Laman

Pages - Menu

Kamis, 10 Desember 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 18


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside.
Kejutaaan, bagaimana? Sudah siap untuk dapat fakta mencengangkan minggu ini? Sudah numpuk semua penasaran dari minggu lalu? Siap dan ledakkan!

LEIL
“Apa yang terjadi?”

Ayah mulai membereskan barang-barang yang masih berguna dari semua kekacauan ini. Aku menerobos tiang pintu dan menuju teras. Ternyata di sini lebih kacau, atap teras rumah rontok bagai disapu tornado. Pot tomatku pecah dan tanahnya berserakan. Bahkan beberapa dahannya juga patah karena terinjak-injak. Sofa kesayanganku berlumuran darah yang mulai kehitaman. Aku masih berpikir ini hanya mimpi buruk, bahkan berharap kalau aku belum bangun dari tidur.

“Leil, sebaiknya kau juga segera berkemas. Rumah ini bisa kapan saja roboh,” seru ayah. Ya, dia tengah mengemas semua pakaiannya dalam tas besar dan mulai melempar beberapa barang juga foto-foto ke atas truk.

“Baru saja aku akan mendapat bonus dan musibah ini malah datang. Berapa banyak yang akan kita butuhkan untuk memperbaiki rumah ini?” keluhku.

“Jika biaya renovasinya lebih mahal dari pada pembuatan rumah baru, maka aku akan meratakannya sekaligus. Maaf mengecewakanmu sayang.” Ayah merangkul bahuku.

“Lalu mengapa kau tak bergerak untuk berkemas? Kulihat kau hanya mondar-mandir setelah memungut tomatmu. Apa yang kau cari?”

“Entahlah, aku merasa ada yang benda berharga yang hilang dari kekacauan ini.”

“Maksudmu, ini perampokan?” aku menggeleng. Masih mencoba mencari benda lain yang luput dari pemikiranku. Benda berharga yang akan kupertahankan demi sebuah balasan yang setimpal. Benda yang bersamaku sebelum kekacauan ini muncul. Astaga!

“Laporan keuangan toko June,” seruku dan langsung menuju teras yang porak poranda. Habislah aku jika buku itu ikut hancur. Bukan hanya catatan keuangan selama setahun ini tapi juga pekerjaanku. Aku bisa gila jika tak kutemukan, June akan memecatku tanpa keraguan. Mungkin juga ditambah potongan gaji karena aku mengganggu hari baiknya. Astaga! Aku terus mengorek tiap sudut teras rumahku dan tak menemukan apapun. Ayah berdiri di tiang pintu dan menatapku.

“Kau menemukannya?” aku hanya menggeleng.

“Sudahlah. Cepat berkemas, aku akan membantumu bicara pada June.”

Dengan lemas aku kembali masuk ke dalam rumah yang kini tak berpintu dan tak berjendela. Menuju kamar untuk mengemas pakaian dan barang-barang yang terselamatkan. Mengemasnya dalam satu tas besar. Saat kulipat selimut tebal bermotif bunga milikku, sesuatu yang ajaib terjadi. Hal itu membuatku berteriak nyaring dan ayah bergegas datang dengan senapan di tangan.

“Ada apa?”

“Aku menemukannya!”

Kutunjukkan dua buku milik June yang tadi kucari. Ternyata mereka sudah ada di dalam kamarku sendiri. Syukurlah, aku bahagia mereka berdua selamat dari kekacauan ini. Orang yang memindahkanku pasti tahu aku tengah mengerjakan buku ini hingga ketiduran. Karena itulah dia ikut menyelamatkan dua buku ini. Tunggu, itu artinya dia sudah mengawasiku jauh sebelum tiga vampir itu datang?

“Ayo berangkat.”

“Baiklah.”

Ayah sudah melemparkan semua tas ke truk dan kini ia mendekatiku yang masih diam memandangi rumah yang porak poranda. Ayah juga mengikuti apa yang kulakukan. Rumah tercinta kami hancur karena kekacauan yang parah. Meski ayah bilang dia bisa meratakannya dengan tanah. Tapi aku tak yakin dia akan melakukannya. Karena rumah ini penuh dengan kenangan kami sebagai keluarga kecil yang bahagia. Ayah dan ibu sudah tinggal di rumah kecil ini sejak hari pernikahan mereka. Juga aku yang tumbuh di sini sampai umurku sekarang. Akan menjadi perkara sulit untuk bergeser ke rumah lainnya.

“Begitu kacau,” gumamku dan kulihat ayah hanya mengangguk.

“Akhirnya benda itu hancur juga,” katanya sambil menunjuk sofa favoritku. Kupukul bahunya dan ia hanya tertawa.

“Kau bisa memperbaikinya?”

“Aku bisa membelikanmu yang baru.”

Dalam perjalanan, aku terus melamunkan apa yang terjadi. Jika itu penyerangan, tapi mereka tak menyerangku. Aku merasa ada yang aneh dengan penyerangan itu. Aku merasa ada satu pihak yang menyelamatkanku dan terus mengawasiku. Sama seperti serangan vampir yang dulu merenggut ibu. Ajaibnya saat itu ada sekawanan werewolf yang melintas dan menyelamatkanku. Anehnya lagi, malam itu aku seperti mendengar suara Pierre. Aku masih memeluk pohon tomat yang kini akar dan tanahnya kumasukan dalam kantong plastik. Ayah melirik ke arahku dan pohon tomat.

“Kau membawanya juga? Padahal aku curiga pohon itu tak bisa bertahan lagi, dia tengah sekarat, buang saja.”

“Kalaupun dia sekarat, aku yang akan memberinya keajaiban. Aku akan menyembuhkannya,” sahutku.
Benarkah aku bisa memberinya keajaiban? Atau lebih tepatnya, apakah aku punya keajaiban untuk melakukannya? Sampai saat ini pun aku masih berharap ada keajaiban yang menyelamatkanku dari semuanya. Hanya keajaiban yang akan membuatku kembali berteman dengan Pierre. Hanya keajaiban yang mampu membuat Pierre bicara padaku tanpa rasa tertekan ataupun menyesal. Lalu apa yang aku punya sekarang? Hanya harapan. Aku masih terus berharap akan datang waktu yang tepat ketika semua yang aku harapkan menjadi sebuah kenyataan.

Kusandarkan tubuh ini pada pintu truk meski sesekali jalanan berbatu membuatku ikut terguncang dan terbentur. Ayah hanya melirik melalui kaca depan dan seolah tak mau menggangguku karena ia tengah fokus pada jalanan.

“Kalau kau lelah, tidur saja. Akan kubangunkan ketika kita sampai di rumah Nyonya Franklin,” kata ayah tiba-tiba.

Tapi bukan itu yang kupikirkan, bukan itu yang membuatku merenung. Bukan itu yang membuatku diam dan sejenak mulai berpikir keras. Bukan berpikir juga, aku tengah terjebak perasaan yang aku sendiri tak mengerti. Satu yang terlintas dibenak hanyalah pria aneh itu. Pria tinggi menjulang bermata turquoise terang yang selalu membuatku terpaku. Aku terus memikirkannya. Dimana kau berada, Pierre?

“Ayo turun. Kita sudah sampai,” ajak ayah yang langsung melompat turun.

Aku masih diam di kursi, memandangi rumah Jossie yang seluas istana. Bahkan halamannya sangat indah dengan air mancur dan deretan bunga taman yang sayangnya belum waktunya mekar. Lima orang pelayan berderet menyambut kami, ayah yang tengah menemui mereka untuk berbasa-basi. Kemudian mereka semua membantu mengangkat beberapa barang yang ayah bawa. Kami meninggalkan perabotan tetap di truk. Seseorang membukakan pintu truk dan menyambutku dengan uluran tangan.

“Selamat datang, tuan putri,” sapanya.

“Jossie, kau berlebihan.” Aku menerima uluran tangannya dan membiarkannya membantuku turun. Padahal aku juga bisa turun sendiri. Ya, seperti yang kukatakan dia berlebihan.

