf sepertinya kau tersesat,” jawabnya datar.
“Aku ketakutan, itu benar. Tapi itu tidak berarti aku harus lari darimu, bukan? Jika aku terus lari dari semua yang aku takutkan, maka aku akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama. Aku ingin mengalahkan ketakutan itu dengan menemuimu.” Pierre hanya menatapku tak percaya.
“Kau masih tak percaya jika aku berhasil mengingatmu? Aku tak ingin jadi pengecut dengan menghindarimu. Kau tak bisa menghilangkan dirimu begitu saja. Sebanyak apapun kau pernah mencobanya, bukankah aku selalu bisa mengingatmu kembali?”
“Kau tahu mengapa kau merasakan ketakutan itu. Lalu mengapa kau masih berdiri di sana dan seolah menantangku?”
“Bukankah manusia sudah hidup berdampingan dengan makhluk seperti kalian selama berabad-abad lalu? Mengapa sekarang tak bisa seperti dulu?”
“Karena itu sudah berbeda.”
“Apa yang membuatnya berbeda?” Pierre diam seolah enggan menjawab pertanyaanku.
“Karena aku tak bisa membuatmu lupa, jadi akan lebih baik jika aku pergi dan tak lagi bisa kau temukan.” Benar saja, dia mengalihkan pembicaraan.
“Coba saja dan aku akan selalu menemukanmu.”
“Jangan jadi gadis keras kepala. Aku melakukannya bukan tanpa alasan. Kau akan aman jika melupakan kami, hiduplah dengan tenang.” Aku menghambur dan memeluknya, sama seperti di malam hujan itu. Aku memeluknya erat meski kini tubuhnya tak sehangat waktu itu. Ia tak bereaksi dengan pelukku. Ia tetap membatu dan membiarkan desiran angin melewati kami.
“Aku tak memintanya, aku tak memintamu untuk lari. Aku mencarimu, selalu mencarimu. Bahkan dalam kosongnya memori tentangmu aku selalu merasa ada yang hilang dari kepalaku dan itu adalah kau,” bisikku.
“Betapa berbahayanya mengatakan hal itu, Leil.”
“Berbahaya? Mengapa kau berpikir bahwa kau berbahaya bagiku? Apa kau tak memikirkan bahwa aku juga berbahaya untukmu? Aku puteri seorang pemburu vampir, tapi ayah juga bisa memburu werewolf. Jika ayah menemukanmu, bukankah itu berbahaya?”
Gubraak…
Terdengar suara benda jatuh tak jauh dari tempat kami berdebat. Pierre dan aku sama-sama diam untuk mengamati keadaan. Tak lama kemudian muncul suara orang tua meminta tolong. Aku segera berlari menuju sumber suara dan mengabaikan Pierre yang masih diam.
“Leil,” panggil Pierre tapi aku tak menanggapinya.

PIERRE
Astaga, ada apa dengan gadis itu? Bagaimana ia bisa semudah itu mengingat apa yang telah dihapus Sofia? Sungguh dalam hidupku tak pernah ada manusia yang berhasil mengingat apapun yang telah dihapus oleh seorang darah murni. Tapi dia, istimewa atau justru berbahaya? Dia berlari menuju sumber suara dan aku masih mengamatinya dari kejauhan sampai ia tidak terlihat lagi. Perlahan aku mengikuti jejaknya dan menemukan gadis itu tengah membantu seorang kakek yang terjungkal.
“Siapa dia?” kataku.
“Pemuda yang kasar, tidakkah kau melihat seorang kakek yang kepayahan berdiri?” balas si kakek. Setelah kuamati, dia adalah kakek yang waktu itu menolongku untuk mengantar Leil pulang ke rumahnya. Entah bagaimana, aku merasa ada sesuatu yang aneh.
“Kakek, apa kau bisa berjalan?” tanya Leil lembut. Kakek itu kemudian memegangi pergelangan kakinya sambil meringis kesakitan.
“Sepertinya kakiku terkilir.” Apa benar dia terkilir? Kakek ini semakin mencurigakan saja. Apa yang dia inginkan? Bagaimana bisa dia sampai ke bukit ini? Apakah dia sudah ada di sini sejak kami berdebat? Jadi dia mendengar semuanya?
“Pierre, apa yang kau lamunkan! Ayo bantu kakek ini pulang. Dimana rumahmu kek? Kami akan mengantarmu pulang,” kata Leil. Aku langsung menggendong kakek itu. Aku dan Leil berjalan berdampingan ke arah yang ditunjuk si kakek. Kami berjalan cukup jauh memasuki bukit dan menemukan sebuah gubuk sederhana atau lebih tepatnya reot. Aku tak pernah tahu jika di bukit ini ada yang tinggal di sini selain aku dan Sofia.
“Kau tinggal di sini?” tanyaku.
“Tentu saja. Memang tidak terlihat layak tapi sungguh ini sudah sangat cukup bagi orang tua sepertiku,” jawab si kakek sambil terkekeh. Leil memijit kaki si kakek perlahan sambil terus mengoceh tentang pertolongan pertama bagi kaki yang terkilir. Ia bahkan sampai membanggakan gelarnya sebagai peserta terbaik dalam seminar keselamatan kerja.
“Akan kubuatkan sesuatu yang hangat. Dimana dapurnya?” jawaban si kakek membuat Leil segera menuju dapur dan menyisakan kami berdua di kamar ini.
“Kau sengaja muncul di hadapan kami, bukan? Siapa kau sebenarnya?”
“Apa penampilanku tak cukup meyakinkanmu?”
“Bahwa kau hanya kakek renta yang terpeleset dan tak bisa berjalan? Tidak. Katakan saja, aku tak perlu basa-basi. Sandiwaramu itu menyedihkan,” sambarku. Dia hanya terkekeh pelan lalu menyeringai dengan tatapan yang tak kusukai. Dia merapalkan sesuatu dan terciptalah dinding semu yang membatasi dinding ruangan ini. Sudah kuduga bahwa dia bukan orang sembarangan.
