Laman

Pages - Menu

Kamis, 10 Desember 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 18


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside.
Kejutaaan, bagaimana? Sudah siap untuk dapat fakta mencengangkan minggu ini? Sudah numpuk semua penasaran dari minggu lalu? Siap dan ledakkan!

LEIL
“Apa yang terjadi?”

Ayah mulai membereskan barang-barang yang masih berguna dari semua kekacauan ini. Aku menerobos tiang pintu dan menuju teras. Ternyata di sini lebih kacau, atap teras rumah rontok bagai disapu tornado. Pot tomatku pecah dan tanahnya berserakan. Bahkan beberapa dahannya juga patah karena terinjak-injak. Sofa kesayanganku berlumuran darah yang mulai kehitaman. Aku masih berpikir ini hanya mimpi buruk, bahkan berharap kalau aku belum bangun dari tidur.

“Leil, sebaiknya kau juga segera berkemas. Rumah ini bisa kapan saja roboh,” seru ayah. Ya, dia tengah mengemas semua pakaiannya dalam tas besar dan mulai melempar beberapa barang juga foto-foto ke atas truk.

“Baru saja aku akan mendapat bonus dan musibah ini malah datang. Berapa banyak yang akan kita butuhkan untuk memperbaiki rumah ini?” keluhku.

“Jika biaya renovasinya lebih mahal dari pada pembuatan rumah baru, maka aku akan meratakannya sekaligus. Maaf mengecewakanmu sayang.” Ayah merangkul bahuku.

“Lalu mengapa kau tak bergerak untuk berkemas? Kulihat kau hanya mondar-mandir setelah memungut tomatmu. Apa yang kau cari?”

“Entahlah, aku merasa ada yang benda berharga yang hilang dari kekacauan ini.”

“Maksudmu, ini perampokan?” aku menggeleng. Masih mencoba mencari benda lain yang luput dari pemikiranku. Benda berharga yang akan kupertahankan demi sebuah balasan yang setimpal. Benda yang bersamaku sebelum kekacauan ini muncul. Astaga!

“Laporan keuangan toko June,” seruku dan langsung menuju teras yang porak poranda. Habislah aku jika buku itu ikut hancur. Bukan hanya catatan keuangan selama setahun ini tapi juga pekerjaanku. Aku bisa gila jika tak kutemukan, June akan memecatku tanpa keraguan. Mungkin juga ditambah potongan gaji karena aku mengganggu hari baiknya. Astaga! Aku terus mengorek tiap sudut teras rumahku dan tak menemukan apapun. Ayah berdiri di tiang pintu dan menatapku.

“Kau menemukannya?” aku hanya menggeleng.

“Sudahlah. Cepat berkemas, aku akan membantumu bicara pada June.”

Dengan lemas aku kembali masuk ke dalam rumah yang kini tak berpintu dan tak berjendela. Menuju kamar untuk mengemas pakaian dan barang-barang yang terselamatkan. Mengemasnya dalam satu tas besar. Saat kulipat selimut tebal bermotif bunga milikku, sesuatu yang ajaib terjadi. Hal itu membuatku berteriak nyaring dan ayah bergegas datang dengan senapan di tangan.

“Ada apa?”

“Aku menemukannya!”

Kutunjukkan dua buku milik June yang tadi kucari. Ternyata mereka sudah ada di dalam kamarku sendiri. Syukurlah, aku bahagia mereka berdua selamat dari kekacauan ini. Orang yang memindahkanku pasti tahu aku tengah mengerjakan buku ini hingga ketiduran. Karena itulah dia ikut menyelamatkan dua buku ini. Tunggu, itu artinya dia sudah mengawasiku jauh sebelum tiga vampir itu datang?

“Ayo berangkat.”

“Baiklah.”

Ayah sudah melemparkan semua tas ke truk dan kini ia mendekatiku yang masih diam memandangi rumah yang porak poranda. Ayah juga mengikuti apa yang kulakukan. Rumah tercinta kami hancur karena kekacauan yang parah. Meski ayah bilang dia bisa meratakannya dengan tanah. Tapi aku tak yakin dia akan melakukannya. Karena rumah ini penuh dengan kenangan kami sebagai keluarga kecil yang bahagia. Ayah dan ibu sudah tinggal di rumah kecil ini sejak hari pernikahan mereka. Juga aku yang tumbuh di sini sampai umurku sekarang. Akan menjadi perkara sulit untuk bergeser ke rumah lainnya.