Saat aku turun Nyonya Franklin sudah berdiri di samping truk dan langsung menyambutku dengan pelukan. Wangi mawar menguar dari tubuhnya. Dia sangat menyukai mawar. Ia tampil sangat anggun dengan gaun peach yang elegan. Dengan make up tipis dan rambut pirang panjangnya yang tergelung.

“Selamat datang di rumahku, sayang.”

“Terimakasih kalian sudah mau menampungku dan ayah. Maaf jika merepotkan kalian sekali lagi,” jawabku sambil menunduk. Sungguh aku tak enak hati dengan mereka yang selalu membantuku jika dalam kesulitan.

“Dengan senang hati, anakku.” Nyonya Franklin langsung menggiringku masuk.

“Pasti kejadian itu sangat mengerikan,” kata Nyonya Franklin. Dia masih menggenggam tanganku dan kami berjalan beriringan.

“Entahlah. Aku tengah tidur dan begitu bangun, semuanya sudah berantakan. Itu terlalu cepat,” jawabku setengah menutupi cerita. Aku merasa belum nyaman jika kubeberkan semua yang kulihat malam itu. Berhubung hanya aku yang melihatnya, jadi aku akan menyembunyikannya.

Menjelang sore hari, aku mulai memindahkan tomatku ke pot yang baru. Tanganku masih terus mengaduk tanah dengan pupuk organik dan memasukannya dalam pot. Saat ini aku tengah berbuat ‘kekacauan’ di sebuah ruang luas samping dapur. Pelayan biasanya menggunakan ruang ini untuk menumpuk kardus dan barang bekas, jadi tak masalah jika aku menggunakan tempat ini untuk sesuatu yang lebih berguna, bukan?

“Mengapa kau melakukan hal itu di sini? Aku takut kau mengotori lantainya,” bisik ayah tepat di telingaku.

“Mengapa ayah harus khawatir tentang itu? Bukankah Jossie memiliki banyak pekerja di rumahnya yang bersedia membersihkan apa yang kulakukan?” jawabku sewot. Ayah terlihat kesal dengan jawabanku dan ia menarik daun telingaku hingga aku berteriak nyaring karena kesakitan

“Ayah!” seruku.

“Jangan bandel. Ini rumah orang, hormati pemiliknya.”

“Leil?” panggil Jossie. Mungkin ia tertarik dengan suara nyaringku. Seketika ayah langsung melepas telingaku. Sementara aku hanya bisa menyapa Jossie dengan senyum meringis sambil menggosok telinga yang memerah.

“Aku akan kembali ke rumah untuk memulai perbaikan. Kau bersikaplah dengan baik di sini. Jangan terlalu merepotkan Jossie dan Nyonya Franklin,” kata ayah.

Begitulah dia berbasa-basi untuk pergi meninggalkan kami hanya berdua. Jossie hanya mengamati apa yang tengah aku lakukan. Mengembalikan tomat yang sekarat pada pot baru yang terlihat lebih mewah dari sebelumnya. Aku menemukannya di taman Jossie, daripada pot itu kosong jadi kupakai saja. Aku yakin dia tak pernah keberatan jika aku melakukannya.

“Tomat itu hampir mati, Leil.”

“Kau mengatakan hal yang sama dengan ayah,” dengusku. Jossie hanya tersenyum, ia lalu mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia mengamati tomatku dengan seksama.

“Apa arti pria itu bagimu? Tomat itu ada hubungannya dengan pria itu bukan? Apa arti Pierre bagimu, Leil?” tanya Jossie tiba-tiba. Pertanyaannya menghentikan laju tanganku, pertanyaannya mulai mengusik ketenanganku. Mengapa pula Jossie mengatakan hal itu?

“Aku yang bersedia setiap hari bersamamu. Aku yang berkali-kali menyatakan kekagumanku padamu. Aku yang memerhatikanmu dan berusaha terus menjagamu. Saat ada pria lain, hatiku tidak merelakan hal itu terjadi. Aku tak mau melihat ada pria lain yang mendapat perhatianmu lebih dari perhatianmu padaku. Aku ingin selalu menjadi milikmu. Pria itu membuatku cemburu. Aku cemburu,” ungkap Jossie. 

Seketika jemariku menempel di bibirnya. Menghentikan beberapa kalimat yang mungkin masih akan dikeluarkannya. Ia menatapku lekat hingga kualihkan pandangan menuju tomat yang masih berantakan.Jossie mengalihkan jemariku dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menopang bagian belakang kepalaku. Dia mendaratkan kecupan singkat di bibirku, aku terbelalak dengan aksinya. Setelah kecupannya berakhir, aku segera melarikan diri darinya. Meninggalkan Jossie dan pot tomat yang masih berantakan.

Ada apa dengaku yang terus memikirkan pria aneh itu dan tak bisa melupakannya. Padahal awalnya aku menghindari pria itu. Diam di tepian jendela dan merenungkan betapa bodohnya tindakanku, masuk dalam sergapan Jossie. Aku merasa aneh saat dia tiba-tiba menciumku. Tapi aku tak merasa bahagia, aku tak merasa menjadi Leil si gadis kota yang normal yang mengejar seorang flamboyan bernama Joshua Franklin. Jika aku masih gadis yang dulu, bukankah seharusnya aku bahagia karena Jossie menciumku? Bukankah aku harusnya merasa menang dari semua gadis? Bukankah harusnya aku tengah berpesta dan melompat girang karenanya? Tapi apa yang sedang kulakukan? Merenung dan menyesali peristiwa itu? Mengutuk diriku seolah aku telah melakukan kesalahan besar pada seseorang dan yang terbayangkan hanya pria itu. Pierre.

Ketukan halus mendarat di pintu kamar sementara aku masih tak bergeming dari jendela. Sesekali angin menerpa gaun tidur satinku dan membuatnya melayang tak keruan bertabrakan dengan tirai jendela. Ketukan kembali menggema, dengan malas kulangkahkan kakiku menuju pintu. Jemariku telah bersiap di gagang pintu ketika ketukan itu berubah menjadi sebuah suara.

“Leil, waktunya makan malam. Semua orang sudah ada di ruang makan dan kami menunggumu. Jadi turunlah segera,” kata Jossie di balik pintu dan membuat jemariku kaku seketika. Kuurungkan niat untuk membuka pintu. Apa lagi ini? Makan malam bersama dan aku akan bertemu Jossie lagi?

Meja telah terisi beberapa menu makan malam yang bagiku special karena aku dan ayah jarang makan malam dengan menu yang begitu banyak. Aku duduk di satu-satunya kursi yang masih kosong di dekat Nyonya Franklin.

“Kau sudah mau tidur?” tanya Nyonya Franklin. Mungkin ia tertarik untuk menanyakannya setelah melihatku mengenakan gaun tidur.

“Aku hanya tidak terbiasa makan malam bersama. Apa aku harus berganti pakaian?” tanyaku. Ayah hanya menatapku datar seolah ia kesal dengan tingkahku. Kami pun memulai makan malam, Jossie duduk tepat di hadapanku. Bayangan peristiwa sore tadi membuatku terus tertunduk tak berani menatapnya.

“Ah, airku habis,” kata ayah sambil mengangkat gelasnya. Jossie dengan sigap mengambil gelas ayah dan mengisinya kembali. Ayah tersenyum puas setelah meneguk airnya.

“Senang sekali, rasanya seperti aku punya menantu,” celetuk ayah. Aku nyaris tersedak mendengarnya. Nyonya Franklin menyodorkan gelas sambil mengusap bahuku.

“Ya. Kurasa mereka sudah berada di usia yang matang untuk menikah,” tambah Nyonya Franklin. Ayah terbahak mendengar persetujuan Nyonya Franklin. Jossie juga ikut tersenyum.

“Apa itu lampu hijau untukku ibu?” tanya Jossie. Kuletakan sendok dan garpu di atas piring yang telah kosong.

“Terima kasih makan malamnya. Aku sudah selesai, selamat malam.” Aku segera undur diri. 


