Laman

Pages - Menu

Jumat, 29 Januari 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 21


Yo semua, semoga ceritanya ga semakin ngelantur. Tapi sungguh sinetron ini (*astaga salah ucap lagi, cerbung -_-) sudah mulai merangkak ke klimaksnya. Sebelum keajaiban cerita ini di kepala saya ngilang, nikmatin aja dulu sedikit drama dari cecintaan nya (baca: cinta-cintaan). Sebenarnya sedikit melenceng dari genre dengan penambahan cerita cinta. Maka dari itu mohon masukannya. Happy reading…


LEIL
Pierre,” seruku.

Dia terbaring di atas sofa dekat perapian yang masih menyala kecil. Aku segera menghampirinya. Dadanya terbalut perban dengan sempurna tapi darah merembes dan membasahi permukaannya. Wajahnya pucat tapi ia terlelap dengan nyenyak. Entah mengapa aku merasa pernah berada dalam keadaan ini juga. Saat aku menemukan Pierre terlelap dengan sebuah luka. Tapi lukanya kali ini terlihat jauh lebih menyakitkan daripada yang dulu. Apa yang terjadi padanya? Kurapatkan selimutnya dan ia justru terbangun.

“Leil?” gumamnya terkejut. Aku terhenyak dan untuk sejenak, aku hanyut dalam bola matanya. Aku bersimpuh di sisi sofa dan menunggu kalimat selanjutnya yang kuyakin akan menjadi sebuah pertanyaan.

“Mengapa kau ada di sini?”

“Sudah kuduga kau akan bertanya. Aku hanya berteduh dan menemukanmu, sebuah kebetulan.  Aku tak menemukanmu dimanapun selama beberapa hari ini. Aku khawatir.”

“Pesanku,” bisiknya lirih.

“Ya, aku sudah menerima pesanmu. Seorang vampir wanita menemuiku untuk mengatakannya. Astaga! Apa vampir itu yang melakukan ini padamu?” Pierre segera menggeleng dan kulihat jelas wajahnya tengah menahan sakit.

“Kau sudah minum obat?”

“Entahlah, aku hanya tidur dan menemukanmu,” katanya dengan sunggingan senyum yang menawan meski wajahnya sangat pucat. Hujan di luar bertambah lebat dan menghempaskan beberapa tirai untuk melambai liar. Pierre berusaha untuk duduk, saat itulah darah menetes dari balutan perbannya.

“Aku akan mengganti perbanmu. Dimana kotak obatnya?” kataku kemudian, ia menunjuk ke arah perapian. Kulihat sebuah kotak putih berada di atas meja samping perapian. Aku segera bergerak ke sana untuk mengambilnya dan menambahkan kayu dalam perapian. Kurasa malam ini akan jadi malam yang dingin.

“Kau cantik malam ini, Leil.”

Astaga, wajahku pasti memerah karena kalimatnya. Gaun yang kukenakan malam ini memang buatan perancang terkenal dan menjadi gaun terindah yang kumiliki. Tapi, haruskah aku katakan pada Pierre bahwa aku dan Jossie akan bertunangan? Kupandangi wajah pucat Pierre dan kuputuskan untuk menundanya, lagipula pertunangan itu juga akan mundur karena ketiadaanku. Jossie pasti panik, aku belum ada di rumahnya ketika acara akan segera dimulai. Setidaknya pesta tetap akan berjalan untuk merayakan ulang tahun Jossie. Tapi untuk saat ini, aku harus mengurus Pierre lebih dulu.

Perlahan aku mulai melepas kancing kemeja yang Pierre kenakan. Ia masih menyernyit kesakitan karena lukanya. Kugunting perban berlumur darah dan melepasnya perlahan. Kulihat sebuah luka tikaman menyeruak di permukaan kulitnya yang putih. Luka itu menganga dan masih merah berlumur darah. Kuoleskan antiseptic di pinggiran lukanya.

“Lukamu parah. Sepertinya kau perlu ke dokter untuk menjahit lukamu,” kataku kemudian. Tapi aku hanya melihat sunggingan senyum di wajahnya.

“Apa?” tanyaku sewot menanggapi sunggingan senyumnya.

“Aku senang melihatmu di sini.”

“Ya tapi aku kurang beruntung karena menemukanmu dengan luka ini. Padahal aku mengharapkan sesuatu yang lebih normal untuk sebuah pertemuan.” Kulihat Pierre hanya menyeringai masam.

“Siapa yang melakukannya?” kejarku.

“Kau tidak akan percaya jika aku mengatakannya.”

“Aku masih menunggu jawabanmu.”

“Joshua Franklin.” Aku terkejut mendengar jawabannya. Tanganku diam dan bergetar. Jossie tak mungkin melakukan hal seperti ini.

“Sudah kubilang kau tidak akan percaya.” Tapi mengapa Jossie melakukannya? “Kau pasti bercanda. Mungkin kau hanya mengigau karena lukamu sangat parah, pasti itu yang memengaruhi pemikiranmu.”

“Sudahlah. Bukan hal yang perlu dibicarakan lagi.”

Aku masih diam sambil memandangi luka Pierre. Tanganku kaku seolah terikat perban. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Gelegar petir sesekali mengejutkanku. Apa dia sungguh bukan manusia? Dia pernah mengatakan bahwa ia menghapus ingatan orang-orang mengenai dia. Bahkan ia juga pernah berusaha menghapus ingatanku. Aku tak begitu mencurigainya karena mendiang kakekku juga bisa melakukannya dengan merapal beberapa mantera. Kemampuan itu tidak secara khusus diberikan pada suatu golongan, bahkan manusia biasa sanggup melakukannya. Asal dia menemukan gua peri dan belajar tentang mantera, seperti yang dilakukan kakek.

Tapi aku masih penasaran pada Pierre. Seharusnya aku menemukan bekas luka robekan di lengannya. Luka yang tak bisa kulihat meski kini ia bertelanjang dada. Obat apa yang mampu menyembuhkan hingga tidak tersisa bekas luka sama sekali? Kalau pun ada, seharusnya memakan waktu yang cukup lama. Juga saat ini, manusia biasa tak akan bisa bergerak dengan luka menganga di dadanya. Bahkan cukup beruntung jika orang itu bisa tetap tersadar. Lalu Pierre?

“Leil, ada apa?” tanyanya lemah. Dia segera menyadari diamku dalam renungan.

“Mengapa kau meninggalkanku di hutan waktu itu? Lalu kau bilang, kau bukan manusia. Tapi hari ini aku menemukanmu di sini, terbaring dengan wajah pucat dan luka mengerikan. Jika kau memang bukan manusia, bukankah kau bisa menghindar dari serangan Jossie? Bahkan mungkin kau bisa membunuh Jossie. Kau berbohong padaku,” kataku kemudian.

“Kebohongan apa yang kau maksud Leil?”

“Tentang semuanya.”

“Dia tidak berbohong nona kecil,” sambar suara seorang wanita. Aku menemukan vampir wanita yang menemuiku di bukit. Dia muncul begitu saja dari kegelapan dan bergabung bersama kami.

“Kau lelah bersembunyi, Sofia?” sapa Pierre.

“Kau mengenalnya?”

“Jauh sebelum dia mengenalmu,” sambar wanita itu.

“Sebenarnya dia bisa saja menyembuhkan luka ini. Tapi dia sengaja menahannya agar memperbesar kemungkinan untuk bisa menjadi normal. Akan kukatakan sesuatu yang kutahu, pria ini memiliki darah campuran. Ia bisa menjadi apapun yang dia inginkan, tapi apa kau tahu yang dipilihnya? Ia ingin hidup normal sebagai manusia meskipun sudah kubilang berkali-kali bahwa manusia adalah pilihan yang paling lemah.”