“Begitu kacau,” gumamku dan kulihat ayah hanya mengangguk.

“Akhirnya benda itu hancur juga,” katanya sambil menunjuk sofa favoritku. Kupukul bahunya dan ia hanya tertawa.

“Kau bisa memperbaikinya?”

“Aku bisa membelikanmu yang baru.”

Dalam perjalanan, aku terus melamunkan apa yang terjadi. Jika itu penyerangan, tapi mereka tak menyerangku. Aku merasa ada yang aneh dengan penyerangan itu. Aku merasa ada satu pihak yang menyelamatkanku dan terus mengawasiku. Sama seperti serangan vampir yang dulu merenggut ibu. Ajaibnya saat itu ada sekawanan werewolf yang melintas dan menyelamatkanku. Anehnya lagi, malam itu aku seperti mendengar suara Pierre. Aku masih memeluk pohon tomat yang kini akar dan tanahnya kumasukan dalam kantong plastik. Ayah melirik ke arahku dan pohon tomat.

“Kau membawanya juga? Padahal aku curiga pohon itu tak bisa bertahan lagi, dia tengah sekarat, buang saja.”

“Kalaupun dia sekarat, aku yang akan memberinya keajaiban. Aku akan menyembuhkannya,” sahutku.
Benarkah aku bisa memberinya keajaiban? Atau lebih tepatnya, apakah aku punya keajaiban untuk melakukannya? Sampai saat ini pun aku masih berharap ada keajaiban yang menyelamatkanku dari semuanya. Hanya keajaiban yang akan membuatku kembali berteman dengan Pierre. Hanya keajaiban yang mampu membuat Pierre bicara padaku tanpa rasa tertekan ataupun menyesal. Lalu apa yang aku punya sekarang? Hanya harapan. Aku masih terus berharap akan datang waktu yang tepat ketika semua yang aku harapkan menjadi sebuah kenyataan.

Kusandarkan tubuh ini pada pintu truk meski sesekali jalanan berbatu membuatku ikut terguncang dan terbentur. Ayah hanya melirik melalui kaca depan dan seolah tak mau menggangguku karena ia tengah fokus pada jalanan.

“Kalau kau lelah, tidur saja. Akan kubangunkan ketika kita sampai di rumah Nyonya Franklin,” kata ayah tiba-tiba.

Tapi bukan itu yang kupikirkan, bukan itu yang membuatku merenung. Bukan itu yang membuatku diam dan sejenak mulai berpikir keras. Bukan berpikir juga, aku tengah terjebak perasaan yang aku sendiri tak mengerti. Satu yang terlintas dibenak hanyalah pria aneh itu. Pria tinggi menjulang bermata turquoise terang yang selalu membuatku terpaku. Aku terus memikirkannya. Dimana kau berada, Pierre?

“Ayo turun. Kita sudah sampai,” ajak ayah yang langsung melompat turun.

Aku masih diam di kursi, memandangi rumah Jossie yang seluas istana. Bahkan halamannya sangat indah dengan air mancur dan deretan bunga taman yang sayangnya belum waktunya mekar. Lima orang pelayan berderet menyambut kami, ayah yang tengah menemui mereka untuk berbasa-basi. Kemudian mereka semua membantu mengangkat beberapa barang yang ayah bawa. Kami meninggalkan perabotan tetap di truk. Seseorang membukakan pintu truk dan menyambutku dengan uluran tangan.

“Selamat datang, tuan putri,” sapanya.

“Jossie, kau berlebihan.” Aku menerima uluran tangannya dan membiarkannya membantuku turun. Padahal aku juga bisa turun sendiri. Ya, seperti yang kukatakan dia berlebihan.

Saat aku turun Nyonya Franklin sudah berdiri di samping truk dan langsung menyambutku dengan pelukan. Wangi mawar menguar dari tubuhnya. Dia sangat menyukai mawar. Ia tampil sangat anggun dengan gaun peach yang elegan. Dengan make up tipis dan rambut pirang panjangnya yang tergelung.

“Selamat datang di rumahku, sayang.”

“Terimakasih kalian sudah mau menampungku dan ayah. Maaf jika merepotkan kalian sekali lagi,” jawabku sambil menunduk. Sungguh aku tak enak hati dengan mereka yang selalu membantuku jika dalam kesulitan.

“Dengan senang hati, anakku.” Nyonya Franklin langsung menggiringku masuk.