(Bersambung…)

Jumat, 04 Desember 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 17

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Keping 17 tersedia. Quotesnya adalah ga perlu nunggu ulang tahun supaya dapet kejutan. Spoiler: keeping ini berisi kejutan kecil. Pembuka keran penasaran untuk kelanjutan keeping berikutnya. Happy reading…

LEIL
“Siapa yang kau cari?” tanya June setelah melihatku berkali-kali melongok ke arah jalanan. Kupikir ia tak menyadarinya karena sibuk dengan kalkulatornya.
“Apa kau melihat Pierre melintas?”
“Pria aneh itu. Ternyata kau masih penasaran padanya. Cobalah untuk tetap fokus pada Jossie. Kau mengabaikannya terlalu lama.”
“Kemarin kami baru saja bertemu.”
“Benarkah? Apa dia mengajakmu makan malam lalu melamarmu dengan cara yang romantis? Aku sudah menduga bahwa dia ingin serius denganmu.”
“June? Kami bertemu di hutan. Mungkin dia merindukan senapannya. Dia berburu lagi bersama beberapa pemburu yang juga teman ayah.”
“Astaga Leil, sedang apa kau di hutan?”
“Aku menunggu Pierre.”
“Pantas saja Jossie memilih berburu. Mungkin dia mencari kepala lain yang bisa ditembaknya. Aku merasakan kekesalan yang dirasakan Jossie atas sikapmu itu. Jika aku jadi Jossie, akan kulepaskan seekor kelinci bertopeng wajahmu dan kutembak dari kejauhan.”
“Lucu sekali June,” kataku sambil menguap lebar. Seharian ini aku mencoba fokus pada pekerjaanku. Tapi sia-sia, aku masih terus memikirkan Pierre juga pertanyaan Jossie. June malah menimpakan dua buku besar di hadapanku. Kulirik jam tanganku untuk memastikan bahwa jam kerjaku segera berakhir.
“Kerjakan laporan keuangan untuk bulan ini. Akan kutunggu besok pagi.”
“Maaf, jam kerjaku habis,” jawabku dengan senyum nakal.
“Kau akan mengerjakannya di rumah. Bukankah itu baik-baik saja? Manfaatkanlah kecerdasanmu untuk melakukan hal yang berguna. Setidaknya itu lebih baik daripada minum kopi sambil memandangi pot tomat.”
“Astaga, darimana kau tahu?”
“Ayahmu menelponku kemarin malam. Dia mengeluhkan sikapmu yang melamun di teras rumah dan tak akan bangkit jika tak ada kopi. Kupikir aku akan memberimu pekerjaan hingga kau tak punya waktu untuk melamun.”
“Sempurna,” jawabku kesal. June hanya mengangguk.
Ia kemudian mulai menutup tirai tokonya dan membereskan semua peralatan. Jam berdentang sepuluh kali juga bersamaan dengan alarm handphone-ku. Itu artinya toko tutup, untuk malam minggu kami memang buka lebih lama. Karena June percaya bahwa malam minggu selalu menjadi harinya makan malam romantis. Dengan harapan bahwa ia juga mendapatkan banyak keuntungan dari pelanggan yang akan kencan.
Aku masih memandangi dua buku itu dengan enggan. Padahal aku sudah bersiap dengan tasku untuk pulang. June menemukanku dengan wajah itu dan langsung berujar.
“Akan kuantar kau pulang dan tambahan gaji atas kerja kerasmu di bulan depan. Anggaplah itu sebagai kabar baiknya.” Senyumku langsung mengembang.
“Baiklah. Setuju,” jawabku riang.
Seperti janjinya, June mengantarkanku tepat sampai ke halaman rumah. Lampunya sudah menyala terang. Dengan malas, aku masih duduk dan mengumpulkan niat untuk turun. Padahal aku sudah berencana untuk langsung tidur, tapi pekerjaan terus mengikutiku. June yang sepertinya kesal melihat keenggananku langsung mendorongku untuk bergeser keluar.
“Terima kasih June,” kataku datar.
“Selamat malam. Jangan lupa tugasmu, kerjakan serapi mungkin. Sampai ketemu Senin,” katanya sambil mengisyaratkanku untuk menutup pintu mobil. Tunggu sebentar!
“Senin?”
“Ya, Danny kembali dan kupikir kami akan habiskan hari Minggu bersama. Sepanjang hari, itu akan menjadi momen langka sepanjang pernikahan kami. Aku tak akan melewatkan waktuku hanya untuk membuka toko,” ujar June sambil berlalu. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Mencerna kalimat June dan langsung melompat kegirangan.
Kubuka pintu pagar dan berlari memasuki rumah. Malam begitu dingin, kupikir aku akan segera menyeduh kopi dan menikmatinya di tempat favoritku. Ya, tentu saja bersama tugas dari June. Cuma itu satu-satunya yang akan mengganggu kesenanganku. Tapi bonus dan liburan esok hari kupikir menjadi balasan yang setimpal. Aku akan mengerjakannya semalaman lalu tidur sepuasnya di hari Minggu. Rencana yang sempurna.
“Ayah, aku pulang.” Langkah bersemangatku segera terhenti karena pintu yang terkunci. Ini aneh, apa ayah belum pulang? Kukira ini sudah begitu malam untuk berburu. Beruntung aku masih menyimpan kunci cadangan dalam kantong kecil di tasku.
Saat aku masuk, lampu ruang tamu sudah dinyalakan tapi setiap kamar masih gelap. Juga kamar ayah, lampu dapur juga menyala temaram. Kuletakan tas ku di sofa ruang tamu. Langkahku justru terseret ke arah ruang makan karena aroma kopi yang khas. Tapi tak ada apapun di aas meja kecuali sebuah toples besar dengan secarik kertas di bawahnya.
Leil, maaf harus meninggalkanmu. Aku ada pekerjaan di Tersa, hanya sebentar. Aku segera kembali, ini permintaan maafku.
Love you, dear.
Satu toples besar berisi kopi robusta yang baru saja dipanggang? Oh ayah memang benar-benar mengerti apa yang kubutuhkan. Aku menuju kamar mandi sementara kupanaskan air untuk menyeduh kopi. Air hangat mulai mengucur dan menitik lebat ke sekujur tubuhku. Terasa sangat nyaman dan menenangkan apalagi setelah seharian ini bekerja. Ini akan jadi malam yang panjang dan menyenangkan.
Televisi sudah menyala, tapi bukan waktunya untuk menonton. Ini waktu yang tepat untuk menghabiskan secangkir kopi dan mengerjakan pekerjaanku. Butuh waktu yang cukup lama untuk merekap semua pengeluaran dan pemasukan toko. Aku juga harus membolak-balik buku nota dan beberapa bukti pembayaran. Ini lumayan menyebalkan.
Tanpa kuduga, aku menguap lebar. Ini tengah malam dan aku tengah mengerjakan laporan keuangan. Padahal aku sudah menghabiskan kopiku, bukankah mustahil jika aku mengantuk. Kutinggalkan semua buku itu pada televisi yang masih menyala. Sementara aku keluar dan duduk di sofa favoritku sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Entah mengapa, aku kembali tertarik pada tomatku dan membayangkan Pierre. Apa yang tengah dia lakukan sekarang? Aku beringsut dan akhirnya meringkuk di atas sofa. Angin malam memang dingin, rasa kantuk memuncak ketika lagu yang kudengarkan sedikit pelan. Mungkin aku akan tidur sejenak lalu melanjutkannya esok pagi.