“Mengapa dia memilihnya?” tanyaku dengan wajah bodoh.

“Mengapa? Aku juga tidak tahu. Padahal bisa saja saat ini dia gunakan kemampuan penyembuhannya, tapi ia menolak. Karena ia tak ingin menjadi makhluk itu. Ia tak ingin membuatmu takut, nona kecil,” ujarnya.

“Apa maksudmu dengan makhluk itu?”

“Makhluk yang kau takuti.”

“Sofia, hentikan bicaramu,” sahut Pierre.

“Pierre, kau seharusnya tak menahan sakit itu terlalu lama. Bukankah kau sudah sampai pada batasanmu? Bukankah kau seharusnya melepas kemampuan spesialmu?” Vampir wanita itu duduk di atas anak tangga samping perapian. Aku masih beku sambil memandangi reaksi Pierre. Dia juga masih diam di atas sofa dengan lukanya.

“Aku tak akan melepaskannya.”

“Lepaskan,” kata si vampir wanita. Tak lama kemudian kulihat luka Pierre perlahan mulai menutup dengan sempurna. Hanya perlu beberapa menit untuknya memulihkan diri dan luka itu menghilang. Bahkan tanpa bekas sekalipun. Aku semakin hanyut dalam diamku. Jadi apa maksud dari semua ini?

“Dia tak pernah berbohong padamu, nona kecil,” ulang si vampir wanita.

Bukan vampir yang melakukan hal itu? Lalu? Tanpa sadar tanganku bergetar ketakutan. Jadi Pierre adalah werewolf? Apa yang dia lakukan dengan vampir wanita ini? Bukankah vampir dan werewolf tak pernah menjadi sekutu? Bukankah Viga bukan kota para werewolf. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Sudah kubilang bahwa kau akan ketakutan,” kata Pierre. Ia menunjukkan sebuah perubahan kecilnya padaku. Ujung jemarinya perlahan membentuk kuku panjang yang menyerupai cakar seekor serigala, lengkap dengan bulu kecoklatan yang menyembul.

“Kau?”

“Kau ketakutan, nona kecil?”
***
Bonus visualisasi Pierre-Leil, untuk wajah harap visualisasikan sendiri. Hehehe

PIERRE
Leil lari meninggalkan kami. Aku keterlaluan, tapi bukan kulakukan karena keinginanku sendiri. Sofia yang melakukannya, entah apa yang dia lakukan padaku hingga tubuh ini menurut begitu saja. Langkahku langsung terpancing untuk mengejar Leil, Sofia segera bergelayut manja dengan mengalungkan dua lengannya.

“Apa yang akan kau lakukan?” bisiknya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” balasku.

Langsung kulepas lilitannya dan kuraih kemejaku lalu mengejar Leil. Kuharap dia belum pergi jauh. Di luar gelap sudah meraja, terlalu gelap untuk mata seorang manusia yang menatap tanpa cahaya. Hujan juga masih mengguyur, semakin lebat bercampur dengan hawa dingin perbukitan di malam hari. Cahaya dari kilatan petir sesekali menerangi. Angin kencang menghempas ilalang yang memenuhi halaman. Kulihat Leil tengah berlari tanpa arah, bisa kudengar isakannya di antara tetes air hujan. Apa kenyataan yang kuberikan padamu terlalu menyakitkan? Bagaimana aku harus meminta maaf padamu?

Aku langsung melesat menuju beberapa langkah di depannya. Meski gelap, aku masih bisa melihat sekitarku termasuk Leil yang tengah menuju ke arahku. Leil juga kemungkinan bisa melihat mata turquoise-ku yang terlihat lebih terang dalam gelap. Dia menyadarinya dan berhenti bergerak ketika kilatan petir memperlihatkan keberadaanku. Leil berbalik arah dan berlari ke arah lainnya untuk menghindariku, tapi bagaimana mungkin dia mengabaikanku?

“Jangan ikuti aku! Biarkan aku pergi!” teriaknya putus asa.

Dia terus berlari hingga di satu titik ia terpeleset dan jatuh dalam rengkuhanku yang seketika menghampirinya. Keheningan menyergap. Baik aku ataupun Leil masih enggan untuk memulai pembicaraan. Dia melepaskanku dan membiarkan tubuhnya terjatuh di antara ilalang basah. Hujaman air hujan membekukan keheningan kami. Bisa kulihat air mata Leil masih mengalir meski tercampur dengan aliran air hujan.

“Bagaimana aku harus mengatakannya?” kataku memulai pembicaraan.

“Kau sudah mengatakannya. Dengan kemampuanmu itu, kau mungkin bisa melihatku. Tapi aku hanya bisa melihat bola matamu. Vampir wanita itu benar, aku ketakutan.”

“Leil?”

“Percuma aku lari karena kau akan menyusul langkahku dengan segera. Jadi aku akan diam dan berharap kau melepaskanku. Aku memohon padamu, izinkan aku pergi untuk malam ini.”

Leil bahkan meraba sekitarnya dan setelah ia menemukan kakiku, ia memeluknya di sana. Berkali-kali mengatakan bahwa ia memohon agar aku melepaskannya. Apa yang sebenarnya ada di kepala gadis ini? Aku sama sekali tak mengerti. Bahkan hatiku serasa tersayat setiap kali dia memohon dengan suara bergetar. Ia kembali melangkah dan kini perlahan. Seolah kembali pada logikanya dan berjalan sambil meraba sekitarnya untuk membantu kebutaan mata manusia pada kegelapan malam. Aku masih terpaku sambil memandangi langkah tertatihnya. Kudekati dia dan kugenggam tangannya dari belakang. Ia berusaha menolak tapi tak kuasa melepaskan diri dariku. Tangannya yang dingin bergetar dalam genggamanku.

“Jangan pergi, Leil. Kau menyakiti perasaanku, bahkan dengan sakit yang tak bisa kusembuhkan dengan kemampuan ini.” Kudengar Leil kembali terisak.

“Tanganmu hangat,” sergahnya.

Kumasukkan Leil dalam pelukku, tanpa terduga Leil juga menyambutnya. Tangannya melingkari tubuhku dan ia terisak semakin keras. Ia menangis, terus terisak dan sesekali menggumam. Meski lirih, aku masih bisa mendengarnya. Tentang ketakutannya padaku, tentang keberanian yang ia sebut bodoh karena memelukku dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Leil khawatir akan hidupnya, ada selintas kenangan yang ia tampilkan dari ketakutannya. Tentang sebuah peristiwa mengerikan yang pernah dialaminya. Tentang manusia, vampir dan werewolf. Sesuatu yang terlalu rumit hingga aku tak mampu memahaminya.

“Leil?”

“Jika aku bisa memelukmu tanpa rasa takut, aku pasti aku akan melakukannya. Tapi rasa takut itu yang terus membayangiku, betapa masa lalu benar-benar menghantuiku sampai saat ini. Seandainya kau makhluk yang sama sepertiku, mungkin aku tak akan lari. Bahkan aku akan memelukmu di depan semua orang. Ini kisah lama, bahwa manusia selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam kisah lintas golongan. Bahwa manusia tak bertahan lama dalam perjanjian dengan makhluk seperti kalian.”

“Kau bisa melakukannya sekarang,” kataku mencoba menenangkannya.

“Tidak. Tidak semudah sebelumnya. Tidak sebelum malam ini. Tidak semudah saat aku belum menyadari arti dari perkataanmu saat itu,” jawab Leil pelan.

“Kau hanya perlu menghilangkan malam ini, bukan?”