“Mengapa kau menanyakan pertanyaan itu pada orang lain. Jika kulempar pertanyaan itu padamu apa kau bisa menjawabnya? Siapa kau sebenarnya, Pierre?” aku diam mendengarnya membalikkan pertanyaanku. Dia benar, aku sendiri juga tak tahu siapa aku sebenarnya dan makhluk apa aku ini. Bahkan Sofia tak pernah mau menjawab pertanyaanku tentang itu. Lalu apakah si kakek tahu siapa aku? Atau setidaknya mengenal siapa orang tuaku?
“Jadi, siapa aku sebenarnya?” tanyaku putus asa. Dia hanya tertawa lepas.
“Kau bisa berada dimana saja sesukamu. Tapi saat ini kau hidup bukan sebagai aliansi juga oposisi, kau belum memilih kelompok mana kau ingin berada. Apapun pilihanmu, hasilnya akan sama karena mereka hanya punya dua alasan memburumu. Antara memanfaatkanmu atau melenyapkanmu sebelum kau bergabung dengan salah satu di antara mereka. Sayangnya Leil muncul di tengah perburuanmu.”
“Perburuan? Siapa ‘mereka’ yang kau maksud?”
“Tiga darah yang berbeda mengaliri tubuhmu. Kau hidup di ketiga dunia itu. Jadi nikmatilah,” bisiknya. Leil masuk dan melenyapkan penghalang yang dibuat sang kakek. Ia membawa teh dalam cangkir besar untuk si kakek, dia juga membawa wadah gula ke meja di samping ranjang.
“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Leil lembut.
“Tentu saja. Aku dikelilingi anak muda yang peduli padaku, terimakasih. Mungkin aku perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan tubuh rentaku.” Leil mengangguk.
“Istirahatlah, Kek. Jangan lakukan pekerjaan yang berat dulu. Kusempatkan menjengukmu besok sepulang kerja. Akan kubawakan kue yang enak juga.” Leil begitu lembut dan tanpa curiga pada si kakek. Padahal aku hanya berdiri kaku di tepian pintu dan menatap sinis ke orang tua yang tengah bersandiwara itu.
“Urus pemuda itu juga, dia begitu kaku. Sikapnya membuatku ngeri,” kata si kakek pada Leil yang langsung menatapku dengan wajah garangnya. Mengapa aku?
“Dia memang sulit berkomunikasi dengan orang lain tapi dia sebenarnya sangat peduli. Dia seperti kerang yang menyimpan mutiara, jadi jangan pedulikan cangkang kerasnya,” jawab Leil.
“Ya, aku tahu persis orang-orang seperti itu. Hari semakin malam, kau pulanglah.”
“Baiklah. Istirahat ya Kek,” kata Leil sambil merapatkan selimut si kakek dan mengajakku keluar. Aku segera keluar dari kamar saat kalimat si kakek itu menghentikanku.
“Jangan mati dengan mudah,” sambar si kakek.
“Kau punya orang yang peduli pada keberadaanmu, ada orang yang menghargai kehidupanmu. Kau tidak lagi hidup untuk dirimu sendiri tapi juga untuk mereka yang peduli. Berhentilah berpura-pura bahwa kau bisa menahan tiga darahmu sendiri, itu akan sangat menyakitkan. Berbagilah.”
“Simpan pertanyaanku dan kuharap kau siap dengan jawabannya saat aku kembali.” Aku segera mengantar Leil sampai ke rumahnya. Tapi aku harus bergegas untuk kembali menemui kakek itu. Aku harus dapat jawabannya mala mini juga.
“Terimakasih, sepertinya ini bukan pertama kalinya kau mengantarku pulang.”
“Ini pertama kalinya. Sungguh,” kataku mencoba meyakinkan.
“Kau pikir aku akan percaya? Setelah berulang kali kau mecoba menghilang dariku? Aku gadis yang cepat belajar dan kau akan kesulitan menipuku lagi.” Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya, sementara dia terbahak karena senyumku. Seolah Leil ingin mengatakan bahwa kali ini dia menang. Dia mulai bergerak menaiki lima anak tangga menuju teras rumahnya sementara aku tetap diam di tempatku berdiri.
“Baiklah, aku kagum pada kecepatan belajarmu itu nona.”
“Leil?” panggil seseorang dari dalam rumah. Leil mengibaskan kedua jemarinya ke arahku. Aku masih bingung dengan aksinya dan hanya melihat ke arahnya berharap sebuah kata yang bisa menjelaskan lebih baik daripada gerakan jemarinya. Ia menuruni dua anak tangga dan mendorongku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Pergilah, ayah akan menemukanmu dan ini berbahaya untuk ki…”
“Berbahaya? Apa aku terlihat berbahaya, Leil?” celetuk pria tinggi besar dengan kemeja maroon yang sudah muncul di depan pintu. Leil menghentikan gerakannya dan menghalangi pandanganku.
“Ayah, aku pulang,” katanya ceria.
“Ada seorang pria di belakangmu. Menyingkirlah, aku ingin melihatnya,” kata ayah Leil dengan suara beratnya. Setelah Leil menyingkir sedikit, baru kulihat bahwa pria itu tengah mengelus senapannya. Ya, mungkin dia memang pria yang berbahaya.
Ayah Leil memandangiku dari atas sampai bawah dan seolah tak mempercayai status manusiaku. Dia menuruni anak tangga, melewati Leil dan tepat berhadapan denganku kini.
“Namaku Pierre, Pak,” kataku spontan sambil mengulurkan tangan kananku mengajaknya berjabat tangan. Dia meraih uluran tanganku, hanya sebentar lalu melepasnya segera.
“Apa kau keturunan?” pertanyaannya mengejutkanku. Mengapa ia bisa menerka begitu cepat? Padahal aku mencoba menyembunyikannya dengan baik. Suhu tubuhku juga sedang normal seminggu ini. Bagaimana ia bisa tahu?
“Ayah!” seru Leil, pria itu hanya tersenyum dan meminta maaf pada puterinya.