Tiba-tiba aku mendengar percakapan yang tak begitu jauh dari tempatku sekarang. Ini bukan pendengaran biasa, ini keanehanku. Ada yang tengah mengamatiku dari kejauhan. Apa yang harus kulakukan? Langsung kumatikan lagu yang tengah kudengar. Berharap bisa lebih fokus aku mengerti apa yang mereka perbincangkan. Aku akan sangat berterima kasih jika mereka tak membicarakan tentang darahku.
“Jadi gadis kecil ini yang memiliki bakat menakjubkan itu? Sudah lama tak ada manusia yang dianugerahi kemampuan itu dan sekarang dia muncul.”
Bakat menakjubkan? Apa yang mereka maksud adalah keanehan ini? Aku terus merosot ke posisi meringkuk. Mungkin mereka akan mengira aku tertidur selagi aku mencuri dengar obrolan mereka.
“Ini kesempatan emas, kita bisa langsung membawanya.”
“Benarkah semudah itu?”
“Belum ada yang mengetahui bakatnya. Kulihat dia belum terikat dengan siapapun, hanya saja aku mencium bau serigala.”
“Memang samar.”
Astaga, percakapan apa yang baru saja kudengar. Apa mereka membicarakanku dan keanehanku ini? Apa yang mereka cari dari kemampuanku? Mereka semakin mendekat dan niatan untuk membawaku juga, apa mereka gila. Ini bisa kuadukan sebagai kasus penculikan. Sementara aku masih saja bertingkah seolah aku tengah tertidur lelap tanpa menyadari bahaya dari orang gila yang diam-diam mengagumi keanehanku.
“Pergilah!”
Kudengar ada seorang lagi yang muncul dan dia berdiri tepat di depanku. Aku tak melihat wajahnya karena dia memunggungiku. Dia juga mengenakan jubah hitam jadi sulit bagiku untuk mengenalinya.
“Jadi kau ada di sini juga? Dia milik kami dan jika kau tak menyingkir maka kau akan mati,” kata si penculik. Mereka kini berdebat tepat di hadapanku.
Entah apa yang dia lemparkan tapi itu mengenai lampu teras dan kegelapan semakin meraja. Mataku semakin sulit menangkap rupa mereka. Yang bisa kulihat hanya tiga pasang mata bersinar merah dalam gelap. Astaga, mereka vampir?
“Jangan abaikan perkataanku dan gertakanmu tak ada artinya,” kata pria berjubah yang perlahan kukenali suaranya.
“Kau juga harus tahu kalau kami tak menerima perintah dari makhluk rendahan sepertimu. Jadi menyingkirlah keras kepala!”
Sesaat kemudian aku mendengar adanya perkelahian. Angin yang tadinya teratur kini tersingkap kemana-mana. Tapi malam tetap hening, seolah perkelahian mereka berada di waktu yang berbeda. Mereka berkelahi dalam hening sementara aku mengintip sambil kedinginan tersapu angin dari perkelahian mereka. Bukan hanya kedinginan, semakin lama suara mereka semakin menjauh atau aku yang menjauh dari kesadaranku. Aku tak lagi bisa mendengar atau melihat apapun kecuali merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhku. Aku tak lagi merasakan kedinginan itu. Apa yang terjadi? Apa aku mati?
Sebuah suara gaduh menjadi fokus pendengaranku kini. Aku kembali bisa mendengar namun belum bisa membuka mata. Suara langkah kaki yang terdengar setengah berlari tergesa menuju ke arahku lalu pintu kamarku terbuka.
“Leil,” panggilnya.
“Pierre?” igauku.
Seketika aku terbangun dan melihat ayah sudah membobol pintu kamarku. Nafasnya tersengal-sengal dan kulihat ia tengah mengaturnya agar kembali teratur. Aku sudah berada di tempat tidurku, berbalut selimut tebal dan seseorang menyalakan penghangat ruangan di kamarku.
“Ayah? Ada yang gawat?” tanyaku. Dia segera menghampiriku dan memeriksaku dengan teliti. Mulai dari pipi kanan, kiri, kedua lenganku bahkan dia menyingkap selimut untuk melihat kakiku apakah masih utuh. Dia melakukannya dengan diam tanpa menjelaskan alasannya. Padahal aku membutuhkan alasan itu.
“Ayah?”
“Syukurlah kau baik-baik saja. Aku khawatir kamu terluka sayang.”
“Apa sih yang sebenarnya ayah katakan?” lagi-lagi ayah mengabaikan pertanyaanku. Dia langsung mendekapku erat. Tingkahnya membuatku semakin bingung. Ia kemudian melepasku dan menginggalkanku sendiri. Aku tertarik untuk turun dari ranjangku dan melongok ke luar kamar. Ayah tengah menelpon tanpa melepaskan senapannya. Aku hanya terperangah melihat sekitar.
“Apa yang terjadi?”
Pintu rumahku jebol dan hanya menyisakan dua tiang yang masih berdiri. Pecahan kaca berserakan dimana-mana, aku harus teliti saat memilih pijakan untuk melangkah. Televisi satu-satunya yang kami miliki kini terbelah dua karena sabetan pisau atau sesuatu yang lebih besar seperti pedang atau kapak. Anehnya lagi, ada banyak bulu binatang yang tersebar di beberapa sudut tembok yang runtuh. Bulunya halus dan panjang, seperti bulu kucing hanya saja lebih besar dan tebal. Apa yang sebenarnya menyerang rumahku?
“Ayah jawab aku,” tuntutku.
“Hanya serangan begundal kelas teri.”
“Ayah, begundal mana yang bisa merobohkan pintu rumah dan membelah televisi? Atau menebarkan bulunya ke seluruh ruangan. Jawab aku dengan serius, kumohon.”
“Sepertinya aku harus ikut berburu serigala itu.”
Serigala? Mungkinkah serigala yang ayah maksud adalah makhluk yang diburu Jossie kemarin? Dengan ukuran yang diceritakan Jossie, kemungkinan serigala itu adalah werewolf. Tapi ayah pernah berjanji bahwa ia tak akan berurusan dengan makhluk berbulu itu karena merekalah yang menyelamatkan aku dari vampir saat aku kecil. Atau mungkin saja, werewolf itu kembali menyelamatkanku. Kutangkupkan kedua jemariku di wajah ayah dan membuatnya menatapku.
“Aku melihat tiga vampir datang dan mengatakan hal aneh tentangku. Lalu seseorang menghalanginya dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Yang kutahu, pagi ini aku sudah ada di tempat tidur dan rumahku hancur.”
“Kita belum tahu pasti, Leil. Setidaknya bulu-bulu itu menuntunku pada si serigala dan darah yang kutemukan. Aku yakin serigala itu tak baik-baik saja setelah serangan semalam. Jadi aku bisa mengejar jejak darahnya ke hutan,” jelas ayah sambil mengecup keningku.
“Aku sudah menghubungi Nyonya Franklin dan mengatakan bahwa kita akan menginap.”