“Andai aku bisa memelukmu lebih lama. Aku kedinginan,” akunya. Leil melepaskan peluknya dan melorot dari pelukku. Aku segera merengkuhnya dan menemukan Sofia ada di belakang Leil. Dia yang melakukannya, membuat Leil tak sadarkan diri dan kini jatuh dalam pelukanku.

“Kau akan mendapatkannya. Malam ini juga seterusnya,” bisikku sambil menggendongnya.

“Apa lagi yang akan kau berikan padanya?” tanya Sofia sewot.

“Kau sudah mendengarnya, bukan? Bisakah kau membantuku? Aku tahu kau lebih baik daripada aku dalam hal itu. Kumohon,”

“Kau yakin akan melakukannya?”

“Apapun yang Leil minta. Jika dia bisa melupakan malam ini, berarti dia bisa melupakanku.”

“Pria memang bodoh,” celetuk Sofia yang hanya kubalas dengan seringai.

“Terserah apa katamu.”

Leil masih ada dalam dekapanku dan kubawa ia kembali ke dalam rumah. Tubuhnya menggigil kedinginan ketika kubaringkan di atas sofa. Kugenggam tangannya yang dingin.

“Pakaiannya basah. Aku akan mengurusnya,”celetuk Sofia.

Aku keluar dan membiarkan mereka berdua berada di dalam. Membayangkan Leil memohon dengan suara bergetar ketakutan membuatku tak henti menyesal. Hujan masih terus menetes, angin juga sesekali berhembus. Aku harus mengantar Leil pulang tanpa memori tentang malam ini. Sofia yang akan menghapusnya, kemampuannya jauh lebih baik daripada aku karena dia adalah Trueblood, makhluk dengan kasta tertinggi. Jadi bisa kupastikan bahwa Leil benar-benar melupakan tentang malam ini.


(Bersambung…)

Minggu, 17 Januari 2016

[TIPS] Ending Cerita adalah Kuasa Penulis


Kali ini saya akan review tentang sebuah cerita yang menarik. Tentang rahasia penulis membuat pembacanya selalu berdebar-debar dan menebak sendiri kelanjutannya tapi kemudian bisa jadi tebakan itu justru meleset dari dugaan pembaca. Saya tergolong tipe yang satu ini, paling suka kalau ada pembaca yang menebak-nebak jalan cerita. Semakin liar tebakan pembaca, akan semakin puas saya bercerita. Tapi yang sulit adalah memberikan ending tak terduga. Buat saya yang masih amatiran ini (baca: penulis tanpa buku), belum bisa memberi klue yang tak diketahui pembaca.
Ada beberapa film yang saya tonton menonjolkan aspek utama ending mengejutkan. Penonton/ pembaca diberi petunjuk yang tersembunyi dan kemudian hanya bilang, “Oo, yang bagian itu kan?” Itu bagian tersulitnya karena kebanyakan pembaca saya responnya adalah, “Hmm, bener kan yang tadi kupikirkan.” (-dengan tambahan gaya sok cool). Beberapa film bisa dijadikan referensi untuk belajar membuat ending yang surprising tapi pembaca sudah dituntun ke arah itu. Beruntunglah bagi yang suka nonton Detective Conan dan suka menerka siapa pelakunya, nonton Sherlock Holmes mungkin, atau satu lagi rekomendasi saya yaitu Memento. Tapi saya tidak akan bahas dari list di atas, saya mau bahas manga  dan anime Jepang favorit saya, Fairy Tail buatan Hiro Mashima.
Saya kepincut sama tokoh utamanya, si Natsu Dragneel, cowok destroyer yang super badass berambut pink dan selalu pake syal kotak-kotaknya. Dia yang senantiasa ceria dan peduli banget dengan teman-temannya (gambar paling kanan). Meskipun kata ade saya lebih keren juga si Fullbuster Gray yang katanya paling cool (gambar paling kiri). Terlepas dari siapapun yang paling keren, sebenernya yang keren adalah si Om Hiro yang membuat kami berdebat tentang siapa yang paling keren. Natsu dan Gray itu seolah tidak terpisahkan meskipun elemen sihir (jangan kaget ya, Fairy Tail memang ceritanya tentang penyihir dan serikatnya) mereka bertolak belakang (Natsu: api, Gray: es). Mereka bersahabat dari kecil dan selalu bersaing untuk jadi yang paling kuat. Mereka lebih banyak bertengkar tapi sebenarnya begitulah cara mereka memahami satu sama lain dan saling peduli. Tapi semakin panjang manga-nya semakin seru ceritanya karena banyak klue yang ditebar Om Hiro dan saya abaikan. Hingga di chapter 400-an saya shock karena tau bahwa salah satu demon yang pengen Gray kalahkan sebagai janji sekaligus hutang pada papanya adalah E.N.D dan parahnya E.N.D itu adalah Etherious Natsu Dragneel a.k.a Natsu. Saya langsung guling-guling baca chapter ini, jelas sekali Om Hiro ingin mempermainkan pembacanya dan sukses. Padahal dalam tebakan saya, mereka berdua akan berdampingan mengalahkan si E.N.D itu eh malah mereka akan berhadapan dan saling mengalahkan.
Jadi selama manga Fairy Tail masih jalan, endingnya masih bisa terus berubah kan? Pertanyaan saya, apa yang akan dibuat Gray nantinya (konflik batin nih tokoh yang satu ini). Apa dia akan bunuh Natsu, temannya sendiri? Apa dia akan mengabaikan penderitaan papanya yang mati karena demon lainnya dari Zeref? Lalu Natsu, apa setelah ia jadi E.N.D, dia akan lupa semua yang dia lakukan sebagai badass pink yang ceria? Om Hiro, please jangan buat dua karakter keren ini jadi saling bunuh. Hehehe
Setelah curhat dikit tentang kesedihan saya karena dua tokoh itu harus berhadapan sebagai musuh, berikut saya tempelkan tips menulis cerita yang endingnya surprising. Tips ini murni berdasarkan pengamatan saya sendiri dan masih terus dikembangkan karena saya juga masih belajar. Berikut tipsnya:
1.       Buat karakter yang kuat, bukan kuat kekuatannya tapi wataknya. Gambarkan secara jelas bagaimana tokoh ini menjalani hidupnya. Boleh juga tambahkan masa lalu sebagai sisi misteriusnya. Buat tujuan yang pasti dari masing-masing karakter dan buat mereka ketemu di satu titik atau lebih tepatnya tabrakin tujuan mereka.
2.       Biasanya kejutan muncul dari sifat kebalikan si tokoh. Misalnya Natsu yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu ceria sekarang dia garang (sambil main ukulele, eh malah nyanyi lagu si anak kecil itu). Jadi, flashback selalu menjadi senjata utama twist.
Atau bisa juga nih satu contoh dari PV One Ok Rock yang The Way Back, itu jelas banget teka-tekinya dan membingungkan sedikit. Awalnya ada si mba yang datang cantik, eh ternyata dia sembunyikan pisau di belakang. Si mba tusuklah si mas yang tak berdaya sampai mati. Sudah end? Ternyata belum, ada mas lagi yang sama masuk ke ruangan dan bawa pisau. Kesimpulan: jadi yang bunuh si mas itu ya si mas itu sendiri (puyeng gak sih?). Direkomendasikan untuk nonton sendiri di Youtube.
3.       Tebar klue yang tidak mencurigakan. Sebenarnya ending yang mengejutkan itu ga harus disembunyikan dari awal, bisa kok perlahan-lahan dimunculkan. Bagusnya adalah pake foreshadowing jadi kita keluarkan klue dan pembaca anggap itu biasa aja. Ini juga bagian yang susah sih.
Kalau di Fairy Tail, kluenya jelas diomongin papanya Gray sebelum mati. Saat dia wariskan kekuatan Ice Devil Slayer-nya ke Gray dia bilang kekuatan itu bisa untuk kalahkan si E.N.D yang Fire Demon. Nah loh, waktu itu saya ga ngeh dan ujung-ujungnya, Natsu kan juga Fire Dragon Slayer. Jadi itu klue dari Om Hiro. Selain itu, berkali-kali dalam chapter Fairy Tail selalu diakhiri dengan Natsu ngamuk dan bos penjahatnya kalah sama dia. Kekuatan dia yang super power ini saya pernah bertanya-tanya darimana datangnya. Tapi mengingat bahwa ayah angkat Natsu adalah si Fire Dragon King, Igneel (papa angkat Natsu itu naga saudara-saudara), saya reda tuh curiganya. Eh ternyata Natsu kekuatannya segede itu karena dia adalah demon terkuat dari Book of Zeref. Yaiyalah…
4.       Munculkan jawaban yang tak terduga dari tebakan pembaca, jadi biarkan pembaca mengalami kasus sudah jatuh tertimpa tangga.
Kalo Om Hiro jagonya nih, ada banyak ledakan jawaban yang bikin saya lebih guling-guling lagi. Natsu adalah E.N.D, demon itu udah ada dari zaman naga barengan sama si penyihir hitam Zeref, berapa tua umur Natsu? Jawabannya dia adalah anak dari 400 tahun lalu yang dikirim para naga ke masa depan. Whaat? Natsu 400 tahunan umurnya (ceritanya saya sudah jatuh nih) dan Natsu yang diceritakan ternyata telah mati ketika umurnya 3 tahun (saya shock dan sukses kejatohan tangga dari om Hiro). Sayangnya penderitaan saya belum selesai seperti kata peribahasanya. Om Hiro menimpakan genteng-genteng ke kepala saya dengan fakta bahwa Natsu adalah adenya si penyihir hitam, Zeref. Busset dah.
Finally, itu tadi lesson learned yang saya petik dari ngikutin cerita Om Hiro. Intinya, jangan sampai kamu terjebak dengan kompleks nya fakta yang kamu punya. Cukup nikmati dan kalau belum berani nulis pake plot seperti ini, ya buat saja yang cukup membuat kamu puas nulis. Untuk saat ini sih saya lagi coba garap cerita semacam ini. Yang beragam asumsi dan tebar clue kemana-mana. Contoh paling dekat adalah serial yang selalu saya publish di blog ini, 3BLOOD. Ada yang mau coba kasih asumsi tetang cerita itu? Yok dibaca.