“Pasti kejadian itu sangat mengerikan,” kata Nyonya Franklin. Dia masih menggenggam tanganku dan kami berjalan beriringan.

“Entahlah. Aku tengah tidur dan begitu bangun, semuanya sudah berantakan. Itu terlalu cepat,” jawabku setengah menutupi cerita. Aku merasa belum nyaman jika kubeberkan semua yang kulihat malam itu. Berhubung hanya aku yang melihatnya, jadi aku akan menyembunyikannya.

Menjelang sore hari, aku mulai memindahkan tomatku ke pot yang baru. Tanganku masih terus mengaduk tanah dengan pupuk organik dan memasukannya dalam pot. Saat ini aku tengah berbuat ‘kekacauan’ di sebuah ruang luas samping dapur. Pelayan biasanya menggunakan ruang ini untuk menumpuk kardus dan barang bekas, jadi tak masalah jika aku menggunakan tempat ini untuk sesuatu yang lebih berguna, bukan?

“Mengapa kau melakukan hal itu di sini? Aku takut kau mengotori lantainya,” bisik ayah tepat di telingaku.

“Mengapa ayah harus khawatir tentang itu? Bukankah Jossie memiliki banyak pekerja di rumahnya yang bersedia membersihkan apa yang kulakukan?” jawabku sewot. Ayah terlihat kesal dengan jawabanku dan ia menarik daun telingaku hingga aku berteriak nyaring karena kesakitan

“Ayah!” seruku.

“Jangan bandel. Ini rumah orang, hormati pemiliknya.”

“Leil?” panggil Jossie. Mungkin ia tertarik dengan suara nyaringku. Seketika ayah langsung melepas telingaku. Sementara aku hanya bisa menyapa Jossie dengan senyum meringis sambil menggosok telinga yang memerah.

“Aku akan kembali ke rumah untuk memulai perbaikan. Kau bersikaplah dengan baik di sini. Jangan terlalu merepotkan Jossie dan Nyonya Franklin,” kata ayah.

Begitulah dia berbasa-basi untuk pergi meninggalkan kami hanya berdua. Jossie hanya mengamati apa yang tengah aku lakukan. Mengembalikan tomat yang sekarat pada pot baru yang terlihat lebih mewah dari sebelumnya. Aku menemukannya di taman Jossie, daripada pot itu kosong jadi kupakai saja. Aku yakin dia tak pernah keberatan jika aku melakukannya.

“Tomat itu hampir mati, Leil.”

“Kau mengatakan hal yang sama dengan ayah,” dengusku. Jossie hanya tersenyum, ia lalu mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia mengamati tomatku dengan seksama.

“Apa arti pria itu bagimu? Tomat itu ada hubungannya dengan pria itu bukan? Apa arti Pierre bagimu, Leil?” tanya Jossie tiba-tiba. Pertanyaannya menghentikan laju tanganku, pertanyaannya mulai mengusik ketenanganku. Mengapa pula Jossie mengatakan hal itu?

“Aku yang bersedia setiap hari bersamamu. Aku yang berkali-kali menyatakan kekagumanku padamu. Aku yang memerhatikanmu dan berusaha terus menjagamu. Saat ada pria lain, hatiku tidak merelakan hal itu terjadi. Aku tak mau melihat ada pria lain yang mendapat perhatianmu lebih dari perhatianmu padaku. Aku ingin selalu menjadi milikmu. Pria itu membuatku cemburu. Aku cemburu,” ungkap Jossie. 

Seketika jemariku menempel di bibirnya. Menghentikan beberapa kalimat yang mungkin masih akan dikeluarkannya. Ia menatapku lekat hingga kualihkan pandangan menuju tomat yang masih berantakan.Jossie mengalihkan jemariku dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menopang bagian belakang kepalaku. Dia mendaratkan kecupan singkat di bibirku, aku terbelalak dengan aksinya. Setelah kecupannya berakhir, aku segera melarikan diri darinya. Meninggalkan Jossie dan pot tomat yang masih berantakan.