(Bersambung…) 

Jumat, 27 November 2015

[CERPEN] Akulah Kutu di Kepala Ayah

Haloo, ada salah satu cerpen yang udah pernah ngikut lomba dan masuk kategori 20 cerpen pilihan. Meski belum juara, setidaknya ikut dibukukan. Silahkan dibaca, di-postkan karena dibuang sayang. Kalo ada yang kepo mungkin, silahkan cari saja di toko buku. Judul bukunya Antologi Cerpen Pukul Enam. Selamat membaca…
***
Aku masih menguap sambil mengaduk dua cangkir di hadapanku. Jam dinding menunjukkan jam enam pagi. Hari masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru terlelap jam empat pagi. Langsung kutuang isi salah satu cangkir ke wastafel. Larutan kecokelatan menyebar segera menuju lubang pembuangan. Aroma wangi melati dan uap harum seduhan daun teh menyeruak. Tapi sayang, aku tak membutuhkannya. Aku kembali menyeduh dalam cangkir kosong itu, kini berganti larutan hitam pekat yang aromanya tak kalah menggiurkan.
Kuletakkan cangkir teh beserta pocinya dalam nampan hitam. Kutambahkan juga sepiring biskuit sebagai teman. Aku sudah mengangkatnya tapi kemudian mengurungkan niatku untuk menemui orang itu. Aku malah membasuh wajahku dan berdiri di depan kaca dekat dapur. Memandangi wajahku yang berantakan juga lingkaran hitam bagai gerhana di mataku. Rambut gondrongku yang masih awut-awutan dan juga jenggot yang mulai tumbuh liar. Aku justru tertawa sinis, hingga pada akhirnya mengumpat.
“Sialan pria itu, untuk apa seorang laki-laki berada di dapur sepagi ini?” Kuikat rambut panjang sebahuku dengan karet gelang seadanya. Sudah saatnya untuk mengucap selamat pagi.
Ketukanku mendarat di sebuah pintu berukir dari kayu jati. Aku yakin gemanya sudah menyebar ke seluruh ruang di dalamnya. Tanpa menunggu lama, aku langsung masuk karena aku tahu ruangannya tak pernah terkunci. Ya, aku yang mencopot kuncinya. Pria itu sudah berada di depan papan tulis hitam besar yang terpasang tepat di depan ranjangnya. Tangannya memutih karena kapur yang sudah diajaknya berhitung pagi ini. Hanya kuletakkan nampanku di sebuah meja yang menghadap ke jendela. Di meja itulah akhirnya dia akan duduk dan menikmati tehnya. Kubuka jendela yang terhalangi tirai biru laut. Udara pagi yang masih segar segera berhembus masuk dalam ruangan
“Selamat pagi ayah,” sapaku. Dia sama sekali tak merespon sapaanku. Tapi memang begitulah dia. Hanya ucapkan selamat pagi, buka jendelanya, berikan tehnya dan aku akan dengan senang hati pergi dari ruangannya.
Musik metal keras menyapaku di studio buatanku. Hanya di sinilah aku merasa tenang dan aman. Aku tak perlu khawatir akan mengganggu ayah karena ruangan ini memang dibuat kedap suara. Ruangan spesial yang dibuat ayah untukku berlatih biola. Sekarang ruangan ini tak lebih dari apa yang disebutnya sebagai tempat sampah. Seluruh dinding kacanya kututup dengan lembaran kain hitam. Di lantainya berserakan bermacam media juga kanvas kosong yang masih menunggu untuk tersentuh. Beberapa lukisan yang kubuat berserakan begitu saja di pinggiran dinding.
Sofa panjang yang kugunakan sebagai kasur seolah menawarkan diri untuk mengantarkanku terlelap lagi. Tapi pesona aroma kopi tak bisa kutolak. Aku duduk sambil memandangi lukisan wajah ibu yang masih setengah jadi. Kuhirup aroma kopi, mencoba nikmati tiap detik waktu yang mencair bersamanya. Andai ibu bisa melihatku saat ini, akankah dia kecewa seperti ayah?
Sebenarnya aku takut akan hari ini. Hari yang setiap tahunnya selalu kuhindari. Kuharap akhirnya akan berbeda untuk tahun ini.
***
Seharian ini aku tetap berada di rumah. Melukis, tidur, membersihkan rumah dan terus berharap bahwa ayah telah melupakan kekecewaannya. Gelap mulai merambah langit ketika aku menutup tirainya. Aku bangun terlambat dari yang diperingatkan jam beker cerewetku. Seperti pagi ini, kubawa sebuah nampan berisi teh dan pocinya juga sepiring biskuit. Ayah selalu menikmatinya sebelum tidur. Apalagi teh chamomile. Kali ini aku tak perlu mengetuk, langsung saja aku masuk dan menemukannya telah bersiap di meja teh nya.
“Ular dan merak tak akan pernah hidup di sarang yang sama. Sekeras apapun usaha si ular, dia tak akan bisa menyerupai merak. Ular tetap saja ular.”
“Aku putera ayah. Karena itulah aku masih di sini dan bersabar menghadapimu. Jangan tidur terlalu larut,” kataku. Setelah kuletakan nampan teh, aku segera menuju jendela kamarnya yang masih terbuka lebar dan membuat semilir angin melintas liar.
“Biarkan aku melakukannya sendiri,” sanggahnya. Aku tahu betapa keras kepala pria itu. Tapi apa salahnya jika aku hanya diam dan menemaninya. Kubiarkan jendela kamarnya masih tetap terbuka sementara aku seperti tak punya alasan lagi untuk berada di sini. Ayah menyodorkan sebuah brosur seleksi fakultas kedokteran padaku.
“Ikuti ujian itu dan buat dirimu jadi lebih berguna daripada hanya menyajikan teh dan menjadi kutu. Berhentilah membuat hal-hal sampah, kutu!”
“Ini tahun ketiga setelah hari kematian ibu juga kegagalanku dalam seleksi fakultas kedokteran dan ayah masih saja memaksaku untuk melakukan apa yang ayah mau. Bahkan selama tiga tahun ini aku sudah melakukan segalanya sebagai kata maaf. Aku bangun setiap pagi dan berakhir di dapur, menyiapkan teh, makanan dan semua kebutuhanmu. Aku yang mengelap tiap debu di rumah ini karena aku tahu kau membencinya. Aku bahkan tetap bersabar dengan apapun yang kauucapkan. Aku tak peduli makianmu, meski kau bilang aku kutu.”
“Karena kau memang kutu.”
“Jika aku berhasil dalam tes itu? Kau akan puas dan berhenti memanggilku kutu?”
“Aku sudah memperhitungkan kemungkinanmu jika mengambil tes itu tahun ini. Kau berpeluang besar untuk masuk dan menjadi dokter. Semua kepintaranmu akan berguna dan itu akan mengakhiri peperangan kita yang bodoh ini.”
Ayah masih terus berbicara tentang teorinya dan kulihat semua perhitungannya di papan tulis. Ia benar-benar detail dan hati-hati. Ia terus saja menghitung peluang keberhasilanku dari berbagai faktor. Tapi bukan itu yang ingin aku tahu.
“Apa yang akan terjadi? Aku akan membuat ayah bangga? Ayah akan berhenti memanggilku kutu? Aku kembali jadi anak kesayanganmu? Tapi apa yang akan terjadi pada semua hal yang selama tiga tahun ini kukerjakan? Haruskah aku meninggalkan semuanya tanpa akhir?” kataku pelan.
“Tak ada hal berguna yang kau lakukan tiga tahun ini kecuali memungut sampah dan mengotori kamarmu. Setidaknya buat aku bangga dengan menjadi anak yang berguna.”
“Apa ayah pernah menghitung berapa kali ayah melakukan ini padaku? Membujukku untuk mengerjakan soal-soal hitungan itu lagi. Kukira waktu tiga tahun cukup bagi ayah untuk menghilangkan ambisi menjadikanku dokter. Ternyata ayah masih saja sama!” kataku dengan nada yang semakin meninggi.
Entah mengapa aku semakin muak menghadapinya. Ambisinya membuatku geram dan ingin sekali aku mencengkeram tubuh rentanya dan katakan bahwa aku tak ingin menjalani tes seleksi apapun karena aku telah menemukan kehidupanku sendiri saat ini.
“Dasar kutu!”
Ayah bangkit dari kursinya dan menghempas apapun yang ada di mejanya. Air teh membasahi lantai, poci dan cangkir remuk menjadi pecahan kecil juga biskuit yang menjadi remahan karena terinjak. Rasa panas juga perih membekas di pipi kiriku. Ayah masih mengangkat tangan kanannya yang baru saja menghajarku. Ia menatapku tajam seolah ini semua adalah kesalahanku. Kesalahan seekor kutu yang dengan lancang berani memberontak.
“Tapi kali ini aku tak akan meminta maaf, ayah. Selamat malam.”
Aku kembali ke dalam studioku, tenggelam dalam alunan musik yang mulai memekakan telinga. Gambaran wajah ayah dan ibu yang terlukis seolah tengah menghakimiku saat ini. Mereka terus saja memandang ke arahku. Ibu juga ayah. Segala tentang ayah adalah tentang seraut wajah lelah penuh guratan masa. Betapa waktu terbukti telah melewatinya. Bukan hanya melewatinya, tapi juga menggerusnya. Mungkin waktu bisa membuatnya renta. Juga waktu bisa mengubah seorang pria perkasa menjadi kakek keriput yang pemarah. Tapi waktu tak bisa menggerus kekecewaannya.
Ia masih saja kecewa pada dirinya sendiri akan kematian ibu. Kecelakaan mobil tiga tahun lalu telah merenggut ibu dari kami. Ayah menyalahkan dirinya sendiri dengan alasan terlambat menghindari mobil di depannya. Ia terus menerus menghitung peluang ibu selamat jika ia tepat waktu dalam melambatkan mobilnya. Ia juga memasukkanku sebagai faktor yang memperbesar selamatnya ibu. Sebuah angan yang besar dan kini menjadi ambisinya. Menjadikanku seorang dokter.