Kamis, 14 Januari 2016

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 20


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Yoo semua, hari Kamis harinya update sinetron ini (buseet dah sinetron, maksudnya cerbung). Kali ini saya akan coba kasih satu demi satu bocoran tentang rahasia para tokoh. Tapi ga semuanya dalam satu keping yah... Jadi sabar aja sampai saat rahasia tokoh yang kalian suka terbuka. Semoga masih terus setia bacanya. Oh ya, kalo mau komen dipersilahkan loh (meskipun balasan biasanya ga langsung tapi pasti di balas kok). Ada tambahan ilustrasi tokoh dan tambahan lebih panjang dari biasanya nih buat hadiah atas penantian panjangnya, hehehe. 
Happy Reading!

PIERRE
Senja terbingkai di kaca jendela selebar pintu lemari. Gelap mulai merambah mata, segera kunyalakan lilin di tengah meja makan. Poci bermotif bunga masih mengepulkan uap hangat dari teh yang kuseduh. Bahkan aku sudah mengosongkan setengah dari cangkir teh yang kutuang. Duduk dan menikmati hari ini akhirnya berakhir. Hari keempat tanpa kulihat Leil, juga tanpa krisan di atas nisan. Kali ini aku mencoba menikmati keindahan lain dan memulai membiasakan diri dengannya.

Kupandangi krisan yang menyembulkan kuncup bunga di ujung tangkainya. Tak sabar aku melihatnya mekar sempurna. Krisan adalah yang terbaik, memang tak seharum mawar atau bunga lainnya. Tapi melihatnya mekar selalu membuat hatiku begitu tenang dan damai. Aku kembali mengisi cangkir tehku sambil memandangi tiga pot krisan yang tengah bermekaran. Tiba-tiba telingaku menangkap suara sebuah gerakan dari arah belakang. Aku hendak meninggalkan krisanku untuk memastikannya ketika kutemukan Joshua Franklin ada di hadapanku.

“Rupanya di sini kau bersembunyi.”

“Seharusnya kau mengetuk pintunya, maka akan dengan senang hati aku membukanya. Kupikir kau lebih mengerti tentang tata krama dan peraturan semacam itu, Joshua Franklin.”

“Dari awal aku tahu kalau kau adalah sumber masalah. Entah itu bagiku maupun bagi Leil, saat ini semakin terbukti jika kau pengganggu!”

“Maaf, aku tak mengerti dengan apa yang kau ucapkan? Mau minum teh? Silahkan duduk,” kataku sambil memandu Jossie untuk duduk di kursi yang ada. Aku berhasil meredam emosinya tapi kupikir hanya sejenak. Kuambil sebuah cangkir lagi dan menuang teh ke dalamnya.

“Kau seperti orang mati. Kau bahkan tinggal di rumah seperti ini,” celetuknya.

“Jadi, ada apa?”

Jossie menerjang dan menghantamkan tubuhku ke atas meja. Poci dan cangkir-cangkirku remuk menjadi kepingan. Air teh juga membasahi punggungku. Aku tak mengerti dengannya, yang aku tahu punggungku mulai terasa nyeri.

“Kau akan mengacaukan rencanaku dan taruhannya. Aku tak pernah mengalami kekalahan sepanjang hidupku. Aku tak akan membiarkanmu mengacaukan segala hal yang sudah kurencanakan. Termasuk merebut hati Leil. Dia milikku, aku bertaruh banyak untuknya karena itulah aku tak boleh kalah!” kata Jossie kalap.

Apakah pria di hadapanku benar-benar Jossie? Pria yang begitu lembut dan selalu ingin membahagiakan Leil? Benarkah itu dia? Aku tak yakin, ada sesuatu yang aneh yang membuatnya bertingkah brutal seperti ini.

“Kau bukan Jossie.”

“Memang. Aku Joshua Franklin. Pemilik ratusan bisnis properti dan pemuda terkaya di Viga. Aku menjadi konglomerat termuda yang pernah ada. Aku bukan Jossie, pemuda yang tunduk pada seorang wanita dan mengikuti apa yang diinginkannya. Aku lelah berpura-pura dan keberadaanmu membuat penderitaanku bertambah panjang,” ocehnya.

“Jadi inilah dirimu yang sesungguhnya? Jossie lemah lembut itu hanya kamuflase, benar-benar munafik. Aku tak menyangka kau seperti ini.”

“Wanita mudah luluh oleh pria berhati lembut. Pada akhirnya tak ada yang bisa menyangka siapa Joshua Franklin sebenarnya. Kemunafikan sudah menjadi jalan terbaik jika kau ingin bertahan di dunia ini. Semua orang sudah tahu itu.”

Dia tertawa terbahak sambil terus menekanku di atas meja. Aku tak menyadari ketika dia sudah merengkuh pisau dapur dan menghujamkannya menembus dadaku. Darah langsung membanjiri tubuhku. Jossie melemparkanku ke arah jendela dan membuat pot-pot krisan jatuh berantakan. Seketika tubuhku seolah terisi oleh kemarahan, tangan kananku sudah mengepal keras dan siap kuhantamkan pada pria itu. Tapi hal itu kuurungkan, terlintas wajah Leil menghentikanku.

