Laman

Pages - Menu

Jumat, 27 November 2015

[CERPEN] Akulah Kutu di Kepala Ayah

Haloo, ada salah satu cerpen yang udah pernah ngikut lomba dan masuk kategori 20 cerpen pilihan. Meski belum juara, setidaknya ikut dibukukan. Silahkan dibaca, di-postkan karena dibuang sayang. Kalo ada yang kepo mungkin, silahkan cari saja di toko buku. Judul bukunya Antologi Cerpen Pukul Enam. Selamat membaca…
***
Aku masih menguap sambil mengaduk dua cangkir di hadapanku. Jam dinding menunjukkan jam enam pagi. Hari masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru terlelap jam empat pagi. Langsung kutuang isi salah satu cangkir ke wastafel. Larutan kecokelatan menyebar segera menuju lubang pembuangan. Aroma wangi melati dan uap harum seduhan daun teh menyeruak. Tapi sayang, aku tak membutuhkannya. Aku kembali menyeduh dalam cangkir kosong itu, kini berganti larutan hitam pekat yang aromanya tak kalah menggiurkan.
Kuletakkan cangkir teh beserta pocinya dalam nampan hitam. Kutambahkan juga sepiring biskuit sebagai teman. Aku sudah mengangkatnya tapi kemudian mengurungkan niatku untuk menemui orang itu. Aku malah membasuh wajahku dan berdiri di depan kaca dekat dapur. Memandangi wajahku yang berantakan juga lingkaran hitam bagai gerhana di mataku. Rambut gondrongku yang masih awut-awutan dan juga jenggot yang mulai tumbuh liar. Aku justru tertawa sinis, hingga pada akhirnya mengumpat.
“Sialan pria itu, untuk apa seorang laki-laki berada di dapur sepagi ini?” Kuikat rambut panjang sebahuku dengan karet gelang seadanya. Sudah saatnya untuk mengucap selamat pagi.
Ketukanku mendarat di sebuah pintu berukir dari kayu jati. Aku yakin gemanya sudah menyebar ke seluruh ruang di dalamnya. Tanpa menunggu lama, aku langsung masuk karena aku tahu ruangannya tak pernah terkunci. Ya, aku yang mencopot kuncinya. Pria itu sudah berada di depan papan tulis hitam besar yang terpasang tepat di depan ranjangnya. Tangannya memutih karena kapur yang sudah diajaknya berhitung pagi ini. Hanya kuletakkan nampanku di sebuah meja yang menghadap ke jendela. Di meja itulah akhirnya dia akan duduk dan menikmati tehnya. Kubuka jendela yang terhalangi tirai biru laut. Udara pagi yang masih segar segera berhembus masuk dalam ruangan
“Selamat pagi ayah,” sapaku. Dia sama sekali tak merespon sapaanku. Tapi memang begitulah dia. Hanya ucapkan selamat pagi, buka jendelanya, berikan tehnya dan aku akan dengan senang hati pergi dari ruangannya.
Musik metal keras menyapaku di studio buatanku. Hanya di sinilah aku merasa tenang dan aman. Aku tak perlu khawatir akan mengganggu ayah karena ruangan ini memang dibuat kedap suara. Ruangan spesial yang dibuat ayah untukku berlatih biola. Sekarang ruangan ini tak lebih dari apa yang disebutnya sebagai tempat sampah. Seluruh dinding kacanya kututup dengan lembaran kain hitam. Di lantainya berserakan bermacam media juga kanvas kosong yang masih menunggu untuk tersentuh. Beberapa lukisan yang kubuat berserakan begitu saja di pinggiran dinding.
Sofa panjang yang kugunakan sebagai kasur seolah menawarkan diri untuk mengantarkanku terlelap lagi. Tapi pesona aroma kopi tak bisa kutolak. Aku duduk sambil memandangi lukisan wajah ibu yang masih setengah jadi. Kuhirup aroma kopi, mencoba nikmati tiap detik waktu yang mencair bersamanya. Andai ibu bisa melihatku saat ini, akankah dia kecewa seperti ayah?
Sebenarnya aku takut akan hari ini. Hari yang setiap tahunnya selalu kuhindari. Kuharap akhirnya akan berbeda untuk tahun ini.
***
Seharian ini aku tetap berada di rumah. Melukis, tidur, membersihkan rumah dan terus berharap bahwa ayah telah melupakan kekecewaannya. Gelap mulai merambah langit ketika aku menutup tirainya. Aku bangun terlambat dari yang diperingatkan jam beker cerewetku. Seperti pagi ini, kubawa sebuah nampan berisi teh dan pocinya juga sepiring biskuit. Ayah selalu menikmatinya sebelum tidur. Apalagi teh chamomile. Kali ini aku tak perlu mengetuk, langsung saja aku masuk dan menemukannya telah bersiap di meja teh nya.
“Ular dan merak tak akan pernah hidup di sarang yang sama. Sekeras apapun usaha si ular, dia tak akan bisa menyerupai merak. Ular tetap saja ular.”
“Aku putera ayah. Karena itulah aku masih di sini dan bersabar menghadapimu. Jangan tidur terlalu larut,” kataku. Setelah kuletakan nampan teh, aku segera menuju jendela kamarnya yang masih terbuka lebar dan membuat semilir angin melintas liar.