Tapi aku tak pernah bisa memenuhi keinginannya. Aku malah terdampar di jurusan seni rupa murni dan menentangnya. Bukan sepenuhnya menghindar, aku pernah mengikuti seleksi fakultas kedokteran dan gagal. Sebuah kegagalan konyol, karena aku bukan tak bisa mengerjakan tesnya. Tapi aku pingsan di tengah tes setelah semalaman ayah memanduku untuk terus belajar. Sejak saat itulah ayah mulai menarik diri dari semua hal. Ia memecat semua orang yang bekerja di rumah dan hanya berdiam diri untuk terus menghitung dan bertaruh di bursa saham.
Ayah tak sehangat dulu lagi, ia mulai jadi katak dalam tempurung. Ia berlaku seolah dia hanya hidup di kamarnya dan ruang kerjanya. Ia bertaruh lewat puluhan saham yang dibelinya. Ia terus saja menghitung dan bertaruh. Ia mengabaikan keberadaanku, kemudian kami saling mengabaikan. Satu-satunya cara bagiku untuk terhubung dengannya hanya melalui secangkir teh. Begitulah aku meminta perhatiannya, tapi hari ini ayah membuang cangkir itu. Ia benar-benar marah dan mengabaikanku.
Sekarang hanya tersisa kanvas-kanvas kosong ini untuk bercerita. Angin masuk perlahan dan membuat semua tirai hitam ini berkibar. Aku meringkuk di sofa tempat dulu ibu duduk sambil merajut. Kupandangi sebuah lukisan yang sebulan lalu selesai kukerjakan. Sebuah lukisan hitam putih yang menggambarkan siluet seorang pria yang menghadap ke kiri dengan lima kotak cerita di dalamnya yang menceritakan sebuah kenangan. Juga dengan seekor kutu di atas kepalanya.
Pria itu adalah ayah yang selalu berpikir dengar otak kirinya. Kotak pertama menggambarkan bagaimana cinta ayah dan ibu, saat mereka bertemu dan menikah. Lalu saat ibu mengandungku dan betapa ayah sangat menanti kelahiran putra pertamanya. Cerita bergeser saat aku masih dalam buaian, ketika ayah dengan setia menemani ibu menimangku. Kemudian saat aku menjadi bocah laki-laki kesayangan ayah, saat itu ayah mengajariku segalanya. Kami bermain bersama dan saat itulah ayah menjadi idolaku. Aku bahkan pernah bercita-cita untuk menjadi seperti ayah. Kotak selanjutnya menceritakan kehilangan kami, kehilangan keluarga ini. Ketika aku remaja, ibu meninggal. Yang terakhir, ayah hidup dengan dunianya sendiri dan aku menjadi kutu di kepalanya.
Aku merindukan ayah yang dulu, aku merindukan kehangatan yang dulu. Hal yang hanya akan terjadi dalam mimpiku saja. Segera kuambil sebuah botol obat kecil dari tasku. Dengan penenang inilah aku bertahan menghadapi ayah selama tiga tahun. Karena aku hanya meminumnya kemudian tertidur bersama mimpi indahku. Semuanya kembali menjadi samar, musik masih menghentak, tirai masih bergolak, dinginnya udara malam juga menyeruak. Aku bersiap untuk bermimpi, ibu. Kemudian kurasakan hangat meliputi tubuhku. Dengan sisa ruang terbuka dari mataku, kulihat pria renta itu berkeliaran di studioku. Dengan sisa kepekaan indera, kurasakan dia membelai kepalaku dengan lembut. Dengan sisa pendengaran yang masih terjaga, aku mendengarnya menangis di hadapanku. Apa aku mulai bermimpi, ibu?
Pagi menyapaku lewat pancaran sinar matahari yang menyeruak melalui jendela. Aku terbangun dan langsung bergegas bangkit menuju dapur. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamar. Ini bukan di rumah. Ini sudah dua hari aku keluar rumah dan pergi jauh dari ayah.
“Toma, kau sudah bangun? Acaranya akan segera dimulai. Ayo cepat sarapan. Aku menunggumu di bawah,” seruan itu muncul dari balik pintu. Saat kubuka, Donald temanku sudah berada di depan pintu kamarku.
“Syukurlah kau sudah bangun. Ayo cepat,” katanya.
Kini aku berada di meja makan, menikmati sarapan pagi yang mewah ala hotel berbintang dan juga secangkir kopi. Puluhan pelayan mengenakan iket juga kain papan catur berseliweran di sekitarku.
“Hasilnya akan segera diumumkan. Aku sudah tidak sabar ingin membuktikan ke orang tuaku bahwa aku memang berbakat. Apa ayahmu akan hadir?”
“Entahlah. Aku sudah menyelipkan undangan dan tiketnya di bawah cangkir tehnya. Tapi aku tak begitu berharap dia akan datang. Dia tidak akan tertarik.”
“Itu karena kau melarikan diri. Coba kalau kau bercerita dengan cara yang lebih baik. Pasti dia akan datang dan bangga karena lukisanmu menjadi finalis sepuluh karya terbaik tahun ini.”
“Dia tak akan mendengarkanku.”
Di jam yang telah ditentukan, pameran pun dibuka. Banyak karya pelukis terkenal yang terpajang. Karyaku dan beberapa finalis lain juga dipajang. Karya yang kubawa adalah si pria otak kiri dan kutunya. Riuh menggema ketika pengumuman tiga karya terbaik kategori mahasiswa mulai diumumkan. Tapi apa artinya tanpa kedatangan pria itu. Aku hanya tersindir dengan kehangatan keluarga lain. Aku menuju pintu keluar ketika foto lukisanku tiba-tiba terpampang di layar berukuran dua kali tiga meter. Seluruh perhatian hadirin langsung tertuju pada layar yang bertuliskan juara satu. Kemudian tepuk tangan riuh menggema memenuhi ruang pameran. Juga mereka yang kini sedang berada tepat di depan lukisanku, mereka segera menarikku dari pintu dan memberiku ucapan selamat.
“Ini dia karya terbaik untuk tahun ini dalam kategori mahasiswa. Karya Toma Dwipa,” seru pembawa acara. Lampu sorot segera menangkapku dalam lingkarannya dan mempersilahkanku naik panggung. Di sana aku sedikit gugup disambut rentetan pertanyaan.
“Apa kabar Toma? Bagaimana rasanya menjadi yang terbaik di tahun kompetisi ini?”
“Aku tak menyangka. Kalau aku tahu akan naik panggung, mungkin aku akan bersiap dengan menyisir rambutku.”
Semua orang tertawa mendengar jawabanku juga si pembawa acara. Semetara aku hanya menggariskan sebuah senyum tipis. Ini memang miris karena aku hanya mengenakan kaos putih oblong dan jeans belelku yang berlubang di dua lututnya. Juga rambut gondrongku yang masih terkuncir dengan karet gelang.
“Karyamu diakui oleh semua juri. Mereka menyukai pekerjaanmu, bahkan mereka bilang lukisan ini adalah karya dari dalam hati. Bagaimana proses penciptaannya? Siapa inspirasimu?”
“Ayah.”
“Berikan cerita singkat tentang karya hebatmu itu Toma. Silahkan.”
“Aku selalu melihatnya dari jauh, memandangi caranya bekerja. Tanpa pernah berniat untuk menatapnya lebih dekat atau jujur bahwa aku ingin bercerita. Rasanya mustahil untuk berbicara dengan kata karena ia hanya akan memaki pilihanku. Sesekali aku mulai berpikir, mungkin apa yang ayah katakan memang benar. Aku seolah arus yang tak mau dialihkan dan akhirnya kerontang di tengah jalan. Aku menolak kemudahan yang ditawarkannya hingga sekarang aku menjadi musuh baginya. Seorang pemberontak,” kataku perlahan.
Sejenak aku menghela nafas sambil memandangi hadirin yang ada di ruangan ini. Sebenarnya aku mencari satu orang yang kuharap akan datang dan menyemangatiku, juga inspirasiku. Tapi sepertinya mustahil.
“Dengan karya inilah aku berbicara, dengan inilah aku bercerita pada ayah bahwa aku merindukannya yang dulu. Ketika aku masih jadi jagoannya. Ketika ia masih setia menemani ibu menimangku. Ketika ia mengajariku rumus matematika dan mengasah logikaku. Tapi kemudian aku tersadar, semua itu hanya masa lalu dan berakhir menjadi siluet. Kenyataannya hanyalah ada aku dan ayah yang menjadi ular dan merak. Tapi ular bukanlah sebenarnya aku. Aku hanya seekor kutu. Makhluk pengganggu yang sulit dihilangkan, yang hanya bisa menempel di kulit kepala dan membuatnya gatal,” aku kembali berhenti.
Kembali aku mengarahkan pandangan ke seluruh ruang, tapi tetap saja nihil. Di antara suara tawa mereka yang hadir, aku justru ingin memaki. Seandainya ayah berada di sini dan mau mendengarkanku seperti semua orang. Pintu ruangan terbuka dan aku melihat seorang pria tersesat memasuki ruang pameran. Ia mengenakan jas hitam rapi, berjalan ditopang tongkat mahal dan melangkah mantap dengan sepatu kinclongnya. Rimbunnya uban yang memenuhi kepala ia tutup setengahnya dengan topi fedora. Ia berdiri tepat di hadapanku dan ikut bertepuk tangan seperti yang lainnya. Seketika senyumku mengembang menyambut kedatangannya.
Bukankah kau terlalu rapi untuk datang ke pameran, ayah?
“Seperti yang ayah selalu katakan padaku. Akulah kutu di kepala ayah.”