“Begitulah kau yang seharusnya. Mati perlahan di rumah kosong dan tak akan ada yang menyadari kematianmu. Betapa menyedihkannya.” Jossie melemparkan setangkai mawar putih ke hadapanku.

“Terimalah. Setidaknya aku orang pertama yang berduka untukmu. Harumnya mawar akan mengiringi kematianmu dan mengusir bau darah yang menjijikan. Beristirahatlah dengan tenang Pierre sahabatku,” kelakarnya.

Ia melangkah semakin menjauh dan tak bisa kulihat lagi bayangannya. Hanya suara pintu tertutup yang masih samar bisa kudengar. Dia pergi dan kupikir kalimatnya mungkin benar. Tapi aku tak mau mati di sini, aku tak mau kehilangan kehidupanku sebagai manusia. Aku ingin tetap hidup dan bertemu gadis itu untuk melihatnya tersenyum. Pandanganku semakin gelap, apa yang bisa kumohonkan?

“Apa kabarmu, bocah bodoh?” sapa Sofia saat aku membuka mata. Dia tengah jongkok di hadapanku, kedatangannya bahkan tidak aku rasakan.

“Sofia,” gumamku.

”Aku mencium bau darah yang lebih lezat daripada darah lainnya. Kupikir hanya satu yang memilikinya, hanya darah manusiamu.”

Sofia membantu tubuhku yang kepayahan untuk berdiri, kedua tangannya berada di bahuku. Matanya menatap mataku dan bergeser pada robekan kulit yang masih mengalirkan darah. Ia terlihat sangat bergairah memelototi lubang itu. Seolah ia ingin menelan bulat-bulat jantungku. Tapi aku percaya padanya, ia tak akan melakukan apapun selain membantuku menyembuhkannya lagi.

“Seperti biasa, selalu kau yang muncul pertama saat aku dalam kesulitan.”

“Aku hanya tak ingin vampir lain mencicipimu dan itu akan mengurangi jatahku,” katanya ketus.

Di balik ocehan menyebalkannya, aku tahu kalau dia yang paling khawatir akan keadaanku. Setiap kali aku berada di jalan buntu, dia akan meraihku dan membukakan jalan baru untukku. Dia seperti seorang ibu bagiku. Sofia membaringkanku di atas sofa dan mulai membersihkan darah yang mengucur.

“Mengapa sampai seperti ini? Tak bisakah kau berhenti melukai dirimu sendiri dan tetap bersembunyi?”

“Joshua Franklin.”

“Dia yang melakukannya?” aku hanya mengangguk dan Sofia membalasnya dengan tawa. Ia menertawakan kelemahanku.

“Aku harus menjauhkan Leil darinya.”

“Hey, kau cemburu padanya? Kau bilang akan melepas Leil pada pria flamboyan itu dan meninggalkannya. Sepertinya baru kemarin kau mengatakan itu, lalu mengapa kini kau berubah pikiran?”

“Karena baru sekarang aku tahu bahwa Jossie bukan pria yang akan membuat Leil bahagia. Dia hanya memanfaatkan Leil dan taruhannya.”

“Taruhan apa maksudmu?”

“Entahlah, aku juga tak tahu pasti. Tapi aku takut itu mengenai Leil.”

Sofia sudah selesai membalut lukaku, kini ia tengah sibuk menjilati sisa darah yang masih menempel di jemarinya. Itu kebiasaannya, memang sedikit mengganggu tapi aku sudah terbiasa.

“Aku harus memperingatkan Leil,” kataku. Kupaksa tubuhku bergerak untuk bangkit. Aku harus menemui Leil dan memperingatkannya tentang Joshua Franklin. Luka di dadaku kembali mengirimkan sinyal nyeri dan membuatku kaku. Hampir saja aku roboh jika Fista Sofia tak sigap menangkapku. Dia memasukanku dalam pelukannya dan berbisik.

“Tidak. Yang harusnya kau lakukan hanya tidur.” Begitu Sofia mengecup keningku, entah bagaimana ia bisa merenggut kesadaranku. Aku terlelap.
***
Hahaha, saya rasa ada yang aneh dengan wajah Sofia.
Yap, perkenalkan. Hari ini harinya Sofia...

LEIL
Aku masih menunggu Pierre di bukit, sudah empat hari ini aku tak melihatnya. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya, tentang Jossie. Aku ingin dia datang ke pesta yang diadakan Jossie, meskipun kurasa itu tak membuatnya bahagia. Dia tak pernah menyukai keramaian.

Seekor kupu-kupu biru bersinar melintas di depanku. Bahkan pendaran cahaya dari kepakan sayapnya terlihat lebih terang daripada lilin di hadapanku. Indah, seolah aku tengah tersesat di negeri fantasi yang biasa kubaca dalam dongeng. Dia bagaikan seorang peri mungil yang bergerak lincah untuk menaburkan bubuk ajaibnya. Jemariku bergerak untuk menyentuhnya, tapi segera kuurungkan niat itu. Aku berada di bukit mistis, tak seharusnya manusia normal berada di sini saat malam. Mungkin saja kupu-kupu itu adalah bagian dari makhluk supranatural yang tak seharusnya aku ganggu.

Jadi gadis ini yang dipilihnya? Aku tak menyangka, bahkan ia tak secantik yang kubayangkan. Bagaimana aku harus membawanya?

“Siapa di sana? Aku bisa mendengarmu jadi keluarlah,” kataku cepat setelah kudengar bisikan seorang wanita. Jaraknya tak jauh dariku dan mungkin dia sudah cukup lama berada di tempat ini dan mengamatiku. Sesaat kemudian seorang wanita berambut ikal panjang hadir di hadapanku. Dia bukan manusia, kusimpulkan setelah melihat kulitnya yang begitu pucat dan satu yang pasti, matanya merah dengan sebuah titik di mata kanannya.

“Kau bisa mendengarku?” tanyanya heran.

“Begitulah. Bukan hanya kau, tapi semua makhluk sepertimu dan seseorang yang kukenal. Aku bisa mendengar apa yang mereka bisikkan meski pada hati kecil mereka. Kau bukan yang pertama menanyakan hal itu.”

“Mengagumkan,” pujinya.

“Terima kasih tapi ini bukan kelebihanku. Kuanggap ini keanehanku.”

Vampir wanita itu terus memandangiku. Bola matanya merah terang dan terlihat semakin bersinar karena gelapnya sekitar. Tapi aku tak bisa lagi menerka apa yang dia pikirkan. Padahal jelas kulihat dia tengah memikirkan sesuatu.

“Kau tidak berpikir untuk menjadikanku makan malammu kan?” dia masih diam lalu duduk di atas makam sebelahku. Astaga, dia duduk tepat seperti biasanya Pierre duduk dan memperhatikanku saat terlelap.

“Aku hanya ingin bicara denganmu, nona Leil Grazdien. Bolehkah?” tanyanya sambil melontarkan senyuman. Darimana dia tahu namaku? Tapi sejauh ini kupikir dia tak berbahaya dan yang paling penting, dia tak menginginkan darahku. Setidaknya dia belum mengatakannya terang-terangan atau hanya memikirkannya.

“Aku tak akan meminta darahmu. Aku punya simpanan yang jauh lebih lezat daripada darahmu, nona kecil.”

“Ternyata kau juga bisa melakukannya, ya?”

“Begitulah. Hanya berlaku pada manusia. Baiklah aku akan berhenti basa-basi dan langsung saja. Pierre tak akan datang ke tempat ini tapi dia menitipkan pesan untukmu.”