“Bola matamu begitu indah untuk seorang pria kurus menjulang sepertimu. Turquoise adalah pilihan warna yang bagus. Pasti ibumu sangat menyukai keindahan, hahaha,” kelakar Tuan Grazdien. Ternyata baik ayah ataupun anak, mereka memerhatikan warna bola mataku. Aku hanya tersenyum menanggapi jawabannya.
“Terimakasih sudah mengantar puteriku dengan selamat, Pierre.”
“Saya pamit.”
“Hati-hati di jalan,” kata Leil dengan ceria meski ayahnya terus mendorongnya untuk segera masuk. Kuharap aku bisa terus melihat senyum cerianya itu. Dalam perjalanan pulang, omongan si kakek masih melintas lamat-lamat dalam ingatan. Siapa dia? Mengapa juga aku harus memikirkan ocehan seorang kakek yang bahkan tak mau menyebutkan namanya? Kuharap orang tua itu masih setia di rumahnya.
Ini buruk. Kulihat gubuk itu nyaris roboh dan berantakan, ada cipratan darah dimana-mana. Apa orang tua itu selamat? Siapa pula yang melakukan tindakan hina seperti ini? Apa mereka perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengalahkan seorang kakek? Hmmm, aku melupakan hal yang penting. Dari awal aku memang curiga bahwa dia tengah bersandiwara tapi aku tak mengharapkan dia menghilang dengan cara ini.
“Hey orang tua, kau dimana? Apa kau masih hidup?” teriakku sembari mendekat. Tak ada jawaban dari dalam bahkan aku mendapat sebuah serangan. Beberapa pria keluar dari gubuk dan segera menghantamkan pukulan mereka. Jika tak cepat menghindar, mungkin aku sudah hancur berkeping-keping.
“Pierre? Ini kejutan yang menyenangkan. Ternyata kau berhubungan dengan orang tua yang kami kejar. Dia terlalu banyak mengetahui tentang kami, jadi kupikir akan lebih baik jika dia lenyap. Siapa dia sebenarnya?” tanya salah satu pria itu. Asal kau tahu, dia vampir dan aku mulai tidak suka pembicaraan ini.
“Aku cukup terkenal ya,” jawabku enteng.
“Kau masuk daftar teratas buruan kami. Bahkan pemimpin yang mengatakannya bahwa aku harus membunuhmu setelah aku membunuh orang tua itu. Tapi tak masalah jika aku membunuhmu lebih dulu.”
“Jadi orang tua itu masih hidup?”
“Siapa dia? Katakan semua informasi yang kau ketahui sebelum hal berharga itu ikut mati sia-sia bersamamu.”
“Aku juga ingin mengetahuinya dan sayang sekali aku masih belum ingin mati sebelum mendapatkan jawaban dari mulut si tua itu. Apa jawabanku membantu kalian?”
“Kau tidak menjawab sama sekali. Matilah kau makhluk terkutuk!”

(Bersambung…)

Jumat, 12 Februari 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 23


Yoo semuanya, saatnya update. Maaf kalo ga dikasih warning, karena saya pun merasa bahwa semakin lama kok semakin kental romance nya. Jadi apa boleh buat, hmm langsung saja. Keping 23, fresh from the oven (-_- emang ini roti, hadeeh authornya kebanyakan jungkir balik membuat lanjutan ini cerita. Maafkan…). Happy reading…

LEIL
“Ayah, sarapan sudah siap,” seruku. Tak berapa lama kemudian ayah langsung masuk sambil menenteng koran dan cangkir kopi. Kutuang air putih ke gelas di depan ayah dan gelasku lalu duduk. Ayah memimpin doa dan kami makan bersama walaupun menunya sederhana. Ya, aku baru bisa membuat omelet dan ayah suka. Tapi aku tahu sebenarnya ayah hanya menahan tiap kekurangan dari masakanku. Aku masih terus belajar sampai masakanku seenak buatan ibu, ya sampai saat ini hanya omelet saja yang rasanya sudah mirip buatan ibu.
“Hari ini kau masuk kerja?”
“Ya, hanya setengah hari. June tahu bahwa Jossie mengajakku pergi jadi dia mengizinkanku pulang lebih awal,” jelasku. Ayah mengangguk setuju.
“Dia memang bos terbaik,” sahut ayah. Aku mengulangi kalimatnya sembari mengerutkan dahi.
“Bagaimana dengan ayah? Bisa mengantarku ke rumah Jossie?”
“Aku ada pekerjaan di luar kota. Sepertinya aku segera pergi setelah sarapan, pekerjaan kali ini cukup jauh. Aku harus pergi ke Linas,” katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku jadi merasa bersalah harus menanyakannya.
“Tidak masalah. Aku akan menelpon Jossie untuk menjemputmu. Kau juga tahu kan kalau dia pasti punya banyak sopir terbengkalai di rumahnya. Salah satunya akan menjemputmu,” kata ayah kemudian. Ia segera merapikan piringnya setelah sarapannya habis.
“Aku yang akan membereskannya,” sahutku. Ayah langsung naik ke kamarnya dan mempersiapkan peralatan berburunya sementara aku membereskan piring kotor. Ayah sudah bersiap di belakang kemudi dan tersenyum menatapku.
“Kau harus bergegas, Yah,” kataku yang masih bersandar pada tiang depan pintu.
“Ternyata anakku sudah sebesar ini,” katanya sambil terbahak. Astaga, apa itu penting? Kalimat dari seorang ayah yang baru menyadari bahwa bocah perempuannya sekarang sudah tumbuh besar dan bisa menyiapkan sarapan. Lelucon yang tidak penting.
“Hei jangan lupa siram tomatmu. Tak biasanya kau melupakan tanaman itu. Aku pergi,” seru ayah. Mobilnya mulai menjamah jalanan dan perlahan-lahan menjauh dari pandanganku. Tomat? Apa yang ayah bicarakan? Aku menyusuri teras rumah dan menemukan sebuah pot berisi tanaman yang mulai menyembulkan buah kecil di tangkai hijaunya.