-o-

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 16

Leil, Jossie dan Pierre bertemu di satu titik. Apa yang terjadi? Kemanakah arah pembicaraan Leil dan Jossie yang menjauh dari Pierre dan akhirnya pergi? Langsung saja, aku tidak pandai berbasa-basi dan berpromosi. Selamat membaca keping ini…

LEIL
“Aku tak ingin mengganggumu. Aku akan kembali ke bukit, jadi kau bebas berbicara dengan Jossie tanpa harus menjauh dariku. Terima kasih untuk hari ini, nona Grazdien.”
Begitulah kalimat yang samar kudengar dari bakatku, Pierre sudah pergi? Jelas itu suara Pierre. Pembicaraan dengan Jossie mulai sia-sia, kami hanya saling membantah.
“Josh, kau adalah temanku. Begitu juga Pierre. Untuk apa berdebat tentang hal tidak berguna seperti ini?”
“Bagiku ini berguna. Aku tak ingin melihatmu terluka.”
“Tapi Pierre tidak mungkin melukaiku. Bahkan dia tak akan membiarkanku berkali-kali terjatuh karena berjalan sambil melamun.”
“Mungkin sekarang masih seperti itu. Tapi jika benar dia bukan manusia, aku yakin kau adalah orang pertama yang akan tersakiti karena terkhianati.”
“Terima kasih atas sikap cerewetmu hari ini Josh. Sayangnya aku harus kembali menemui Pierre dan meminta maaf atas sifat kekanakanmu.”
Aku mencoba menyusul Pierre menuju bukit, bahkan aku berlari agar tak kehilangan jejaknya. Sebenarnya apa yang diungkap Jossie ada benarnya. Aku bahkan tak tahu dimana Pierre tinggal. Selama ini aku hanya tahu kalau dia berkeliaran di jalanan sekitar toko June dan berlabuh di bukit ini. Setelah itu aku kehilangan jejaknya, benar-benar hilang. Ya, dia menghilang bahkan dari bukit ini juga. Aku berhenti untuk melonggarkan paru-paru. Memandangi sekitaran makam dan tetap saja kosong. Tak ada siapa pun di sini, aku terengah sendiri. Padahal aku berharap bisa mendengar apa saja dengan bakatku. Tapi nihil. Aku tetap menuju makam itu dan duduk di sampingnya. Aku akan tetap menunggunya.
Suara gelepak burung yang keluar dari hutan membangunkan aku dari tidur. Astaga, terlalu banyak waktu kuhabiskan untuk menunggu Pierre hingga aku terlelap. Bahkan pohon pinus menjulang yang mengitariku kini terlihat bagai sebuah siluet. Terangnya cahaya matahari sudah meredup dan kabut menghalangi pandanganku. Mungkin ini terlalu sore untuk berada di sini. Tapi Pierre? Apakah dia tak datang kemari? Atau dia datang selagi aku terlelap lalu pergi lagi?
Aku bergegas pulang menuruni bukit. Sesuatu yang aneh tengah mengintaiku, aku melihat sepasang bola merah terang menyembul dari balik semak. Bukan hanya satu tapi ada beberapa pasang. Aku curiga mereka bukan hanya gerombolan serigala liar yang biasa melolong di hutan. Bagaimana jika mereka memasukanku dalam menu makan malamnya? Tapi aku tak mendengar sedikit pun percakapan di antara mereka. Semoga saja mereka hanya hewan liar.
Berbekal dugaan yang belum terbukti, aku malah mendekati semak. Kulihat mereka mundur dan menarik diri dari jangkauanku. Rasa penasaran justru semakin tinggi daripada hasrat untuk melarikan diri. Aku semakin dalam masuk ke semak tapi tak ada apapun hingga kudengar suara raungan singkat. Begitu mengerikannya raungan itu hingga harusnya kakiku kaku. Tapi aku tetap berjalan mengikuti aliran adrenalin. Kutemukan bercak darah yang membasahi permukaan tanah. Bukan hanya membasahi, tapi membanjiri. Darah apa ini?
Suara tembakan meluncur, menggema di udara. Aku bahkan tak tahu kalau ini musim berburu. Jadi, mereka kah yang melakukan perburuan ini. Apa mungkin darah itu dari pembantaian hasil buruan mereka? Tapi itu begitu banyaknya. Aku terus menembus semak hingga di ujungnya aku menemukan rawa. Jejak darah berakhir di sana tapi aku tak menemukan binatang terluka atau apapun yang mungkin menjadi pemilik kucuran darah itu. Justru aku menemukan tapak kaki yang cukup besar di antara tanah rawa yang lembab. Aku mendekatinya untuk memeriksa jejak misterius itu. Aku melihatnya sepintas sebelum air rawa merembes dan menutupnya. Kuputuskan itu jejak binatang sejenis kucing, tapi kucing yang cukup besar.
Kumasukkan tanganku dalam genangan air dan meraba jejak yang menekan tanah itu. Meski aku bukan pemburu binatang, tapi ayah pernah mengajakku sekali dan aku belajar banyak tentang perburuan. Beruntung aku memiliki sedikit ilmu berburunya jadi aku bisa menerka kira-kira jejak apa ini. Ukurannya lebih panjang dari jejak singa. Juga lebih besar dari golongan kucing besar yang terbesar sekalipun. Bahkan di Viga tak pernah ada riwayat kehidupan kucing besar. Lalu dari mana jejak ini muncul?
Tiba-tiba semak di seberang rawa bergerak dan aku tak siap untuk menyambut mereka yang datang. Kumohon jangan lagi ada kejadian aneh yang menimpaku. Sebuah cahaya dari senter terarah tepat ke wajahku. Aku tak bisa melihat apapun, hanya silau.
“Leil?” sapa pemilik senter yang kemudian mengalihkan sorot cahayanya dari wajahku.
“Jossie?” Ia segera menghampiriku dan tak sendirian, ada empat orang yang kukenali sebagai pemburu terkenal di Viga.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
“Aku hendak pulang. Tapi tersesat karena sudah terlalu gelap,” jawabku berbohong. Padahal jelas saja aku masih bisa melihat sekitarku.
“Dan kau?” lanjutku. Jossie mengangkat senapan dan menunjukkannya padaku. Juga ia menunjukkan semua orang yang ikut bersamanya.
“Aku mencari sesuatu yang mereka juga cari dan akhirnya aku bertemu denganmu,” jelasnya.
“Sesuatu yang mereka cari?”
“Aku bertemu mereka di cafĂ© Terry. Mereka tengah memburu binatang buas yang beberapa hari ini muncul di hutan. Jadi kupikir, aku akan ikut. Sekaligus mencarimu.”
Sekaligus mencariku? Jadi aku bukan prioritas yah? Sudahlah lupakan. Tentang mereka yang bersama Jossie, aku pernah melihat mereka di foto berburu ayah. Tentunya sebelum ayah memutuskan untuk berburu sesuatu yang lebih langka. Apa tadi Jossie mengatakan binatang buas?