Ada apa dengaku yang terus memikirkan pria aneh itu dan tak bisa melupakannya. Padahal awalnya aku menghindari pria itu. Diam di tepian jendela dan merenungkan betapa bodohnya tindakanku, masuk dalam sergapan Jossie. Aku merasa aneh saat dia tiba-tiba menciumku. Tapi aku tak merasa bahagia, aku tak merasa menjadi Leil si gadis kota yang normal yang mengejar seorang flamboyan bernama Joshua Franklin. Jika aku masih gadis yang dulu, bukankah seharusnya aku bahagia karena Jossie menciumku? Bukankah aku harusnya merasa menang dari semua gadis? Bukankah harusnya aku tengah berpesta dan melompat girang karenanya? Tapi apa yang sedang kulakukan? Merenung dan menyesali peristiwa itu? Mengutuk diriku seolah aku telah melakukan kesalahan besar pada seseorang dan yang terbayangkan hanya pria itu. Pierre.

Ketukan halus mendarat di pintu kamar sementara aku masih tak bergeming dari jendela. Sesekali angin menerpa gaun tidur satinku dan membuatnya melayang tak keruan bertabrakan dengan tirai jendela. Ketukan kembali menggema, dengan malas kulangkahkan kakiku menuju pintu. Jemariku telah bersiap di gagang pintu ketika ketukan itu berubah menjadi sebuah suara.

“Leil, waktunya makan malam. Semua orang sudah ada di ruang makan dan kami menunggumu. Jadi turunlah segera,” kata Jossie di balik pintu dan membuat jemariku kaku seketika. Kuurungkan niat untuk membuka pintu. Apa lagi ini? Makan malam bersama dan aku akan bertemu Jossie lagi?

Meja telah terisi beberapa menu makan malam yang bagiku special karena aku dan ayah jarang makan malam dengan menu yang begitu banyak. Aku duduk di satu-satunya kursi yang masih kosong di dekat Nyonya Franklin.

“Kau sudah mau tidur?” tanya Nyonya Franklin. Mungkin ia tertarik untuk menanyakannya setelah melihatku mengenakan gaun tidur.

“Aku hanya tidak terbiasa makan malam bersama. Apa aku harus berganti pakaian?” tanyaku. Ayah hanya menatapku datar seolah ia kesal dengan tingkahku. Kami pun memulai makan malam, Jossie duduk tepat di hadapanku. Bayangan peristiwa sore tadi membuatku terus tertunduk tak berani menatapnya.

“Ah, airku habis,” kata ayah sambil mengangkat gelasnya. Jossie dengan sigap mengambil gelas ayah dan mengisinya kembali. Ayah tersenyum puas setelah meneguk airnya.

“Senang sekali, rasanya seperti aku punya menantu,” celetuk ayah. Aku nyaris tersedak mendengarnya. Nyonya Franklin menyodorkan gelas sambil mengusap bahuku.

“Ya. Kurasa mereka sudah berada di usia yang matang untuk menikah,” tambah Nyonya Franklin. Ayah terbahak mendengar persetujuan Nyonya Franklin. Jossie juga ikut tersenyum.

“Apa itu lampu hijau untukku ibu?” tanya Jossie. Kuletakan sendok dan garpu di atas piring yang telah kosong.

“Terima kasih makan malamnya. Aku sudah selesai, selamat malam.” Aku segera undur diri. 


(Bersambung…)

Jumat, 04 Desember 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 17

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Keping 17 tersedia. Quotesnya adalah ga perlu nunggu ulang tahun supaya dapet kejutan. Spoiler: keeping ini berisi kejutan kecil. Pembuka keran penasaran untuk kelanjutan keeping berikutnya. Happy reading…