“Mengapa dia tak bisa datang? Apa dia sakit? Lalu kau?” dia segera menempelkan telunjuk dinginnya di bibirku dan membekukan semua kata yang ingin kukeluarkan.

“Jauhi Joshua Franklin, dia hanya memanfaatkan kebodohanmu sebagai wanita. Satu hal lagi, ini bukan pesan kecemburuan tapi ini sebuah peringatan.”

“Tapi, aku justru akan…”

“Hanya itu. Urusanku selesai.” Wanita itu langsung lenyap begitu saja sebelum aku mengatakan hal yang juga ingin kusampaikan pada Pierre. Bahwa Jossie telah melamarku dan pertunangan akan dilaksanakan malam ini. Bahkan saat ini aku sudah mengenakan gaun yang dikirimnya kemarin malam.

Angin berhembus sepoi, namun perlahan semakin bertambah kencang hingga meniup lilinku. Kegelapan sepenuhnya meraja, aku tak bisa melihat apapun. Bodohnya aku pergi ke bukit ini tanpa persiapan. Bahkan aku tak membawa telepon genggam. Seketika pendaran biru bergerak mendekatiku. Kupu-kupu itu kembali menghampiriku dan menerangi sebagian jalanku.

“Tolong, bawa aku pulang,”

Dia memandu langkahku dengan gemerlap cahaya dari kepakan sayapnya. Mau tak mau aku harus mempercayakan perjalanan pulangku padanya. Karena saat ini hanya dia satu-satunya penerangan yang aku punya. Langkahku mulai menapaki jalanan batu dan kurasa dia membawaku ke arah yang salah.

“Hey, ini bukan jalanku untuk pulang. Kau membuatku tersesat! Jika kau makhluk jahat yang ingin mencelakakanku maka lebih baik kau menghilang dan biarkan aku sendiri. Apa guna cahaya indah itu jika niatmu tak seindah kenyataannya.”

Aku berhenti melangkah tapi kupu-kupu itu tak bergerak. Aku curiga dia menggiringku ke tepian jurang dan berniat membuatku terjatuh lalu mati. Aku jongkok untuk meraba sekitarku, hanya sejangkauan tangan saja yang bisa kudapatkan dan tak ada jurang sejauh ini. Kupu-kupu itu masih mengikutiku, ia bahkan hinggap di keningku.

“Tak usah merayu lagi, aku muak denganmu.”

Saat aku mengusirnya, puluhan kupu-kupu yang sama berada di atas kepalaku dan terbang bebas. Pendaran cahayanya juga semakin terang, seolah menjelaskan padaku bahwa mereka tidak berniat buruk. Aku berada di hamparan padang rumput gersang, mungkin bukan. Ini hanya halaman depan sebuah rumah besar. Ya, rumah besar yang baru pertama kali ini aku melihatnya.

“Terima kasih tapi itu bukan rumahku. Meskipun kalian baik hati mau menerangi jalanku, tapi tetap saja aku harus pulang ke rumahku sendiri. Kalau terus begini, aku bisa terlambat datang ke pesta Jossie. Sudahlah, aku akan pulang sendiri.”

Kupu-kupu itu terbang ke arah yang berlawanan denganku, mereka menuju rumah tua yang terlihat megah namun menyeramkan itu. Hanya tersisa satu kupu-kupu yang masih menemaniku menentukan pilihan. Jadi, sebenarnya aku tak yakin untuk pulang seorang diri di malam segelap ini dan sebuah suara menggelegar membuatku mengurungkan niat untuk memelihara sifat keras kepalaku. Petir. Bukankah itu pertanda hujan sudah dekat? Sial. Aku memutar arah langkahku dan mengikuti puluhan kupu-kupu itu saat gerimis mulai turun.

Aku berteduh di teras rumah megah itu, hujan lebat sudah mengurungku dan sekarang aku sendiri. Bahkan semua gerombolan kupu-kupu itu sudah pergi meninggalkanku.

“Hey tunggu,” kataku pada seekor kupu-kupu yang menyelinap masuk melalui jendela. Memang terasa bodoh untuk berkata-kata dengan binatang dan dia bukan binatang nyata. Tapi itulah yang terjadi dan itulah yang kulakukan.

Aku mengikutinya dan mengintip melalui jendela yang sudah tak lagi dilengkapi kaca. Yang kutemukan di dalam hanyalah perabotan mahal dari kayu yang masih dalam keadaan baik dan tertata rapi layaknya sebuah rumah biasa. Hanya saja sebagian perabotan diselimuti sarang laba-laba yang membuatnya terasa interior rumah hantu dalam pesta Halloween. Aku hanya menelan ludah dan memutuskan untuk tetap berada di luar karena itu cukup mengerikan. Meskipun di luar sangat dingin dan tak kalah menakutkan. Vampir atau makhluk lain bisa sewaktu-waktu datang dan menyergapku.
Tiba-tiba pintu rumah besar itu terbuka, tak ada suara deritan seperti dalam kebanyakan film horror. Tapi tetap saja membuat bulu kuduk berdiri menyadari kenyataannya. Kupu-kupu biru tadi kembali menghampiri seolah meyakinkan bahwa ini aman.

“Permisi,” sapaku. Tak ada jawaban dari dalam rumah.

Lampu temaram menerangi beberapa sudutnya, mungkin rumah ini berpenghuni. Setidaknya bagian tangga menuju lantai dua masih terlihat terawat. Aku tahu, itu bukan bukti yang cukup meyakinkan tapi cukup efektif untuk membuatku sedikit tenang. Aku terus bergerak masuk ke dalam, masih mencoba mencari si penghuni. Tapi aku tak menemukan apapun hingga aku menemukan dua buah pot berantakan dan tanahnya mengotori lantai. Kutemukan krisan yang tengah mekar sebagai tanaman yang mungkin menjadi isi dari pot itu. Bercak darah melumuri permukaan bunganya dan sergapan rasa khawatir segera menghampiri. Entah mengapa krisan mengingatkanku padanya.

“Pierre,” seruku.


(Bersambung…)

Senin, 04 Januari 2016

[Fiksi-Fantasi] 3 BLOOD KEPING 19


PIERRE
Bayangan seorang wanita tertangkap permukaan mengkilap dari guci di sebelahku. Kudiamkan saja ia, lagipula fokusku memang saat ini hanya tertuju pada tiga pot krisan yang tengah bermekaran. Sofia perlahan mendekat dan duduk dekat jendela sambil memandangku. Kuletakan botol kosong air mineral yang isinya habis kugunakan untuk menyiram krisan.

“Pagi yang menenangkan, bukan?”

“Apa yang kau inginkan? Semalaman kau berada di sini tapi kau tak mengatakan apapun.” Sofia menarik tubuhku dalam peluknya dan memelototi bahu kiriku.

“Lukamu sudah membaik?”

“Kau tak akan bisa menjilatnya lagi.” Kukenakan kembali kemeja yang tadinya direnggut Sofia. Dia kini bergelayut manja di bahuku, mengalungkan dua lengannya dan tiba-tiba mengecup pipi kananku.
“Pulanglah,” kataku. Kulepas lengannya untuk bergerak keluar dari rumah. Ia masih di dekat jendela saat aku menatapnya sekali lagi. Pintu tertutup dan Sofia sudah berada di sampingku dengan gaun hitamnya.

“Serangan kemarin memang tertuju pada gadis itu, mereka sudah mengetahui bakatnya. Akan berbahaya jika kau melibatkannya lebih jauh. Lalu sekarang, kau akan menemui gadis itu lagi?”