“Binatang buas?”
“Kemarin malam anak laki-laki Terry melintasi bukit ini dan melihat serigala hitam besar tengah mengoyak kijang. Jadi kupikir, kami akan mencoba menemukannya. Kau tahu kan betapa besar aku penasaran dengan kegiatan berburu?” kata Jossie.
“Kulihat kau tadi tengah mengamati sesuatu di tanah. Apa ada yang kau temukan, Leil?” sambar seorang pemburu yang berbadan paling besar. Jadi apa yang harus kukatakan? Bahwa aku menemukan jejak kaki kucing sebesar anak gajah? Ini gila, mereka akan menyangka kepalaku terbentur lagi. Atau lebih parahnya mereka akan mengira aku mulai gila.
“Sebaiknya kami segera menemukan serigala itu sebelum dia menjadi masalah. Sekalipun dia bukan serigala yang sesungguhnya,” sahutnya. Tiba-tiba tanganku gemetar tak bisa kukendalikan. Aku diam ditusuk kebekuan dari pernyataan si pemburu. Bagaimana jika jejak yang aku temukan memang milik serigala besar itu? Jika sebesar itu, tak mungkin serigala sesungguhnya bukan? Werewolf?
“Leil? Kau belum menjawab pertanyaannya. Apa kau menemukan sesuatu?””
“Tidak ada. Aku hanya sedang cuci tangan,” jawabku sambil nyengir. Jossie masih memandangiku dengan wajah curiga aku tengah menimbun sesuatu dalam pikiran. Sementara tanganku menggaruk tanah dalam rembesan air rawa untuk menghancurkan jejak kaki besar itu.
“Maukah kau mengantarku pulang, Josh?”
“Tentu.”
Aku duduk di teras rumah, tepat di sebuah sofa usang kesayanganku. Jika dilihat tampilannya, mungkin tak ada yang mau duduk di sini. Bahkan ayah juga sempat menyingkirkannya ke tepian tempat sampah agar petugas ikut mengangkutnya. Tapi bagiku, ini sangat nyaman. Selain itu, ini menyimpan semua kenangan atas sosok ibu. Dulu, aku sering tertidur di sofa ini karena aku tak bisa tidur di kamarku sendiri. Mimpi buruk selalu membayangi jadi aku tak bisa memejamkan mata di ruang sempit itu. Lalu aku kemari, mencoba tidur sambil meringkuk karena kedinginan. Ibu akan memeriksa ke kamar dan memberiku selimut saat dia tahu aku tak ada di kamar. Teringat pula lagu tidur bernada indah yang selalu mengantarkanku menuju terlelap.
“Kopi?” kata ayah sembari menyodorkan secangkir kopi ke meja di sebelah sofa.
Aku tetap tak berkutik. Ayah juga sedang asyik dengan cangkir besarnya. Aroma kopi menuntunku untuk bangun dan tak membuatnya menunggu hingga dingin. Segera kuraih cangkirku dan menikmatinya. Aromanya yang khas dan kehangatan yang ditawarkannya, bagaimana aku bisa menolak secangkir kopi? Langsung saja kuteguk perlahan.
“Malam yang tenang, bukan?” aku hanya mengangguk.
“Ayah, bagaimana perburuanmu?” tanyaku tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin mengaitkan pertanyaan ini dengan cerita Jossie mengenai serigala besar yang berkeliaran di bukit.
“Aneh? Kau tak biasanya menanyakan tentang pekerjaanku.”
“Aku hanya ingin tahu. Ayah selalu berhadapan dengan makhluk itu sementara aku masih ketakutan dan hanya bisa bersembunyi di balik perlindunganmu.”
“Mereka punya aturan sendiri. Lagipula yang aku buru hanya makhluk rendahan. Mereka yang menghuni kasta rendahan lah yang memiliki hasrat menggebu akan darah manusia. Bahkan vampir bangsawan tak pernah kutemukan melakukannya. Akhir-akhir ini para bangsawan yang melakukan perburuanku. Jadi aku bisa liburan,” jelas ayah sambil tertawa. Ayah begitu memahami tentang vampir dan aku memakluminya karena itu memang pekerjaannya. Memburu vampir yang meresahkan warga. Bahkan sesekali, ayah berburu ke luar Viga memenuhi permintaan pelanggannya.
“Aku tak akan bisa melawan para bangsawan. Mereka memiliki kekuatan yang tak tertandingi jadi sama saja kau cari mati jika mengusiknya. Lagipula, aku tak memiliki dendam pada mereka. Aku hanya tak ingin ada lagi keluarga yang berduka karena vampir rendahan,” tambahnya. Kini ia semakin menggebu.
“Bagaimana dengan werewolf?”
“Leil?”
“Maafkan aku. Lupakan saja.”
“Apa ada yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Jangan mencoba menyembunyikan apapun dariku. Aku akan mengetahuinya dan jika kau ada masalah, jangan ragu untuk mengatakannya. Aku bersedia memburu pria manapun yang menyakiti putriku.”
“Ayah,” rengekku.
“Apa? Kau mau mengatakannya?”
“Kau berlebihan.” Ayah terkekeh.
“Akan kulakukan semuanya demi putriku tersayang,” katanya sambil duduk tegap dan meletakan tangan kanannya di dada. Seolah dia tengah bersumpah setia pada negara.
“Terima kasih ayah.”
Aku kembali meringkuk dan memandangi pohon tomat dalam pot kecilku. Dia terlihat tumbuh lebih cepat atau aku yang melewatkannya begitu lama? Konyol, ketika bayangan wajah Pierre muncul di samping pohon itu. Ya, pohon itu memang membuatku teringat padanya. Pria aneh yang muncul dari antah berantah, mengacau di toko dan kini ia mengacau di pikiranku. Siapa dia sebenarnya?
Mulai kupertimbangkan setiap pertanyaan yang pernah Jossie lontarkan. Kucoba memahaminya dan kuputuskan aku memang tak mengerti apapun mengenai Pierre. Tapi hal itu tidak akan membuatku mundur. Justru akan memacuku untuk mencari lebih dalam.
“Jangan terlalu lama di luar. Segeralah masuk,” kata ayah sambil menarikku dari posisi malas di atas sofa. Aku berdiri dan menyambar cangkirku. Ayah mendorong tubuh malasku untuk masuk. Ini seperti masa kecilku saat aku harus masuk sekolah jam tujuh pagi dan malas untuk mandi.
“Ini seperti masa lalu,” kenangku.
“Tidak. Kau bukan bocah perempuan malas mandi yang dulu lagi. Kau adalah gadis cantik ayah yang menjadi rebutan siswa di kelasnya waktu SMA.”
“Kau selalu berlebihan ayah,” balasku.
Kutambahkan sebuah tawa kecil di antara jawabanku atas pernyataan ayah. Lalu tanpa sadar, aku merasa harus menarik kembali senyumku. Aku merasa ada yang mengawasiku dari kejauhan. Mungkin dia berpikir untuk tetap diam agar aku tidak mendengarnya. Tapi aku merasakan kehadirannya. Dia ada di sana hanya saja, tetap diam.

(Bersambung…)