“Biarkan aku melakukannya sendiri,” sanggahnya. Aku tahu betapa keras kepala pria itu. Tapi apa salahnya jika aku hanya diam dan menemaninya. Kubiarkan jendela kamarnya masih tetap terbuka sementara aku seperti tak punya alasan lagi untuk berada di sini. Ayah menyodorkan sebuah brosur seleksi fakultas kedokteran padaku.
“Ikuti ujian itu dan buat dirimu jadi lebih berguna daripada hanya menyajikan teh dan menjadi kutu. Berhentilah membuat hal-hal sampah, kutu!”
“Ini tahun ketiga setelah hari kematian ibu juga kegagalanku dalam seleksi fakultas kedokteran dan ayah masih saja memaksaku untuk melakukan apa yang ayah mau. Bahkan selama tiga tahun ini aku sudah melakukan segalanya sebagai kata maaf. Aku bangun setiap pagi dan berakhir di dapur, menyiapkan teh, makanan dan semua kebutuhanmu. Aku yang mengelap tiap debu di rumah ini karena aku tahu kau membencinya. Aku bahkan tetap bersabar dengan apapun yang kauucapkan. Aku tak peduli makianmu, meski kau bilang aku kutu.”
“Karena kau memang kutu.”
“Jika aku berhasil dalam tes itu? Kau akan puas dan berhenti memanggilku kutu?”
“Aku sudah memperhitungkan kemungkinanmu jika mengambil tes itu tahun ini. Kau berpeluang besar untuk masuk dan menjadi dokter. Semua kepintaranmu akan berguna dan itu akan mengakhiri peperangan kita yang bodoh ini.”
Ayah masih terus berbicara tentang teorinya dan kulihat semua perhitungannya di papan tulis. Ia benar-benar detail dan hati-hati. Ia terus saja menghitung peluang keberhasilanku dari berbagai faktor. Tapi bukan itu yang ingin aku tahu.
“Apa yang akan terjadi? Aku akan membuat ayah bangga? Ayah akan berhenti memanggilku kutu? Aku kembali jadi anak kesayanganmu? Tapi apa yang akan terjadi pada semua hal yang selama tiga tahun ini kukerjakan? Haruskah aku meninggalkan semuanya tanpa akhir?” kataku pelan.
“Tak ada hal berguna yang kau lakukan tiga tahun ini kecuali memungut sampah dan mengotori kamarmu. Setidaknya buat aku bangga dengan menjadi anak yang berguna.”
“Apa ayah pernah menghitung berapa kali ayah melakukan ini padaku? Membujukku untuk mengerjakan soal-soal hitungan itu lagi. Kukira waktu tiga tahun cukup bagi ayah untuk menghilangkan ambisi menjadikanku dokter. Ternyata ayah masih saja sama!” kataku dengan nada yang semakin meninggi.
Entah mengapa aku semakin muak menghadapinya. Ambisinya membuatku geram dan ingin sekali aku mencengkeram tubuh rentanya dan katakan bahwa aku tak ingin menjalani tes seleksi apapun karena aku telah menemukan kehidupanku sendiri saat ini.
“Dasar kutu!”
Ayah bangkit dari kursinya dan menghempas apapun yang ada di mejanya. Air teh membasahi lantai, poci dan cangkir remuk menjadi pecahan kecil juga biskuit yang menjadi remahan karena terinjak. Rasa panas juga perih membekas di pipi kiriku. Ayah masih mengangkat tangan kanannya yang baru saja menghajarku. Ia menatapku tajam seolah ini semua adalah kesalahanku. Kesalahan seekor kutu yang dengan lancang berani memberontak.
“Tapi kali ini aku tak akan meminta maaf, ayah. Selamat malam.”
Aku kembali ke dalam studioku, tenggelam dalam alunan musik yang mulai memekakan telinga. Gambaran wajah ayah dan ibu yang terlukis seolah tengah menghakimiku saat ini. Mereka terus saja memandang ke arahku. Ibu juga ayah. Segala tentang ayah adalah tentang seraut wajah lelah penuh guratan masa. Betapa waktu terbukti telah melewatinya. Bukan hanya melewatinya, tapi juga menggerusnya. Mungkin waktu bisa membuatnya renta. Juga waktu bisa mengubah seorang pria perkasa menjadi kakek keriput yang pemarah. Tapi waktu tak bisa menggerus kekecewaannya.
Ia masih saja kecewa pada dirinya sendiri akan kematian ibu. Kecelakaan mobil tiga tahun lalu telah merenggut ibu dari kami. Ayah menyalahkan dirinya sendiri dengan alasan terlambat menghindari mobil di depannya. Ia terus menerus menghitung peluang ibu selamat jika ia tepat waktu dalam melambatkan mobilnya. Ia juga memasukkanku sebagai faktor yang memperbesar selamatnya ibu. Sebuah angan yang besar dan kini menjadi ambisinya. Menjadikanku seorang dokter.
Tapi aku tak pernah bisa memenuhi keinginannya. Aku malah terdampar di jurusan seni rupa murni dan menentangnya. Bukan sepenuhnya menghindar, aku pernah mengikuti seleksi fakultas kedokteran dan gagal. Sebuah kegagalan konyol, karena aku bukan tak bisa mengerjakan tesnya. Tapi aku pingsan di tengah tes setelah semalaman ayah memanduku untuk terus belajar. Sejak saat itulah ayah mulai menarik diri dari semua hal. Ia memecat semua orang yang bekerja di rumah dan hanya berdiam diri untuk terus menghitung dan bertaruh di bursa saham.