“Tomat?” aku duduk di sofa teras dan memandanginya. Tanahnya mengering meskipun daunnya berhasil menangkap titik-titik embun pagi ini. Aku lupa menyiramnya? Aku bahkan baru tahu kalau aku memeliharanya. Sejak kapan aku mulai rajin berkebun? Mengapa harus tomat yang ada dalam pot tanamanku? Aneh sekali.
Setelah menyiram tomat itu, aku segera menuju toko June. Entah mengapa aku bisa bayangkan apa kata yang akan terucap darinya jika aku terlambat. Dia pasti akan bicara tentang pemotongan gaji ataupun mengancam untuk membocorkan rahasia tentang undangan pesta Jossie. Dasar June.
Lonceng toko berdenting saat aku masuk. June tengah membuka tirai dan penyekat jendela, aku segera menuju ruang pegawai dan mengenakan celemek motif bebungaan. Juga kusimpan tasku di loker pegawai yang hanya berjumlah lima buah.
“Bagaimana dengan Jossie?”
“Kupikir kita sepakat untuk tidak membicarakannya lagi?” jawabku ketus. June menggerakan jemarinya di depan mulut seolah ia tengah menutupnya rapat dengan kunci.
“Ayo keluarkan keranjang mawar dan krisannya, biar aku yang mengurus tirai.”
“Oke.” Aku segera menggotong keranjang rotan berisi ratusan tangkai mawar merah dan meletakannya di dekat pintu toko. Begitu juga dengan sekeranjang krisan. Kuambil beberapa krisan yang layu dari keranjang dan diam. Mengapa sampai ada krisan layu di keranjang. Segerombolan burung terbang riang melintasi depan toko dan terbang bebas ke arah bukit. Kupandangi sejenak bukit itu. Lama kelamaan aku memikirkan sesuatu tentang bukit itu, aku merasa ada yang hilang dengan sesuatu di bukit. Apa yang kupikirkan?
“Kau tidak ke bukit?” tanya June tiba-tiba. Lamunanku langsung buyar.
“Untuk apa?” kataku balik bertanya.
“Benar juga. Aku senang mendengarnya. Aku turut senang jika satu-satunya pegawaiku kembali pada kewarasannya,”
“Katakan lagi dan akan kubuat ayah memburumu.”
“Hahaha, hanya bercanda Leil. Selesaikan pekerjaanmu atau gajimu kau potong,”
***
Hari beranjak sore ketika Jossie mengirimkan sopir yang dulu menjemputku dan ayah, ia bahkan menjemputku di depan toko June. Tapi kali ini hanya menjemputku dan aku benar-benar menjadi seorang Cinderella. Jossie memiliki ibu perinya sendiri yang luar biasa hebat hingga mampu mengubahku menjadi lebih anggun dari yang kubayangkan. Malam harinya, aku siap untuk pesta dengan gaun merah maroon elegan melapisi tubuhku. Gaun indah dari sutra pilihan yang sengaja dipilih oleh Jossie. Kalung dan gelang mutiara menghiasiku. Aku menggandeng lengan Jossie sepanjang acara karena aku tak mau tersesat. Beberapa tamu tak mengenaliku sebagai gadis yang bekerja di toko bunga. Mereka menyalamiku dan menanyakan apa nama perusahaan ayahku, siapa ayahku dan bidang usaha perusahaan. Aku hanya diam menerima semua pertanyaan itu dan membiarkan Jossie terus menyelamatkanku.
“Hey, apa pesta ini tidak membuatmu bahagia?” Tegur Jossie ketika menemukanku termenung di pojok ruangan sambil menikmati kudapan.
“Bukan begitu. Aku hanya merasa tersesat.”
“Bukankah kau bersamaku?”
“Justru karena aku bersamamu.” Jossie langsung menyambar jemariku dan kami berputar di lantai dansa. Dia sungguh menawan, aku merasa beruntung kami sahabat baik. Setelah puas dan menghilangkan sedikit rasa canggung, kami menuju meja panjang penuh hidangan. Awalnya masih terasa nyaman dan aku semakin percaya diri, sampai saat pers lewat.
“Tuan Franklin, mereka adalah reporter dari Viga News. Mereka memburu berita spesial dan setelah seleksi yang ketat, mereka terpilih sebagai kantor berita resmi yang boleh meliput secara ekslusif tentang malam ini,” kata salah satu asisten Jossie.
“Oh, baiklah. Buat berita yang bagus dan manfaatkan kesempatan ini dengan baik.” Jossie masih tetap menggenggam jemariku meski di hadapan kamera. Ia memperkenalkanku, ia terlihat terus menyempurnakan kalimatku agar rasa canggung ini berkurang. Seperti itulah malam berlalu.
***
Aku duduk meringkuk di sofa teras sambil menikmati sisa udara dingin di pagi hari. Secangkir kopi masih mengepulkan uap di sebelahku. Sementara selimut tebal masih membungkusku secara sempurna. Kupandangi tomat yang ada di hadapanku. Mobil ayah berhenti di halaman, astaga ia baru kembali dari Linas. Tanpa mengeluarkan peralatannya, ia keluar dari mobil dan memungut sesuatu. Apa dia akan pergi lagi?
“Selamat pagi sayang,” sapa ayah. Dia duduk di sebelahku dan langsung menyambar kopi.
“Kau tidak segera bersiap untuk berangkat kerja?” tanyanya sambil membolak-balik halaman koran hari ini. Sepertinya benda itulah yang tadi dipungutnya.
“Hari ini toko June tutup. Dia harus menghadiri pertemuan keluarga dan akan menginap di rumah mertuanya. Beruntung bagiku.”
“Oh begitu. Apa kau mau ikut denganku ke Tersa? Ayo kita memancing di sana, aku ada kenalan yang bisa meminjamkan kita sebuah feri dengan cuma-cuma,” ajak ayah bersemangat.
“Tidak, terima kasih. Ayah akan langsung pergi lagi ke Tersa?”