“Untuk terakhir kalinya,” jawabku kemudian ia tak lagi di hadapanku. Aku berjalan sendiri menuju sebuah toko bunga dekat rumah. Seharian kemarin aku tak menyapa ayah dan ibu, hari ini aku akan menemui mereka. Saat aku memasuki toko pelayan wanitanya menyapaku.

“Krisan lagi?” aku hanya mengangguk. Dia melewatiku dengan pinggul yang sengaja dilenggokkan. Hari ini dia mengenakan gaun biru langit yang terlalu tipis. Bahkan angin bisa menyibaknya dengan mudah. Ia kembali ke meja kasir dan membungkus pesananku.

“Alangkah bahagianya menjadi gadismu,” godanya centil.

“Gadis apa?”

“Tentu saja yang setiap hari kau beri krisan. Kau pria yang romantis.” Aku hanya menyeringai mendengar jawabannya.

“Krisanku tidak akan pernah kuberikan pada gadis manapun.”

“Lalu untuk apa kau membelinya setiap hari jika bukan untuk gadismu?”

“Bukan urusanmu.” Mengapa manusia bisa terlalu sempit berpikir? Apa setiap kali seorang pria membeli bunga harus dikaitkan dengan seorang gadis? Tidak tahu apa-apa tapi langsung berkata-kata.
Saat aku sampai di bukit, kutemukan Leil tengah berbaring di atas makam ibu seperti yang selalu kulakukan. Ia juga meletakan satu tangkai krisan di tiap nisan. Aku mendekat perlahan dan duduk bersandar di nisan ayah, memandanginya yang terlelap dengan nyenyak. Mungkin dia masih belum tahu bahaya yang mengincarnya dan itu akan menjadi pekerjaanku untuk menjauhkannya dari ancaman itu.

“Pierre?” gumam Leil.

“Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Leil menggeleng dengan senyum yang masih belum pudar.

“Aku menunggumu dan tertidur. Kemarin aku tak menemukanmu dimanapun, jadi kupikir tempat yang paling tepat untuk menemuimu adalah bukit ini.”

“Jangan pernah datang ke tempat ini lagi. Kumohon. Aku ingin kau lebih berhati-hati dan berhenti lakukan tindakan bodoh seperti yang sekarang ini kau lakukan.”

“Maksudmu?” Leil memandangi bola mataku dan diam untuk waktu yang cukup lama. Dia memang sering melakukannya, tapi kini aku yang memalingkan wajah darinya. Semakin dalam Leil menatapku, aku takut ia mendapatkan fakta yang selalu ia kejar. Tentu saja tentang status manusiaku.

“Apa kau tak takut?”
***

LEIL
“Kau tidak takut?” tanya Pierre.

Aku masih tetap memandangi bola mata indah Pierre. Pertanyaan dan pernyataan yang dia ungkapkan mulai membuatku semakin penasaran. Aku masih tak mengerti mengapa ia terus melontarkan pertanyaan yang tak masuk akal. Tentu aku tak mengerti apa maksudnya.

“Untuk apa?”

“Berada di tempat ini bersamaku. Mungkin saja ucapan Jossie ada benarnya. Bagaimana kalau aku ini bukan manusia?”

Aku membenarkan posisi duduk, membebaskan punggungku dari nisan. Pembicaraan ini yang sebenarnya sudah kutunggu sejak beberapa pertemuan lalu. Tapi aku tak ingin ia menceritakannya dengan suasana tegang dan terpaksa seperti ini. Aku ingin ia bicara karena merasa nyaman, bukan tertekan. Masih kutatap bola mata turquoise miliknya dan terjebak aku dalam indahnya. Dia memalingkan wajahnya untuk membebaskanku dari matanya.

“Aku bersama temanku, jadi untuk apa aku takut,” jawabku enteng. Aku beralih untuk bersandar pada bahunya. Dia sedikit terkejut saat aku melakukannya dan menarik mundur tubuhnya. Lenganku bergerak cepat meraih tangannya tapi aku segera melepasnya saat aku merasa tersengat dengan panas tubuhnya. Itu bukan suhu yang normal bagi seorang manusia yang sehat.

“Kau sakit? Tubuhmu begitu panas, kau demam?”

“Pulanglah,” katanya. Dia pun pergi. Aku mengikuti langkahnya hingga dia menemukanku dan kembali menyuruhku pulang. Dia tak seperti biasanya.

“Biarkan aku sendiri. Aku tak ingin melukaimu,” gumamnya. Seketika aku melihat dia menghilang dari pandangan. Apa yang terjadi sebenarnya?

“Pierre? Kau tak boleh pergi begitu saja sebelum menjawab pertanyaanku. Hey, bersembunyi di mana kau?” aku masih terus melewati jalan yang tadi dilewatinya untuk melarikan diri. Ia tak mungkin menghilang secepat itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tiba-tiba…

“Astaga! Kau mengagetkanku,” celetukku setelah ia muncul segera di hadapanku. Kami sangat dekat. Bahkan aku bisa merasakan desah nafasnya yang teratur. Aku segera berpaling dan hendak menjauh darinya tapi ia menahanku. Tangannya yang kokoh melumpuhkan usahaku untuk pergi.

“Apa kini kau ketakutan,” katanya dingin. Aku hanya bisa memalingkan wajahku darinya. Bahkan untuk saat ini, bola matanya seolah kehilangan keindahan dan dia benar. Aku ketakutan dengan perubahan sifatnya.

“Aku tak akan takut dengan temanku sendiri.”

“Kau harusnya takut, Leil. Jossie benar, aku bukan manusia biasa.”

“Baguslah, kau akan menjadi super hero bagiku.”

“Sayangnya tidak seperti itu. Aku justru takut kalau aku lebih banyak menjadi pemburumu dan menyusahkan hidupmu. Karena itulah aku ingin kau pergi. Karena itulah aku akan meninggalkanmu dan kau tak akan pernah menemukanku lagi.”

“Jadi ini perpisahan?” tanyaku hampa.

Setelah aku merasa nyaman dan aman saat bersamanya. Justru ia memaksaku untuk mengucap kata perpisahan. Ia melonggarkan cengkeramannya, tubuhku justru semakin tertarik untuk mendekatinya. Hingga wajahku tepat memandangnya, meskipun aku harus berjinjit untuk menyejajarkan diri dengan tingginya. Ia menatapku lekat dan tangan panasnya terasa hangat saat membelai wajahku, kami semakin dekat hingga bisa saling merasakan desah nafas masing-masing. Mataku otomatis terpejam untuk menyambutnya tapi yang kudapat hanya hembusan angin dingin. Saat aku membuka mata, dia telah menghilang.
***

PIERRE
Aku telah melakukannya, mencoba memutus ketergantunganku pada gadis itu. Tapi rasanya sangat sulit dan aku masih tak bisa melepasnya untuk hidup normal bersama pria itu, Joshua Franklin. Aku tahu mereka sangat dekat, tapi aku merasa ada yang masih mengganjal di pikiranku tentang pria itu. Bisakah aku memercayainya atau ini hanya bentuk kecemburuanku saja?

Ah, apa yang kupikirkan. Dasar bodoh. Jika kau bilang akan melepaskannya, maka kau harus benar-benar melepaskannya Pierre. Sudahlah, tak perlu lagi bergulat dengan pemikiranku sendiri. Semuanya sudah terjadi. Aku tak akan menemuinya lagi, setidaknya untuk bertemu secara langsung.
Tak terasa, langkah kaki ini membawaku ke sebuah rumah besar di tengah hutan pinus. Bukan tempat yang asing bagiku. Setiap kali aku ingin menenangkan pikiran, maka rumah ini menjadi tujuan keduaku. Untuk saat ini aku tak akan mengunjungi makam orang tuaku. Mungkin Leil masih berkeras menungguku di sana.