Ayah tak sehangat dulu lagi, ia mulai jadi katak dalam tempurung. Ia berlaku seolah dia hanya hidup di kamarnya dan ruang kerjanya. Ia bertaruh lewat puluhan saham yang dibelinya. Ia terus saja menghitung dan bertaruh. Ia mengabaikan keberadaanku, kemudian kami saling mengabaikan. Satu-satunya cara bagiku untuk terhubung dengannya hanya melalui secangkir teh. Begitulah aku meminta perhatiannya, tapi hari ini ayah membuang cangkir itu. Ia benar-benar marah dan mengabaikanku.
Sekarang hanya tersisa kanvas-kanvas kosong ini untuk bercerita. Angin masuk perlahan dan membuat semua tirai hitam ini berkibar. Aku meringkuk di sofa tempat dulu ibu duduk sambil merajut. Kupandangi sebuah lukisan yang sebulan lalu selesai kukerjakan. Sebuah lukisan hitam putih yang menggambarkan siluet seorang pria yang menghadap ke kiri dengan lima kotak cerita di dalamnya yang menceritakan sebuah kenangan. Juga dengan seekor kutu di atas kepalanya.
Pria itu adalah ayah yang selalu berpikir dengar otak kirinya. Kotak pertama menggambarkan bagaimana cinta ayah dan ibu, saat mereka bertemu dan menikah. Lalu saat ibu mengandungku dan betapa ayah sangat menanti kelahiran putra pertamanya. Cerita bergeser saat aku masih dalam buaian, ketika ayah dengan setia menemani ibu menimangku. Kemudian saat aku menjadi bocah laki-laki kesayangan ayah, saat itu ayah mengajariku segalanya. Kami bermain bersama dan saat itulah ayah menjadi idolaku. Aku bahkan pernah bercita-cita untuk menjadi seperti ayah. Kotak selanjutnya menceritakan kehilangan kami, kehilangan keluarga ini. Ketika aku remaja, ibu meninggal. Yang terakhir, ayah hidup dengan dunianya sendiri dan aku menjadi kutu di kepalanya.
Aku merindukan ayah yang dulu, aku merindukan kehangatan yang dulu. Hal yang hanya akan terjadi dalam mimpiku saja. Segera kuambil sebuah botol obat kecil dari tasku. Dengan penenang inilah aku bertahan menghadapi ayah selama tiga tahun. Karena aku hanya meminumnya kemudian tertidur bersama mimpi indahku. Semuanya kembali menjadi samar, musik masih menghentak, tirai masih bergolak, dinginnya udara malam juga menyeruak. Aku bersiap untuk bermimpi, ibu. Kemudian kurasakan hangat meliputi tubuhku. Dengan sisa ruang terbuka dari mataku, kulihat pria renta itu berkeliaran di studioku. Dengan sisa kepekaan indera, kurasakan dia membelai kepalaku dengan lembut. Dengan sisa pendengaran yang masih terjaga, aku mendengarnya menangis di hadapanku. Apa aku mulai bermimpi, ibu?
Pagi menyapaku lewat pancaran sinar matahari yang menyeruak melalui jendela. Aku terbangun dan langsung bergegas bangkit menuju dapur. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamar. Ini bukan di rumah. Ini sudah dua hari aku keluar rumah dan pergi jauh dari ayah.
“Toma, kau sudah bangun? Acaranya akan segera dimulai. Ayo cepat sarapan. Aku menunggumu di bawah,” seruan itu muncul dari balik pintu. Saat kubuka, Donald temanku sudah berada di depan pintu kamarku.
“Syukurlah kau sudah bangun. Ayo cepat,” katanya.
Kini aku berada di meja makan, menikmati sarapan pagi yang mewah ala hotel berbintang dan juga secangkir kopi. Puluhan pelayan mengenakan iket juga kain papan catur berseliweran di sekitarku.
“Hasilnya akan segera diumumkan. Aku sudah tidak sabar ingin membuktikan ke orang tuaku bahwa aku memang berbakat. Apa ayahmu akan hadir?”
“Entahlah. Aku sudah menyelipkan undangan dan tiketnya di bawah cangkir tehnya. Tapi aku tak begitu berharap dia akan datang. Dia tidak akan tertarik.”
“Itu karena kau melarikan diri. Coba kalau kau bercerita dengan cara yang lebih baik. Pasti dia akan datang dan bangga karena lukisanmu menjadi finalis sepuluh karya terbaik tahun ini.”
“Dia tak akan mendengarkanku.”
Di jam yang telah ditentukan, pameran pun dibuka. Banyak karya pelukis terkenal yang terpajang. Karyaku dan beberapa finalis lain juga dipajang. Karya yang kubawa adalah si pria otak kiri dan kutunya. Riuh menggema ketika pengumuman tiga karya terbaik kategori mahasiswa mulai diumumkan. Tapi apa artinya tanpa kedatangan pria itu. Aku hanya tersindir dengan kehangatan keluarga lain. Aku menuju pintu keluar ketika foto lukisanku tiba-tiba terpampang di layar berukuran dua kali tiga meter. Seluruh perhatian hadirin langsung tertuju pada layar yang bertuliskan juara satu. Kemudian tepuk tangan riuh menggema memenuhi ruang pameran. Juga mereka yang kini sedang berada tepat di depan lukisanku, mereka segera menarikku dari pintu dan memberiku ucapan selamat.