“Tersa adalah kota yang tepat untuk memperbaiki perlengkapan. Aku juga akan membelikanmu sesuatu yang baru. Kau mau ikut?” aku hanya menggeleng. “Ayolah, apa yang akan kau lakukan hari ini? Pasti tidak hanya duduk di sofa dan tidak bersemangat seperti sekarang ini kan?”
“Entahlah. Mungkin aku akan berjalan-jalan sebentar.”
“Itu bagus. Kau memang perlu melakukannya. Bagaimana dengan Jossie?”
“Tak ada apapun, dia juga tidak menelponku. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaannya.”
“Oh begitu. Haruskah aku menelponnya untuk menemanimu jalan-jalan?”
“Tidak.”
“Baiklah.” Pembicaraan terhenti. Tak ada lagi pertanyaan yang ayah lontarkan. Mungkin aku sudah menjawab semua pertanyaannya atau dia sudah tidak punya pertanyaan lagi. Hanya kicau burung yang meramaikan suasana pagi yang hening.
“Ayah, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari kepalaku.” Ayah kembali menyeruput kopi dalam cangkirku. Ia langsung tertawa begitu melihat fotoku dan Jossie saat pesta pembukaan cabang baru terpampang dengan ukuran besar.
“Kau tampil sangat cantik malam itu, sayang. Siapa yang tak akan tergila-gila padamu,” kata ayah sambil terkekeh. Sepertinya itu bukan berita yang bagus. Aku masih diam hingga tanganku tertarik untuk menyambar cangkir kopi.
***
“Pengkhianat!” Teriak segerombolan gadis di belakangku. Seperti yang kupikirkan pagi ini, keluar untuk jalan-jalan menjadi keputusan yang merepotkan. Aku tengah duduk di taman kota sampai petang dan malam harinya mereka mengepungku. Ini menyebalkan.
Salah seorang melemparkan sesuatu dan tepat mengenai kepalaku. Benda itu segera mendarat di hadapanku. Leil Grazdien: sang Cinderella masa kini, begitulah kalimat judul di sampul sebuah majalah yang ternyata mereka lemparkan. Fotoku dalam gaun merah yang tengah menggandeng lengan Jossie menjadi sampul utama sebuah majalah bisnis. Harusnya aku menghindari menarik perhatian seluruh gadis di Viga. Mereka mengejarku seperti tahanan yang melarikan diri. Aku masih terus berlari hingga melewati jalanan kecil yang hanya diterangi redup lampu jalanan. Mereka terus mengejar dengan tambahan serapah. Aku tak menyangka mereka akan dengan kejam melakukan hal mengerikan ini. Apa salahku jika Jossie memilihku? Apa salahnya kalau aku pergi bersama teman SMA-ku ke pembukaan kantor cabangnya? Apa salahku?
“Arrgh,” Tiba-tiba tubuhku membentur seorang pria. Langkahku terhenti dan kami berdua berbagi lingkaran temaram dari lampu penerang jalan. Kutemukan pria bertubuh menjulang dengan bola mata turquoise yang indah ada di hadapanku. Ia mengenakan jaket hitam polos dengan syal navy yang melilit lehernya.
“Maaf,” kataku. Sedangkan pria itu menjauh tanpa kata. Ia pergi dengan tergesa sementara aku masih mengekorinya.
“Tunggu sebentar. Tolong bantu aku, dimana jalan keluar menuju jalan raya?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Pergilah,” katanya ketus.
“Hey, aku meminta secara baik-baik padamu. Tidakkah kau punya jawaban yang lebih sopan. Saat ini ada seorang gadis yang tengah meminta bantuanmu dan kau mengabaikannya begitu saja. Pria macam apa kau ini,” omelku.
“Pergilah, jangan mengikutiku.”
“Kau memang menyebalkan,” kata-kataku terhenti. Gemuruh dari suara gerombolan yang mengejarku semakin mendekat. Bisa kudengar serapahan mereka yang mengataiku perempuan murahan yang hanya mengincar harta. Bahkan lemparan telur busuk sudah mulai bisa menjangkauku. Lemparan yang paling dekat hanya sejengkal dari posisi aku berdiri.
“Tolong aku,” pintaku sambil menatap mata indahnya. Ia segera memalingkan wajah. Pria ini memang tidak bisa diharapkan. Tiba-tiba seseorang menarik lenganku dan membawaku berlari. Gerakannya juga menyelamatkanku dari lemparan telur yang terlambat sepersekian detik saja.
“Maaf atas kekacauan ini,” kata Jossie sambil membawaku berlari. Senyumku mengembang karena Jossie datang tepat waktu, mataku bahkan berkaca-kaca karena aksi heroiknya. Tapi entah mengapa, pandanganku masih tertuju pada pria itu. Dia masih berdiri di bawah temaram lampu dengan tatap redupnya yang membalas tatapanku. Entah mengapa, aku tak bisa lepas dari bola mata turquoise itu. Entah mengapa, dia membuatku melupakan apa yang tengah kulakukan. Aku merasa tidak asing dengan sikap ketusnya. Apa kami pernah bertemu sebelumnya?
Jossie mengantarku pulang setelah sebelumnya kami makan malam bersama di salah satu café miliknya. Aku masih diam dan kupikir Jossie mulai tak nyaman dengan diamku. Pikiranku terus berputar-putar dan semakin lama semakin besar saja tanda tanya dalam kepala. Jossie menggenggam jemariku dan aku terlonjak. Aku kembali ke realita, mobil Jossie sudah berada di jalanan depan rumah.
“Maaf atas kekacauan hari ini,” kata Jossie.
“Kau mengatakannya lagi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Mereka mungkin benar, aku tak seharusnya menghadiri pesta itu. Tapi karena itu hukumanku jadi apa boleh buat,” kataku enteng.
“Tapi kau terus terganggu dengan kejadian itu bukan?” Harus kujawab apa? Bahwa sebenarnya ada hal lain yang lebih mengganggu pikiranku. Bukan tentang Leil sang Cinderella atau Jossie sang pangeran tapi tentang pria ketus itu. Aku merasa harus tahu tentang sesuatu tapi aku tak menemukannya di kepalaku.