LEIL
“Siapa yang kau cari?” tanya June setelah melihatku berkali-kali melongok ke arah jalanan. Kupikir ia tak menyadarinya karena sibuk dengan kalkulatornya.
“Apa kau melihat Pierre melintas?”
“Pria aneh itu. Ternyata kau masih penasaran padanya. Cobalah untuk tetap fokus pada Jossie. Kau mengabaikannya terlalu lama.”
“Kemarin kami baru saja bertemu.”
“Benarkah? Apa dia mengajakmu makan malam lalu melamarmu dengan cara yang romantis? Aku sudah menduga bahwa dia ingin serius denganmu.”
“June? Kami bertemu di hutan. Mungkin dia merindukan senapannya. Dia berburu lagi bersama beberapa pemburu yang juga teman ayah.”
“Astaga Leil, sedang apa kau di hutan?”
“Aku menunggu Pierre.”
“Pantas saja Jossie memilih berburu. Mungkin dia mencari kepala lain yang bisa ditembaknya. Aku merasakan kekesalan yang dirasakan Jossie atas sikapmu itu. Jika aku jadi Jossie, akan kulepaskan seekor kelinci bertopeng wajahmu dan kutembak dari kejauhan.”
“Lucu sekali June,” kataku sambil menguap lebar. Seharian ini aku mencoba fokus pada pekerjaanku. Tapi sia-sia, aku masih terus memikirkan Pierre juga pertanyaan Jossie. June malah menimpakan dua buku besar di hadapanku. Kulirik jam tanganku untuk memastikan bahwa jam kerjaku segera berakhir.
“Kerjakan laporan keuangan untuk bulan ini. Akan kutunggu besok pagi.”
“Maaf, jam kerjaku habis,” jawabku dengan senyum nakal.
“Kau akan mengerjakannya di rumah. Bukankah itu baik-baik saja? Manfaatkanlah kecerdasanmu untuk melakukan hal yang berguna. Setidaknya itu lebih baik daripada minum kopi sambil memandangi pot tomat.”
“Astaga, darimana kau tahu?”
“Ayahmu menelponku kemarin malam. Dia mengeluhkan sikapmu yang melamun di teras rumah dan tak akan bangkit jika tak ada kopi. Kupikir aku akan memberimu pekerjaan hingga kau tak punya waktu untuk melamun.”
“Sempurna,” jawabku kesal. June hanya mengangguk.
Ia kemudian mulai menutup tirai tokonya dan membereskan semua peralatan. Jam berdentang sepuluh kali juga bersamaan dengan alarm handphone-ku. Itu artinya toko tutup, untuk malam minggu kami memang buka lebih lama. Karena June percaya bahwa malam minggu selalu menjadi harinya makan malam romantis. Dengan harapan bahwa ia juga mendapatkan banyak keuntungan dari pelanggan yang akan kencan.
Aku masih memandangi dua buku itu dengan enggan. Padahal aku sudah bersiap dengan tasku untuk pulang. June menemukanku dengan wajah itu dan langsung berujar.
“Akan kuantar kau pulang dan tambahan gaji atas kerja kerasmu di bulan depan. Anggaplah itu sebagai kabar baiknya.” Senyumku langsung mengembang.
“Baiklah. Setuju,” jawabku riang.
Seperti janjinya, June mengantarkanku tepat sampai ke halaman rumah. Lampunya sudah menyala terang. Dengan malas, aku masih duduk dan mengumpulkan niat untuk turun. Padahal aku sudah berencana untuk langsung tidur, tapi pekerjaan terus mengikutiku. June yang sepertinya kesal melihat keenggananku langsung mendorongku untuk bergeser keluar.
“Terima kasih June,” kataku datar.
“Selamat malam. Jangan lupa tugasmu, kerjakan serapi mungkin. Sampai ketemu Senin,” katanya sambil mengisyaratkanku untuk menutup pintu mobil. Tunggu sebentar!
“Senin?”
“Ya, Danny kembali dan kupikir kami akan habiskan hari Minggu bersama. Sepanjang hari, itu akan menjadi momen langka sepanjang pernikahan kami. Aku tak akan melewatkan waktuku hanya untuk membuka toko,” ujar June sambil berlalu. Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Mencerna kalimat June dan langsung melompat kegirangan.
Kubuka pintu pagar dan berlari memasuki rumah. Malam begitu dingin, kupikir aku akan segera menyeduh kopi dan menikmatinya di tempat favoritku. Ya, tentu saja bersama tugas dari June. Cuma itu satu-satunya yang akan mengganggu kesenanganku. Tapi bonus dan liburan esok hari kupikir menjadi balasan yang setimpal. Aku akan mengerjakannya semalaman lalu tidur sepuasnya di hari Minggu. Rencana yang sempurna.