“Ini dia karya terbaik untuk tahun ini dalam kategori mahasiswa. Karya Toma Dwipa,” seru pembawa acara. Lampu sorot segera menangkapku dalam lingkarannya dan mempersilahkanku naik panggung. Di sana aku sedikit gugup disambut rentetan pertanyaan.
“Apa kabar Toma? Bagaimana rasanya menjadi yang terbaik di tahun kompetisi ini?”
“Aku tak menyangka. Kalau aku tahu akan naik panggung, mungkin aku akan bersiap dengan menyisir rambutku.”
Semua orang tertawa mendengar jawabanku juga si pembawa acara. Semetara aku hanya menggariskan sebuah senyum tipis. Ini memang miris karena aku hanya mengenakan kaos putih oblong dan jeans belelku yang berlubang di dua lututnya. Juga rambut gondrongku yang masih terkuncir dengan karet gelang.
“Karyamu diakui oleh semua juri. Mereka menyukai pekerjaanmu, bahkan mereka bilang lukisan ini adalah karya dari dalam hati. Bagaimana proses penciptaannya? Siapa inspirasimu?”
“Ayah.”
“Berikan cerita singkat tentang karya hebatmu itu Toma. Silahkan.”
“Aku selalu melihatnya dari jauh, memandangi caranya bekerja. Tanpa pernah berniat untuk menatapnya lebih dekat atau jujur bahwa aku ingin bercerita. Rasanya mustahil untuk berbicara dengan kata karena ia hanya akan memaki pilihanku. Sesekali aku mulai berpikir, mungkin apa yang ayah katakan memang benar. Aku seolah arus yang tak mau dialihkan dan akhirnya kerontang di tengah jalan. Aku menolak kemudahan yang ditawarkannya hingga sekarang aku menjadi musuh baginya. Seorang pemberontak,” kataku perlahan.
Sejenak aku menghela nafas sambil memandangi hadirin yang ada di ruangan ini. Sebenarnya aku mencari satu orang yang kuharap akan datang dan menyemangatiku, juga inspirasiku. Tapi sepertinya mustahil.
“Dengan karya inilah aku berbicara, dengan inilah aku bercerita pada ayah bahwa aku merindukannya yang dulu. Ketika aku masih jadi jagoannya. Ketika ia masih setia menemani ibu menimangku. Ketika ia mengajariku rumus matematika dan mengasah logikaku. Tapi kemudian aku tersadar, semua itu hanya masa lalu dan berakhir menjadi siluet. Kenyataannya hanyalah ada aku dan ayah yang menjadi ular dan merak. Tapi ular bukanlah sebenarnya aku. Aku hanya seekor kutu. Makhluk pengganggu yang sulit dihilangkan, yang hanya bisa menempel di kulit kepala dan membuatnya gatal,” aku kembali berhenti.
Kembali aku mengarahkan pandangan ke seluruh ruang, tapi tetap saja nihil. Di antara suara tawa mereka yang hadir, aku justru ingin memaki. Seandainya ayah berada di sini dan mau mendengarkanku seperti semua orang. Pintu ruangan terbuka dan aku melihat seorang pria tersesat memasuki ruang pameran. Ia mengenakan jas hitam rapi, berjalan ditopang tongkat mahal dan melangkah mantap dengan sepatu kinclongnya. Rimbunnya uban yang memenuhi kepala ia tutup setengahnya dengan topi fedora. Ia berdiri tepat di hadapanku dan ikut bertepuk tangan seperti yang lainnya. Seketika senyumku mengembang menyambut kedatangannya.
Bukankah kau terlalu rapi untuk datang ke pameran, ayah?
“Seperti yang ayah selalu katakan padaku. Akulah kutu di kepala ayah.”

-o-

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 16

Leil, Jossie dan Pierre bertemu di satu titik. Apa yang terjadi? Kemanakah arah pembicaraan Leil dan Jossie yang menjauh dari Pierre dan akhirnya pergi? Langsung saja, aku tidak pandai berbasa-basi dan berpromosi. Selamat membaca keping ini…

LEIL
“Aku tak ingin mengganggumu. Aku akan kembali ke bukit, jadi kau bebas berbicara dengan Jossie tanpa harus menjauh dariku. Terima kasih untuk hari ini, nona Grazdien.”
Begitulah kalimat yang samar kudengar dari bakatku, Pierre sudah pergi? Jelas itu suara Pierre. Pembicaraan dengan Jossie mulai sia-sia, kami hanya saling membantah.
“Josh, kau adalah temanku. Begitu juga Pierre. Untuk apa berdebat tentang hal tidak berguna seperti ini?”
“Bagiku ini berguna. Aku tak ingin melihatmu terluka.”
“Tapi Pierre tidak mungkin melukaiku. Bahkan dia tak akan membiarkanku berkali-kali terjatuh karena berjalan sambil melamun.”
“Mungkin sekarang masih seperti itu. Tapi jika benar dia bukan manusia, aku yakin kau adalah orang pertama yang akan tersakiti karena terkhianati.”
“Terima kasih atas sikap cerewetmu hari ini Josh. Sayangnya aku harus kembali menemui Pierre dan meminta maaf atas sifat kekanakanmu.”