“Terima kasih sudah mengantarku pulang dan untuk makan malamnya juga,” kataku sembari keluar dari mobil Jossie. Sebelum aku benar-benar pergi, Jossie menarik lenganku dan membuatku tak beranjak.
“Jika pesta itu bukan sebuah hukuman, apa kau tak akan pernah mau menemaniku? Apa aku harus menunggumu berbuat salah dan menghukummu dengan menjadi pendamping hidupku? Jika itu sebuah hukuman, apa kau akan menerimanya?”
“Kau kelelahan dan candaanmu itu terdengar aneh. Istirahatlah yang cukup, Josh.”
“Mungkin kau benar. Semua ini terjadi karena ketidakpastian, akan kuberi hadiah yang cukup meyakinkan hingga kau tak akan berpikir bahwa aku tengah bercanda. Selamat malam, Leil.”
Jossie berlalu, sementara aku masih memikirkan kalimatnya dan juga si mata turquoise. Mengapa terlalu banyak hal yang harus kupikirkan dalam kepalaku. Malam telah melewati pertengahannya dan begitu masuk kamar, aku langsung melemparkan diri ke atas Kasur untuk tidur. Selamat malam semuanya.

(Bersambung)

Minggu, 07 Februari 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 22


Warning: Fiction Fantasy Detected Inside
Wah sudah melewati keeping dua puluh dan semua sudah hamper terbuka. Endingnya juga mungkin sudah dekat (oops, spoiler alert). Silahkan berspekulasi, tapi ending sudah ada di tangan author, hehehe. Happy reading…

LEIL
Dering telepon langsung menggugah tidurku, segera kusambar benda berisik itu. Suara June nyaring berteriak di ujungnya, aku hanya menguap menanggapi dia mengoceh.
“Ada apa June? Marah di pagi hari tidak baik untuk kesehatanmu. Bicaralah pelan-pelan.”
“Kemana saja kau kemarin? Pesta ulang tahun Jossie terasa hambar karena kau tidak datang. Kau mengecewakanku, Jossie, keluarganya dan ayahmu.”
Pesta ulang tahun Jossie? Astaga, apakah aku tidur seharian setelah hujan turun dan baru bangun pagi ini? Mengapa aku bisa sedemikian bodoh hingga melupakan undangan pesta itu? Padahal Jossie sudah mengundangku sebagai tamu spesialnya. Kulihat gaun yang dikirim Jossie masih tergantung di pintu lemari pakaian. Aku beringsut dari tempat tidur untuk membuka tirai jendela. Masih kudengarkan ocehan June di ujung telepon.
“Kau harus menemuinya hari ini.”
Kusisir rambut panjangku yang kusut tak beraturan dengan jemari sementara mata memandangi bayangan dari cermin. Sepertinya aku mengenakan kemeja yang bukan milikku. Kuteliti lagi kemeja yang kukenakan dan aku sama sekali tak menyadari bahwa aku memiliki kemeja ini.
“Leil, kau masih mendengarkanku?”
Tirai tersingkap dan pemandangan bukit langsung memenuhi ruang mata. Pepohonan yang terlihat basah dan masih mengikat embun di permukaan daunnya. Embun yang perlahan menggulung jatuh sebagai butiran bening. Aku masih ragu, apakah aku tidur semalaman dan melewatkan hujan lebat itu? Tak terpikirkan apapun yang kulakukan saat hujan turun.
“Ya. Ada hal lain lagi yang ingin kau katakan?”
“Sedang apa kau sekarang? Toko akan buka tiga puluh menit lagi. Cepatlah datang atau gajimu bulan ini akan kupotong!”
Langsung kulempar teleponku ke kasur dan bergegas ke kamar mandi. Mengapa aku bisa sesantai ini menikmati pemandangan pagi hari dan bertanya-tanya soal hujan semalam? Padahal harusnya aku bergegas bekerja. Aku bersiap ala kadarnya, kutemukan ayah dan aroma kopi dari cangkirnya. Tanpa sempat menyapa, langsung kusambar kopi itu dan selapis roti di meja makan.
“Aku berangkat dulu, Yah,” kataku sambil berlari keluar rumah.
“Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang! Oh ya, kau juga harus menemui Jossie dan bicara tentang pestanya,” kata ayah. Aku terus memikirkannya, tentang omelan June dan kalimat ayah. Sebuah bus langsung mengangkutku menuju toko June. Aku masih melahap roti isi yang sempat kusambar. Mengapa aku merasa melupakan sesuatu yang lain? Padahal sudah jelas yang kulupakan adalah jadwal kerjaku sendiri. Dasar ceroboh, Leil.
***
Aku masih membungkus beberapa pesanan buket pernikahan. Tapi pekerjaanku benar-benar tidak fokus pada apa yang tengah kukerjakan. Pikiranku melayang masih ke malam tadi. Apa aku benar-benar tidak melakukan apa-apa? Tiba-tiba pandanganku beralih ke satu titik, ke dekat kasir dan aku menemukan Jossie berdiri di sana dengan senyum manisnya. Aku langsung menghampirinya, mungkin aku akan mengucapkan selamat ulang tahun dan meminta maaf karena aku tidak hadir dalam pestanya.
“Hai, Josh. Kau mau mawar hari ini? Akan kubuat yang istimewa untukmu sebagai hadiah dariku. Maaf karena kemarin malam aku tidak bisa hadir di pestamu,” kataku. Tapi Jossie masih terus diam dan memandangiku. Apa kata-kataku itu tak mampu membuatku termaafkan?
“Selalu mawar yang pertama kau tanyakan. Aku punya hukuman yang sesuai untukmu,” kata Jossie dengan senyum manisnya. Astaga, aku baru saja memasuki gerbang bencana.
“Kuharap tidak terlalu buruk.”
“Aku meragukannya. Temani aku menghadiri pesta pembukaan kantor cabang baru di Tersa.”
“Pesta pembukaaan kantor baru?” ulangku.