“Ayah, aku pulang.” Langkah bersemangatku segera terhenti karena pintu yang terkunci. Ini aneh, apa ayah belum pulang? Kukira ini sudah begitu malam untuk berburu. Beruntung aku masih menyimpan kunci cadangan dalam kantong kecil di tasku.
Saat aku masuk, lampu ruang tamu sudah dinyalakan tapi setiap kamar masih gelap. Juga kamar ayah, lampu dapur juga menyala temaram. Kuletakan tas ku di sofa ruang tamu. Langkahku justru terseret ke arah ruang makan karena aroma kopi yang khas. Tapi tak ada apapun di aas meja kecuali sebuah toples besar dengan secarik kertas di bawahnya.
Leil, maaf harus meninggalkanmu. Aku ada pekerjaan di Tersa, hanya sebentar. Aku segera kembali, ini permintaan maafku.
Love you, dear.
Satu toples besar berisi kopi robusta yang baru saja dipanggang? Oh ayah memang benar-benar mengerti apa yang kubutuhkan. Aku menuju kamar mandi sementara kupanaskan air untuk menyeduh kopi. Air hangat mulai mengucur dan menitik lebat ke sekujur tubuhku. Terasa sangat nyaman dan menenangkan apalagi setelah seharian ini bekerja. Ini akan jadi malam yang panjang dan menyenangkan.
Televisi sudah menyala, tapi bukan waktunya untuk menonton. Ini waktu yang tepat untuk menghabiskan secangkir kopi dan mengerjakan pekerjaanku. Butuh waktu yang cukup lama untuk merekap semua pengeluaran dan pemasukan toko. Aku juga harus membolak-balik buku nota dan beberapa bukti pembayaran. Ini lumayan menyebalkan.
Tanpa kuduga, aku menguap lebar. Ini tengah malam dan aku tengah mengerjakan laporan keuangan. Padahal aku sudah menghabiskan kopiku, bukankah mustahil jika aku mengantuk. Kutinggalkan semua buku itu pada televisi yang masih menyala. Sementara aku keluar dan duduk di sofa favoritku sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Entah mengapa, aku kembali tertarik pada tomatku dan membayangkan Pierre. Apa yang tengah dia lakukan sekarang? Aku beringsut dan akhirnya meringkuk di atas sofa. Angin malam memang dingin, rasa kantuk memuncak ketika lagu yang kudengarkan sedikit pelan. Mungkin aku akan tidur sejenak lalu melanjutkannya esok pagi.
Tiba-tiba aku mendengar percakapan yang tak begitu jauh dari tempatku sekarang. Ini bukan pendengaran biasa, ini keanehanku. Ada yang tengah mengamatiku dari kejauhan. Apa yang harus kulakukan? Langsung kumatikan lagu yang tengah kudengar. Berharap bisa lebih fokus aku mengerti apa yang mereka perbincangkan. Aku akan sangat berterima kasih jika mereka tak membicarakan tentang darahku.
“Jadi gadis kecil ini yang memiliki bakat menakjubkan itu? Sudah lama tak ada manusia yang dianugerahi kemampuan itu dan sekarang dia muncul.”
Bakat menakjubkan? Apa yang mereka maksud adalah keanehan ini? Aku terus merosot ke posisi meringkuk. Mungkin mereka akan mengira aku tertidur selagi aku mencuri dengar obrolan mereka.
“Ini kesempatan emas, kita bisa langsung membawanya.”
“Benarkah semudah itu?”
“Belum ada yang mengetahui bakatnya. Kulihat dia belum terikat dengan siapapun, hanya saja aku mencium bau serigala.”
“Memang samar.”
Astaga, percakapan apa yang baru saja kudengar. Apa mereka membicarakanku dan keanehanku ini? Apa yang mereka cari dari kemampuanku? Mereka semakin mendekat dan niatan untuk membawaku juga, apa mereka gila. Ini bisa kuadukan sebagai kasus penculikan. Sementara aku masih saja bertingkah seolah aku tengah tertidur lelap tanpa menyadari bahaya dari orang gila yang diam-diam mengagumi keanehanku.
“Pergilah!”
Kudengar ada seorang lagi yang muncul dan dia berdiri tepat di depanku. Aku tak melihat wajahnya karena dia memunggungiku. Dia juga mengenakan jubah hitam jadi sulit bagiku untuk mengenalinya.
“Jadi kau ada di sini juga? Dia milik kami dan jika kau tak menyingkir maka kau akan mati,” kata si penculik. Mereka kini berdebat tepat di hadapanku.
Entah apa yang dia lemparkan tapi itu mengenai lampu teras dan kegelapan semakin meraja. Mataku semakin sulit menangkap rupa mereka. Yang bisa kulihat hanya tiga pasang mata bersinar merah dalam gelap. Astaga, mereka vampir?