Aku mencoba menyusul Pierre menuju bukit, bahkan aku berlari agar tak kehilangan jejaknya. Sebenarnya apa yang diungkap Jossie ada benarnya. Aku bahkan tak tahu dimana Pierre tinggal. Selama ini aku hanya tahu kalau dia berkeliaran di jalanan sekitar toko June dan berlabuh di bukit ini. Setelah itu aku kehilangan jejaknya, benar-benar hilang. Ya, dia menghilang bahkan dari bukit ini juga. Aku berhenti untuk melonggarkan paru-paru. Memandangi sekitaran makam dan tetap saja kosong. Tak ada siapa pun di sini, aku terengah sendiri. Padahal aku berharap bisa mendengar apa saja dengan bakatku. Tapi nihil. Aku tetap menuju makam itu dan duduk di sampingnya. Aku akan tetap menunggunya.
Suara gelepak burung yang keluar dari hutan membangunkan aku dari tidur. Astaga, terlalu banyak waktu kuhabiskan untuk menunggu Pierre hingga aku terlelap. Bahkan pohon pinus menjulang yang mengitariku kini terlihat bagai sebuah siluet. Terangnya cahaya matahari sudah meredup dan kabut menghalangi pandanganku. Mungkin ini terlalu sore untuk berada di sini. Tapi Pierre? Apakah dia tak datang kemari? Atau dia datang selagi aku terlelap lalu pergi lagi?
Aku bergegas pulang menuruni bukit. Sesuatu yang aneh tengah mengintaiku, aku melihat sepasang bola merah terang menyembul dari balik semak. Bukan hanya satu tapi ada beberapa pasang. Aku curiga mereka bukan hanya gerombolan serigala liar yang biasa melolong di hutan. Bagaimana jika mereka memasukanku dalam menu makan malamnya? Tapi aku tak mendengar sedikit pun percakapan di antara mereka. Semoga saja mereka hanya hewan liar.
Berbekal dugaan yang belum terbukti, aku malah mendekati semak. Kulihat mereka mundur dan menarik diri dari jangkauanku. Rasa penasaran justru semakin tinggi daripada hasrat untuk melarikan diri. Aku semakin dalam masuk ke semak tapi tak ada apapun hingga kudengar suara raungan singkat. Begitu mengerikannya raungan itu hingga harusnya kakiku kaku. Tapi aku tetap berjalan mengikuti aliran adrenalin. Kutemukan bercak darah yang membasahi permukaan tanah. Bukan hanya membasahi, tapi membanjiri. Darah apa ini?
Suara tembakan meluncur, menggema di udara. Aku bahkan tak tahu kalau ini musim berburu. Jadi, mereka kah yang melakukan perburuan ini. Apa mungkin darah itu dari pembantaian hasil buruan mereka? Tapi itu begitu banyaknya. Aku terus menembus semak hingga di ujungnya aku menemukan rawa. Jejak darah berakhir di sana tapi aku tak menemukan binatang terluka atau apapun yang mungkin menjadi pemilik kucuran darah itu. Justru aku menemukan tapak kaki yang cukup besar di antara tanah rawa yang lembab. Aku mendekatinya untuk memeriksa jejak misterius itu. Aku melihatnya sepintas sebelum air rawa merembes dan menutupnya. Kuputuskan itu jejak binatang sejenis kucing, tapi kucing yang cukup besar.
Kumasukkan tanganku dalam genangan air dan meraba jejak yang menekan tanah itu. Meski aku bukan pemburu binatang, tapi ayah pernah mengajakku sekali dan aku belajar banyak tentang perburuan. Beruntung aku memiliki sedikit ilmu berburunya jadi aku bisa menerka kira-kira jejak apa ini. Ukurannya lebih panjang dari jejak singa. Juga lebih besar dari golongan kucing besar yang terbesar sekalipun. Bahkan di Viga tak pernah ada riwayat kehidupan kucing besar. Lalu dari mana jejak ini muncul?
Tiba-tiba semak di seberang rawa bergerak dan aku tak siap untuk menyambut mereka yang datang. Kumohon jangan lagi ada kejadian aneh yang menimpaku. Sebuah cahaya dari senter terarah tepat ke wajahku. Aku tak bisa melihat apapun, hanya silau.
“Leil?” sapa pemilik senter yang kemudian mengalihkan sorot cahayanya dari wajahku.
“Jossie?” Ia segera menghampiriku dan tak sendirian, ada empat orang yang kukenali sebagai pemburu terkenal di Viga.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
“Aku hendak pulang. Tapi tersesat karena sudah terlalu gelap,” jawabku berbohong. Padahal jelas saja aku masih bisa melihat sekitarku.
“Dan kau?” lanjutku. Jossie mengangkat senapan dan menunjukkannya padaku. Juga ia menunjukkan semua orang yang ikut bersamanya.
“Aku mencari sesuatu yang mereka juga cari dan akhirnya aku bertemu denganmu,” jelasnya.
“Sesuatu yang mereka cari?”
“Aku bertemu mereka di cafĂ© Terry. Mereka tengah memburu binatang buas yang beberapa hari ini muncul di hutan. Jadi kupikir, aku akan ikut. Sekaligus mencarimu.”
Sekaligus mencariku? Jadi aku bukan prioritas yah? Sudahlah lupakan. Tentang mereka yang bersama Jossie, aku pernah melihat mereka di foto berburu ayah. Tentunya sebelum ayah memutuskan untuk berburu sesuatu yang lebih langka. Apa tadi Jossie mengatakan binatang buas?
“Binatang buas?”
“Kemarin malam anak laki-laki Terry melintasi bukit ini dan melihat serigala hitam besar tengah mengoyak kijang. Jadi kupikir, kami akan mencoba menemukannya. Kau tahu kan betapa besar aku penasaran dengan kegiatan berburu?” kata Jossie.