“Tak ada alasan untuk menolak.”
“Sudahlah. Terima saja hukuman itu, Leil,” sahut June yang tiba-tiba melintas. Jossie melirik sesekali ke arahku, seolah dia memberiku waktu untuk berpikir. Bagaimana aku harus menjawabnya? Omongan June ada benarnya. Hukuman yang Jossie berikan cukup mudah dan toh itu tidak menyulitkanku.
“Aku hanya harus menghadiri sebuah pesta, bukan?”
“Tentu saja. Aku akan menyiapkan segala keperluanmu dan kita akan berangkat bersama lusa. Bagaimana?” Aku hanya mengagguk.
June segera merapat setelah Jossie pergi. Dia menyikutku dengan seringai menyerammkan, seolah dia baru saja mendapat gossip baru. Aku mengabaikannya yang masih terus mengekori langkahku. Apa sih yang dia mau?
“June,” kataku risih.
“Ya,” jawabnya penuh kemenangan. Senyum liciknya mengembang sempurna. Astaga apa yang harus kulakukan untuk membungkam mulut bosku yang licik ini.
“Apa yang harus kulakukan untuk menyumpal mulutmu?” June langsung mendekapku erat. Ia langsung berterima kasih untuk beberapa alasan yang menurutku tidak masuk akal. Intinya dia ingin memanfaatkanku untuk melakukan pekerjaan ekstra tanpa dia harus membayarnya. Ya, Leil yang payah. Memberikan jawaban yang berkaitan dengan Jossie di hadapan June adalah bencana besar. Harusnya aku lebih mempertimbangkannya.
“Ambilkan ini,” kata June sambil menyodorkan secarik nota dari toko pupuk dekat café Terry. Aku langsung mengulurkan tanganku, meminta ongkos untuk pembayarannya. Tapi yang kudapat hanya sebatas pelunasan nota. Tanganku masih belum beranjak dari hadapannya.
“Aku sudah melunasi setengahnya saat pemesanan. Jadi kau hanya perlu membayar sisanya. Singkirkan tanganmu. Aku tak akan memberi lebih dari itu,” katanya ketus.
“Hey kau tidak berpikir aku pergi jalan kaki, ‘kan? Setidaknya beri aku uang untuk naik bus atau taksi. Ayolah June,” rengekku. June mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan sayangnya itu bukan uang tambahan. Ia meletakkan kunci mobilnya di tanganku.
“Kau bisa mengemudi dan mobilku bisa kau pakai,” jawab June dengan seringai penuh kemenangan. Baiklah, memang sulit memeras bos yang satu ini. Aku pasrah saja.
Dalam perjalanan, aku terus merutuki apa yang June lakukan padaku. Untung saja jalanan tak begitu ramai sehingga perjalananku lancar-lancar saja. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika jalanan macet ikut membuatku kesal. Terlalu mengerikan jika aku datang dan mengamuk di toko pupuk. Sesaat kemudian, aku sudah berada di halaman parkir toko pupuk dan… sial. Antrian panjang menyambutku yang baru turun dari mobil. Apa ini semacam pembagian pupuk gratis atau apalah yang membuat banyak orang rela mengular? Astaga. Aku berjalan ke depan, menyusuri banyak orang yang tengah berbaris hingga aku menemukan loket dengan seorang gadis pirang sebagai kasirnya. Beberapa pasang mata mengintai gerakanku, otomatis mereka segera merapatkan barisan.
“Halo, aku ingin mengambil pesanan seminggu yang lalu,” kataku pada gadis itu.
“Hey kau bisa menunggu dalam barisan,” celetuk seseorang dengan nada kesal.
“Ya, antri saja dulu. Apa dia tidak lihat antriannya masih panjang? Dasar anak muda jaman sekarang, selalu tidak mau kalah,” omel seorang nenek yang diikuti persetujuan mereka semua.
“Tapi aku sudah memesannya,” kataku ngotot.
“Kau pikir kami belum memesannya!” seru yang lainnya lagi mencoba menimpali. Baiklah, sepertinya aku jadi yang paling aneh karena mengambil pupuk dan pergi ke toko ini baru pertama kali aku lakukan selama bekerja bersama June. Cukup lama untuk menunggu hingga belasan orang di depanku akhirnya memudar dan kini giliranku.
“Aku mengambil pesanan dari La Beau Florist,” kataku sambil menyerahkan nota pemesanan, perempuan itu langsung mengambilnya.
“Wah, orang baru. Biasanya June yang mengambil sendiri,” sahutnya.
“Ya, hari ini dia sedang ingin menindas satu-satunya pegawai yang dia miliki.”
“Oh, jadi kau Leil Grazdien itu?” aku hanya mengangguk. Antara kagum dan terkejut, bagaimana dia tahu namaku tapi tidak tahu kalau akulah orangnya? Haruskah kutanyakan itu? Dia langsung mengulurkan tangannya dan mengajakku berjabat tangan.
“Namaku Lussia, aku beberapa kali bertanya tentang Jossie pada June. Dia bilang pria itu sering mampir ke tokonya dan menggoda pegawainya. Ternyata itu kau, sayang,” ungkapnya. Astaga June, wabah yang kau sebarkan sepertinya sudah mencemari udara Viga hingga sesaat aku merasa dadaku sesak. Aku hanya tersenyum getir menanggapinya.
“Apa aku sudah bisa mengambil pesananku?” tanyaku. Kupikir aku harus menanyakannya sebelum dia melupakan apa tujuan utamaku datang ke tokonya. Dia keluar dari meja kasir dan merangkul bahuku dengan akrab.
“Tenang saja, aku akan menyuruh Boby mengangkutnya ke mobilmu.” Lussia langsung berteriak pada seorang pria gendut untuk mengangkat pesananku. Sementara kami terdampar di sofa panjang di ruang tengah toko. Ia terus menanyakan tentangku, sekolahku, rumahku, ayahku, gaya pakaianku, jenis musik yang kudengarkan, majalah yang kubaca dan segudang pertanyaan tentang kesukaan Jossie. Sungguh gadis yang satu ini begitu bersemangat tentang apapun menyangkut Jossie meskipun aku hanya menjawab seperlunya saja.