“Jangan abaikan perkataanku dan gertakanmu tak ada artinya,” kata pria berjubah yang perlahan kukenali suaranya.
“Kau juga harus tahu kalau kami tak menerima perintah dari makhluk rendahan sepertimu. Jadi menyingkirlah keras kepala!”
Sesaat kemudian aku mendengar adanya perkelahian. Angin yang tadinya teratur kini tersingkap kemana-mana. Tapi malam tetap hening, seolah perkelahian mereka berada di waktu yang berbeda. Mereka berkelahi dalam hening sementara aku mengintip sambil kedinginan tersapu angin dari perkelahian mereka. Bukan hanya kedinginan, semakin lama suara mereka semakin menjauh atau aku yang menjauh dari kesadaranku. Aku tak lagi bisa mendengar atau melihat apapun kecuali merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhku. Aku tak lagi merasakan kedinginan itu. Apa yang terjadi? Apa aku mati?
Sebuah suara gaduh menjadi fokus pendengaranku kini. Aku kembali bisa mendengar namun belum bisa membuka mata. Suara langkah kaki yang terdengar setengah berlari tergesa menuju ke arahku lalu pintu kamarku terbuka.
“Leil,” panggilnya.
“Pierre?” igauku.
Seketika aku terbangun dan melihat ayah sudah membobol pintu kamarku. Nafasnya tersengal-sengal dan kulihat ia tengah mengaturnya agar kembali teratur. Aku sudah berada di tempat tidurku, berbalut selimut tebal dan seseorang menyalakan penghangat ruangan di kamarku.
“Ayah? Ada yang gawat?” tanyaku. Dia segera menghampiriku dan memeriksaku dengan teliti. Mulai dari pipi kanan, kiri, kedua lenganku bahkan dia menyingkap selimut untuk melihat kakiku apakah masih utuh. Dia melakukannya dengan diam tanpa menjelaskan alasannya. Padahal aku membutuhkan alasan itu.
“Ayah?”
“Syukurlah kau baik-baik saja. Aku khawatir kamu terluka sayang.”
“Apa sih yang sebenarnya ayah katakan?” lagi-lagi ayah mengabaikan pertanyaanku. Dia langsung mendekapku erat. Tingkahnya membuatku semakin bingung. Ia kemudian melepasku dan menginggalkanku sendiri. Aku tertarik untuk turun dari ranjangku dan melongok ke luar kamar. Ayah tengah menelpon tanpa melepaskan senapannya. Aku hanya terperangah melihat sekitar.
“Apa yang terjadi?”
Pintu rumahku jebol dan hanya menyisakan dua tiang yang masih berdiri. Pecahan kaca berserakan dimana-mana, aku harus teliti saat memilih pijakan untuk melangkah. Televisi satu-satunya yang kami miliki kini terbelah dua karena sabetan pisau atau sesuatu yang lebih besar seperti pedang atau kapak. Anehnya lagi, ada banyak bulu binatang yang tersebar di beberapa sudut tembok yang runtuh. Bulunya halus dan panjang, seperti bulu kucing hanya saja lebih besar dan tebal. Apa yang sebenarnya menyerang rumahku?
“Ayah jawab aku,” tuntutku.
“Hanya serangan begundal kelas teri.”
“Ayah, begundal mana yang bisa merobohkan pintu rumah dan membelah televisi? Atau menebarkan bulunya ke seluruh ruangan. Jawab aku dengan serius, kumohon.”
“Sepertinya aku harus ikut berburu serigala itu.”
Serigala? Mungkinkah serigala yang ayah maksud adalah makhluk yang diburu Jossie kemarin? Dengan ukuran yang diceritakan Jossie, kemungkinan serigala itu adalah werewolf. Tapi ayah pernah berjanji bahwa ia tak akan berurusan dengan makhluk berbulu itu karena merekalah yang menyelamatkan aku dari vampir saat aku kecil. Atau mungkin saja, werewolf itu kembali menyelamatkanku. Kutangkupkan kedua jemariku di wajah ayah dan membuatnya menatapku.
“Aku melihat tiga vampir datang dan mengatakan hal aneh tentangku. Lalu seseorang menghalanginya dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Yang kutahu, pagi ini aku sudah ada di tempat tidur dan rumahku hancur.”
“Kita belum tahu pasti, Leil. Setidaknya bulu-bulu itu menuntunku pada si serigala dan darah yang kutemukan. Aku yakin serigala itu tak baik-baik saja setelah serangan semalam. Jadi aku bisa mengejar jejak darahnya ke hutan,” jelas ayah sambil mengecup keningku.
“Aku sudah menghubungi Nyonya Franklin dan mengatakan bahwa kita akan menginap.”

(Bersambung…)