“Kulihat kau tadi tengah mengamati sesuatu di tanah. Apa ada yang kau temukan, Leil?” sambar seorang pemburu yang berbadan paling besar. Jadi apa yang harus kukatakan? Bahwa aku menemukan jejak kaki kucing sebesar anak gajah? Ini gila, mereka akan menyangka kepalaku terbentur lagi. Atau lebih parahnya mereka akan mengira aku mulai gila.
“Sebaiknya kami segera menemukan serigala itu sebelum dia menjadi masalah. Sekalipun dia bukan serigala yang sesungguhnya,” sahutnya. Tiba-tiba tanganku gemetar tak bisa kukendalikan. Aku diam ditusuk kebekuan dari pernyataan si pemburu. Bagaimana jika jejak yang aku temukan memang milik serigala besar itu? Jika sebesar itu, tak mungkin serigala sesungguhnya bukan? Werewolf?
“Leil? Kau belum menjawab pertanyaannya. Apa kau menemukan sesuatu?””
“Tidak ada. Aku hanya sedang cuci tangan,” jawabku sambil nyengir. Jossie masih memandangiku dengan wajah curiga aku tengah menimbun sesuatu dalam pikiran. Sementara tanganku menggaruk tanah dalam rembesan air rawa untuk menghancurkan jejak kaki besar itu.
“Maukah kau mengantarku pulang, Josh?”
“Tentu.”
Aku duduk di teras rumah, tepat di sebuah sofa usang kesayanganku. Jika dilihat tampilannya, mungkin tak ada yang mau duduk di sini. Bahkan ayah juga sempat menyingkirkannya ke tepian tempat sampah agar petugas ikut mengangkutnya. Tapi bagiku, ini sangat nyaman. Selain itu, ini menyimpan semua kenangan atas sosok ibu. Dulu, aku sering tertidur di sofa ini karena aku tak bisa tidur di kamarku sendiri. Mimpi buruk selalu membayangi jadi aku tak bisa memejamkan mata di ruang sempit itu. Lalu aku kemari, mencoba tidur sambil meringkuk karena kedinginan. Ibu akan memeriksa ke kamar dan memberiku selimut saat dia tahu aku tak ada di kamar. Teringat pula lagu tidur bernada indah yang selalu mengantarkanku menuju terlelap.
“Kopi?” kata ayah sembari menyodorkan secangkir kopi ke meja di sebelah sofa.
Aku tetap tak berkutik. Ayah juga sedang asyik dengan cangkir besarnya. Aroma kopi menuntunku untuk bangun dan tak membuatnya menunggu hingga dingin. Segera kuraih cangkirku dan menikmatinya. Aromanya yang khas dan kehangatan yang ditawarkannya, bagaimana aku bisa menolak secangkir kopi? Langsung saja kuteguk perlahan.
“Malam yang tenang, bukan?” aku hanya mengangguk.
“Ayah, bagaimana perburuanmu?” tanyaku tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin mengaitkan pertanyaan ini dengan cerita Jossie mengenai serigala besar yang berkeliaran di bukit.
“Aneh? Kau tak biasanya menanyakan tentang pekerjaanku.”
“Aku hanya ingin tahu. Ayah selalu berhadapan dengan makhluk itu sementara aku masih ketakutan dan hanya bisa bersembunyi di balik perlindunganmu.”
“Mereka punya aturan sendiri. Lagipula yang aku buru hanya makhluk rendahan. Mereka yang menghuni kasta rendahan lah yang memiliki hasrat menggebu akan darah manusia. Bahkan vampir bangsawan tak pernah kutemukan melakukannya. Akhir-akhir ini para bangsawan yang melakukan perburuanku. Jadi aku bisa liburan,” jelas ayah sambil tertawa. Ayah begitu memahami tentang vampir dan aku memakluminya karena itu memang pekerjaannya. Memburu vampir yang meresahkan warga. Bahkan sesekali, ayah berburu ke luar Viga memenuhi permintaan pelanggannya.
“Aku tak akan bisa melawan para bangsawan. Mereka memiliki kekuatan yang tak tertandingi jadi sama saja kau cari mati jika mengusiknya. Lagipula, aku tak memiliki dendam pada mereka. Aku hanya tak ingin ada lagi keluarga yang berduka karena vampir rendahan,” tambahnya. Kini ia semakin menggebu.
“Bagaimana dengan werewolf?”
“Leil?”
“Maafkan aku. Lupakan saja.”
“Apa ada yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Jangan mencoba menyembunyikan apapun dariku. Aku akan mengetahuinya dan jika kau ada masalah, jangan ragu untuk mengatakannya. Aku bersedia memburu pria manapun yang menyakiti putriku.”
“Ayah,” rengekku.
“Apa? Kau mau mengatakannya?”
“Kau berlebihan.” Ayah terkekeh.
“Akan kulakukan semuanya demi putriku tersayang,” katanya sambil duduk tegap dan meletakan tangan kanannya di dada. Seolah dia tengah bersumpah setia pada negara.
“Terima kasih ayah.”
Aku kembali meringkuk dan memandangi pohon tomat dalam pot kecilku. Dia terlihat tumbuh lebih cepat atau aku yang melewatkannya begitu lama? Konyol, ketika bayangan wajah Pierre muncul di samping pohon itu. Ya, pohon itu memang membuatku teringat padanya. Pria aneh yang muncul dari antah berantah, mengacau di toko dan kini ia mengacau di pikiranku. Siapa dia sebenarnya?