“Hey Lu, sampai kapan kalian akan bergosip. Antriannya semakin panjang,” seru Boby. Lussia langsung berdiri dan kami pun akhirnya menyudahi percakapan aneh ini. Kuserahkan setengah uang dari tagihan tapi Lussia segera menolaknya dan berbisik padaku.
“Ini rahasia kita, kuberi kau setengah harga saja. Jadi simpanlah uang itu,” bisiknya.
“Sungguh?” wow, begitu dahsyatkah obrolan kami? Lussia mengangguk dan segera kembali ke meja kasir. Aku sudah bersiap di belakang kemudi, tiba-tiba gadis mungil itu muncul di jendela mobilku.
“Astaga,” kataku terkejut.
“Aku punya banyak waktu untuk mendengar ceritamu.”
Thanks, Lu.” Aku segera pergi dari tokonya dan yang kudengar hanya teriakannya yang memintaku kembali lain waktu dan iming-iming diskon. Ada apa dengan gadis itu? Entahlah.
Saat melewati kedai es krim, sepertinya ada hal jahat yang merasuki kepala. June tidak tahu tentang diskon yang kudapatkan bukan? Jadi apa salahnya jika aku memanfaatkannya untuk membeli es krim? Kupikir itu cukup layak untuk keberuntunganku. Aku langsung masuk dan sapaan pria seumuran ayah dengan brewoknya langsung menyambutku. Namanya Benji, dia pemilik kedai es krim ini. Ia juga teman baik ayah dan jadi temanku juga karena kami sering makan es krim di sini bahkan sejak aku kecil.
“Nona Grazdien kecil, apa pesananmu tidak berubah?” Aku menggeleng.
“Aku mau es krim moca dengan tambahan hazelnut dan coklat padat di dasar cone,” kataku mantap. Aku langsung duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jalanan. Hari mulai sore dan trotoar mulai ramai dengan pejalan kaki. Benji datang membawa pesananku.
“Ini dia,” katanya.
“Terima kasih, Ben.” Aku langsung menyendok es krim di mejaku. Benji duduk di sampingku dan kami sama-sama memandangi lalu lalang trotoar.
“Kau datang sendirian hari ini?” aku menatapnya dan tak mengerti dengan perkataannya.
“Ya, bukankah biasanya kau datang dengan Jossie dan temanmu yang satunya? Terakhir kali kau kesini, kudengar kalian bertiga bertengkar. Tapi sekarang sudah baik-baik saja bukan?”
“Tentu. Bahkan Jossie sangat baik padaku,” jawabku singkat. Tapi sebenarnya aku tak mengerti dengan kalimat Benji. Mengapa dia katakan kami bertiga? Jika ada aku dan Jossie lalu siapa teman lain yang bersamaku dan kami bertengkar?
***
Begitu sampai di toko, kulemparkan kunci mobil June ke meja kasir. Seperti biasa, dia tengah berkutat dengan tombol kalkulator bahkan sampai tak memperhatikan keberadaanku. Jam kerja nyaris berakhir jadi kumasukkan beberapa ember bunga yang ada di luar dan mulai menutup tirai. Kami sudah tutup untuk hari ini. Kuangkat sekeranjang krisan yang baru saja dipanen dan langkahku terhenti. Krisan? Pilihan yang bagus bukan? Tapi bukan itu yang menghentikanku, pandanganku melayang ke arah bukit dan terasa ada sesuatu yang mengganjal.
“Leil,” panggil June. Aku segera menyahut dan menghampirinya.
“Kembalikan uang yang kuberikan padamu,” katanya tanpa basa-basi. Heh? Dia tahu aku tak menggunakan uangnya untuk membayar pupuk?
“Tidak ada yang tersisa, kau memberiku uang pas untuk pembayarannya ‘kan? Jangan memerasku dan meminta uang kembalian seperti itu,” kilahku.
“Kau tidak berniat mengambil aset perusahaan bukan? Aku tahu Lussia memberimu diskon karena cerita tentang Jossie. Kembalikan,” tuntutnya. Kukembalikan uang yang tersisa, hanya berkurang beberapa untuk membeli es krim.
“Jadi kau tahu?”
“Untuk apa aku mengirimmu jika aku tidak mendapatkan apa-apa. Dia selalu bertanya-tanya mengapa Jossie selalu datang ke tokoku dan dia tentunya penasaran dengan gadisnya Jossie. Dia pasti sangat bahagia sampai-sampai dia memberimu diskon sebanyak itu,” katanya yang kemudian diikuti tawa ala nenek sihir dalam film tuan puteri. Sialan dia. Memanfaatkanku untuk mendapatkan keuntungan, betapa berbahayanya wanita ini. Selesai berkemas aku langsung keluar dari toko. June menawariku untuk pulang bersama tapi aku menolaknya. Aku ingin pulang sendiri.
Kurapatkan jaket karena udara dingin malam hari mulai menusuk. Bus yang biasa membawaku pulang belum juga muncul. Aku masih setia menunggu di halte dan memandangi sekitar. Tak seriuh biasanya, trotoar sepi dari pejalan kaki. Sesekali gerombolan remaja melintas sambil bergosip hangat sepanjang jalan. Lampu jalan menyala dengan temaram tapi cukup terang untuk ciptakan lingkaran cahaya di aspal. Kubaca beberapa iklan yang menempel di papan promosi halte. Salah satu yang menarik perhatianku adalah pamphlet hijau yang dihiasi desain bebungaan di pinggirannya. Tapi saat kubaca, ternyata acaranya sudah terlewat berminggu-minggu. Sepertinya aku familiar dengan acara itu. Pelatihan berkebun?
Bus yang kutunggu telah datang, baiklah Leil, ini waktunya untuk pulang dan istirahatkan dirimu dari segala yang melelahkan. Fiuh, betapa leganya aku.


(Bersambung…)