Tanpa mengetuk pintu ataupun membunyikan bel, pintu rumah langsung terbuka. Ia seolah tahu kapan aku akan datang dan selalu sambutan itu yang dia berikan. Aku memasuki rumah dan berjalan terus ke dalam, mencari sebuah ruangan yang menjadi favoritku. Tak peduli berapa kali kakiku melintasi lantai kayu ini, aku masih senang menghirup aroma kayunya. Juga rasa halus beludru merah bata yang menjadi tirai penyekat antar ruangan. Aku selalu menyukainya saat angin berhembus dan membuat mereka menari.

Akhirnya, aku mencapai tujuanku. Sebuah sofa panjang berlapis lembaran sutera mahal di dekat jendela. Sebuah jendela besar yang sepenuhnya terlapisi kaca bening. Bukan jendela itu yang kusuka, tapi pemandangan yang disuguhkannya. Hamparan pinus yang menjulang, juga kabut yang menyelimutinya dan hamparan mawar putih di hadapanku. Semuanya terbingkai sempurna dalam jendela ini. Tanpa basa-basi, aku langsung duduk di atas sofa dan melepaskan diri dari semua beban. Memandangi semua keindahan itu dan mengosongkan kepalaku. Sebelum benar-benar terlelap, Sofia mendekapku dari belakang. Kedua lengannya kini terkalung melewati bahuku. Jangan bertanya mengapa dia ada di sini, tentu saja karena ini rumahnya. Atau harus kusebut persembunyiannya? Karena tak ada satu pun yang berani memasuki kawasan ini tanpa seizinnya, kecuali aku. Lagipula ia terus menerimaku setiap kali aku datang. Tanpa kusadari, bibirnya telah mengecup pipi kiriku.

“Kau tidak terluka. Lalu, mengapa kau datang?”

“Aku hanya ingin ketenangan, Leil mungkin ada di bukit. Jadi aku tak bisa bersantai di sana.”

“Pierre, bukankah tempat itu memang tidak cocok untuk bersantai. Jika pintu rumah ini masih terbuka untukmu, mengapa kau harus mencari rumah lain?” Sofia melompat untuk duduk di sampingku. Ia bahkan menyandarkan tubuhnya pada tubuhku. Dingin tubuhnya bertabrakan dengan panas dari tubuhku tapi kami seolah saling menetralkan.

“Bagaimana dengan gadis itu?”

“Aku sudah melepasnya.”

“Tapi kau akan terus mengawasinya bukan?”

“Aku harus tetap mengawasinya. Aku yang membuatnya terlibat dan posisinya saat ini sangat berbahaya. Ada satu vampir yang mengetahui bakatnya. Sampai saat ini aku masih memburunya. Akan sangat merepotkan jika ia menyebarkan informasi mengenai bakat Leil.”

“Kau begitu perhatian padanya. Aku cemburu,” rengek Sofia. Dia bertingkah semakin manja, bahkan kini dia melingkarkan tangannya meraih tubuhku dan memelukku erat.

“Hey, jangan gila. Kau sendiri yang bilang bahwa dia hanya gadis kecil biasa.”

“Ya, aku tetap ingin menjadi yang paling istimewa bagimu.”

“Itu memang sudah terjadi dan tak akan terganti.”

Kurebahkan tubuhku dan Sofia menyambut kepalaku dalam pangkuannya. Selalu terasa begitu menenangkan ketika aku melakukannya. Sofia mulai membelai rambutku dan menyanyikan lagu tidur yang selalu menjadi pengantar istirahatku. Mungkin aku memang perlu sedikit istirahat dari dunia yang melelahkan ini.
***

LEIL
Aku terus memandang keluar jendela toko. Tanpa tahu June tengah memperhatikanku dan ia mengirim ultimatumnya melalui setangkai lily. Bunga itu mendarat tepat di atas mejaku, benang sarinya sempat terguncang dan membuat serbuknya beterbangan. Hidungku otomatis menyedotnya dan bersin langsung menghampiriku. June hanya tersenyum jahat dari balik keranjang mawar yang tengah disusunnya.

“Bisakah kau berhenti melempar lily?” protesku.

“Apa yang kau cari di luar jendela sementara pekerjaanmu masih banyak di dalam sini?” tanya June dengan nada menyelidik.

“Akhir-akhir ini aku tidak melihat Pierre melintas di depan toko. Padahal hanya ada satu jalan untuk naik ke bukit. Apa dia masih marah?”

“Astaga, Leil. Kau masih saja mencari pria aneh itu? Kuakui dia cukup tampan, tapi kau harusnya curiga padanya bukan tergila-gila,” celetuk June.

Ya, aku mulai menceritakan tentang Pierre dan pertemuanku juga perpisahan kemarin padanya. Setelah kejadian di bukit, June bahkan melewatkan kenangan saat Pierre mengacau di toko dan aku sengaja tidak memulainya dari kisah itu. Tapi ia segera teringat ketika Jossie mengatakan bahwa Pierre adalah pria yang mengacau dan meledekku karena ingin membeli krisan untuk pemakaman.

“Kau masih tergila-gila padanya.”

“Siapa yang tergila-gila?” sambar Jossie seiring dengan suara lonceng toko yang berdentang.

“Ah Jossie, apa kau melihat Pierre? Sepertinya Leil sedang mencarinya hari ini?” sahut June cepat. Semoga ini tidak bertambah parah.

Kehadiran Jossie setelah kemarin aku meninggalkannya demi Pierre. Sekarang dia malah muncul di hadapanku alih-alih yang kuharapkan adalah Pierre. Jadi apa maunya? Aku tak melihat wajah murkanya, tapi dari suaranya terdengar jelas bahwa ia menahan emosinya.

“Hai Josh, mau mawar?” tanyaku.

“Apa hanya itu satu-satunya alasanku mendatangi toko ini, Leil? Tak bolehkah kau menjadi alasanku untuk datang?” aku kehabisan kata-kata. Harus kubantah dengan apa lagi? jika sifat sensitive Jossie sudah keluar, maka tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikannya ke mode normal. Kecuali jika aku melakukan hal yang membuatnya berpikir dua kali untuk mendinginkanku.

“Apa Pierre lebih penting sekarang?”

“Jangan kekanakan,” sanggahku. Aku mengalihkan pandangan dari Jossie. Tapi ia terus mengejar pandanganku.

“Aku cemburu, Leil.”

“Harus kukatakan apa,” gumamku.

“Aku ingin kau hanya memperhatikanku dan aku tak ingin ada pria lain yang merebutmu dariku. Apalagi pria itu baru saja kau kenal.”

June memulai aksinya, dia menyingkir menuju taman di samping toko dan menjauhi kami. Seolah dia memberikan ruangan ini sepenuhnya untuk kami berdua. Mungkin ia mencoba menciptakan kesan romantis, seperti yang biasanya dia lakukan. Atau dia hanya ingin menghindar dari sebuah perdebatan sengit? Entahlah.

“Jika hanya itu yang ingin kau sampaikan, mungkin pembicaraan ini tak lagi ada gunanya.”

“Aku datang untuk meminta maaf padamu. Aku minta maaf atas keegoisanku. Tapi seharusnya kau tahu bahwa semua yang kulakukan, semata-mata untuk melindungimu.”

Jossie segera menarikku dalam peluknya. Aku tak bisa berbuat banyak selain diam dan mendengarkannya yang kembali berucap.

“Aku ingin melindungimu, Leil.”


(Bersambung…)