Mulai kupertimbangkan setiap pertanyaan yang pernah Jossie lontarkan. Kucoba memahaminya dan kuputuskan aku memang tak mengerti apapun mengenai Pierre. Tapi hal itu tidak akan membuatku mundur. Justru akan memacuku untuk mencari lebih dalam.
“Jangan terlalu lama di luar. Segeralah masuk,” kata ayah sambil menarikku dari posisi malas di atas sofa. Aku berdiri dan menyambar cangkirku. Ayah mendorong tubuh malasku untuk masuk. Ini seperti masa kecilku saat aku harus masuk sekolah jam tujuh pagi dan malas untuk mandi.
“Ini seperti masa lalu,” kenangku.
“Tidak. Kau bukan bocah perempuan malas mandi yang dulu lagi. Kau adalah gadis cantik ayah yang menjadi rebutan siswa di kelasnya waktu SMA.”
“Kau selalu berlebihan ayah,” balasku.
Kutambahkan sebuah tawa kecil di antara jawabanku atas pernyataan ayah. Lalu tanpa sadar, aku merasa harus menarik kembali senyumku. Aku merasa ada yang mengawasiku dari kejauhan. Mungkin dia berpikir untuk tetap diam agar aku tidak mendengarnya. Tapi aku merasakan kehadirannya. Dia ada di sana hanya saja, tetap diam.

(Bersambung…)

Rabu, 11 November 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 15

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Sebelum kehilangan sinyal yang suka ngambek ini, lebih baik langsung post saja. Keping 15 ready! Mau review? Oke, dikit. Setelah insiden di bukit yang melibatkan Leil, Pierre dan makhluk kelaparan, Leil mulai mencurigai status manusia Pierre. Mulai dari kepingan ini Leil akan mencari tahu semua tentang Pierre. Tentu saja masih ada Jossie dan Sofia, si wanita yang tetiba nongol di rumah Pierre. Gimana rasa Leil ke Jossie? Siapa Pierre? Kenapa Leil penasaran ama pria menjulang ini? Wanita yang di rumah Pierre, siapakah?
Pelan-pelan akan terkuak. Semua pertanyaan akan terjawab dan semoga tambah banyak yang menikmati ceritanya dan ga ragu buat tinggalin jejak di kolom komen. Sesingkat apapun komen kalian sangat berarti bagi penulis. Heheheh, terharu. Udahan nih speech nya. Langsung aja, Happy reading…

LEIL
Aku tengah mengelap kaca toko ketika melihat Pierre melintasi jalanan. Tubuh menjulangnya sangat mudah untuk dikenali, apalagi krisan di genggamannya. Tanpa ragu lagi, aku langsung memanggilnya.
“Pierre,” panggilku.
Dia berhenti dan menungguku yang tengah bergerak ke arahnya. Akhirnya aku berhasil menjangkaunya meski nafasku tersengal karena setengah berlari.
“Ada apa?” tanyanya datar.
Aku hanya memandangi matanya sampai dia memainkan jarinya di antara mataku dan matanya. Aku tersenyum menyadari kebodohanku. Mengapa sampai saat ini aku masih sering terjebak dalam tatapannya yang menghanyutkan? Bodoh.
“Apa kau mau ke bukit?” tanyaku.
Kali ini pasti jawabanku benar karena kulihat dia membawa beberapa tangkai krisan. Terakhir aku menemukannya adalah di bukit dan bersama setangkai krisan juga dua nisan itu. Satu hal yang harus kupastikan tentangnya. Hingga saat ini aku masih percaya bahwa dia memang manusia dan kuharap hal itu tak akan berubah.
“Apa kau bisa membaca pikiran? Menyeramkan,” jawabnya segera. Aku hanya menyernyit mendengar jawabannya. Dia bahkan menggunakan kalimatku dulu untuk menjawab pertanyaanku hari ini.
“Tidak. Hanya dengan melihat krisan itu saja aku sudah tahu,” kataku sambil tersenyum.
“Jangan paksakan untuk tersenyum. Kau pasti menyembunyikan sesuatu, apa yang kau inginkan?” Sungguh pertanyaan yang begitu mengena. Aku tak bisa basa-basi lagi. Lalu harus kujawab apa? Bahwa aku ingin mengamati standar normal bahwa dia adalah manusia?
“Apa kau bisa membaca pikiran?” tanyaku, dia hanya menyeringai.
“Akhirnya pertanyaan itu kembali pada pemiliknya,” jawabnya enteng. Aku hanya tersenyum, kali ini benar-benar dari dalam hati. Kenyataan bahwa kami mengulang pertanyaan yang sama memang terdengar aneh. Semakin lama kurasa aku semakin gila jika dekat dengannya.
“Apa maumu?”
“Boleh aku ikut?” dia diam sejenak. Mungkin sedang mempertimbangkan. Kuharap dia membawaku bersamanya tanpa rasa curiga tentang motif utamaku menguntitnya.
“Asal kau bisa mengikuti langkahku,” katanya.
Pierre langsung bergerak dan aku hanya bisa mengekorinya. Langkah panjangnya memang cukup merepotkan, apalagi dengan jangkauan pendek yang bisa dicapai kakiku. Apa dia sengaja melakukannya? Apa dia memang berniat meninggalkanku? Tapi semakin lama aku memandanginya harusnya sudah cukup bukti bahwa dia memang manusia. Atau kekhawatiranku memang berlebihan?
Kewaspadaan adalah harga mutlak atas keberadaanku saat ini. Setelah semua kenangan buruk di masa lalu, aku tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain. Yang kumiliki hanya mereka yang tersisa dari masa laluku seperti ayah, June, Jossie dan teman sekolahku. Aku tak pernah secepat ini percaya pada orang asing. Tapi Pierre seolah menjadi pengecualian. Sejak pertemuan pertama itu, aku tak pernah bisa lepas darinya. Aku ingin selalu memerhatikannya dan aku ingin dia juga memerhatikanku. Hal itu terjawab di pertemuan keempatku yang masih menyisakan teka-teki.
Saat kami bertemu di bukit, aku yakin dia terluka. Lengannya robek dan berdarah, aku bahkan menggulung syalku untuk membalut lukanya. Tapi tepat di malam harinya saat dia datang menemuiku, luka itu menghilang tanpa bekas. Karena itulah sekarang aku di sini. Mengikutinya dan berharap bahwa aku memang mengigau atau jika benar dia bukan manusia…
“Awww,” teriakku.
Sebuah batu lumayan besar membuat kakiku terantuk dan nyaris saja aku jatuh jika tidak ada sepasang lengan kokoh yang menopangnya. Aku tahu, Pierre yang menahan tubuhku.
“Perhatikan langkahmu. Kau sedang berjalan atau melamun?”
“Kurasa keduanya,” jawabku tak bersemangat. Apalagi jika aku lanjutkan lamunanku. Tentang pertanyaan terakhir itu yang mungkin tak bisa kujawab. Jika Pierre bukan manusia, apa yang akan kulakukan?
“Hey, jangan bercanda. Kembalilah berjalan dan abaikan apa pun yang ada di pikiranmu atau kau akan jatuh lagi.”
“Itu bukan masalah,” jawabku masih tak bersemangat. Aku bahkan memalingkan wajahku pada deretan pohon pinus yang menjulang sampai ke langit. Sebisa mungkin aku ingin menghindari matanya. Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tak bisa melakukannya.
“Selama aku bersamamu, aku yakin kau tidak akan membiarkanku terjatuh.”
“Jangan terlalu banyak berkhayal. Kita sudah sampai.”
Pierre melepaskanku dan kembali berjalan. Ya, kami memang sudah sampai di tempat itu. Dua buah nisan batu yang berjajar di bawah pohon Maple besar yang meneduhkannya. Aku masih mengingat tempat ini bahkan saat senja tidak sedang bertahta. Pierre sudah sampai di sana, ia tengah meletakan tiap tangkai krisannya di atas makam. Kemudian ia duduk di antara keduanya. Aku sampai lalu mengambil posisi di sampingnya.
“Siapa yang dimakamkan di tempat ini?”
“Kedua orang tuaku.”
“Maaf atas pertanyaanku. Aku hanya ingin memastikannya, waktu itu kau tertidur dengan pulas di sini. Pantas saja, berada di antara kedua orang yang kau sayangi memang menenangkan. Andai aku bisa melakukannya juga,” ujarku.
“Tidak ada yang perlu dimintakan maaf. Itu pertanyaan yang wajar saat kau menemui seseorang yang datang ke sebuah makam.”
Pierre menyandarkan tubuhnya di salah satu nisan. Angin berdesir lembut membelai wajah tampannya. Rambut hitamnya menari diterpa angin dan seolah makin memesonaku untuk terus memandanginya.
“Orang tuaku meninggal karena serangan vampir. Hanya itu yang kuingat, aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa melarikan diri dari serangan itu. Aku melupakan kapan tepatnya itu terjadi dan apa yang kulakukan setelah serangan itu. Yang aku tahu adalah aku menemukan diriku yang sekarang ini. Seorang pria yang hanya bisa mengingat masa lalunya lewat setangkai krisan.”
Astaga, ternyata ceritanya nyaris sama dengan masa kecilku. Serangan yang merenggut orang-orang terkasihnya. Tapi kisahnya lebih miris daripada kisahku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada hidupku jika aku kehilangan orang tua dan ingatanku di hari yang bersamaan. Mungkin aku akan menjadi makhluk hampa yang bahkan tak tahu arah tujuan kemana aku harus melangkah. Kurasa aku mulai memahami apa yang dia rasakan. Juga cerita itu cukup menjelaskan sikapnya beberapa waktu lalu.
“Kau mau es krim?” tanyaku memecah sunyi.
“Jika kau tahu tempat yang tepat.”
“Tentu saja. Aku tahu kedai es krim paling enak di kota ini. Porsinya besar dan kau bisa menambahkan dua macam toping secara gratis. Aku bahkan kenal dengan penjualnya, dia langganan kami di toko bunga.”
Kami akhirnya berjalan menuruni bukit untuk membeli es krim. Cuacanya sangat mendukung untuk menikmati es krim. Langit tampak cerah membiru dengan gumpalan awan putih yang meneduhkan dari sengatan mentari. Viga memang tidak pernah begitu terik tapi juga tak pernah secerah ini. Biasanya, kabut mulai menyelimuti kota saat pagi dan sore hari menjelang petang. Apalagi jika hujan di siang hari, maka kabut akan turun lebih cepat. Karena kabut itulah kota ini sering dijuluki sebagai kota lindungan kabut.
Saking cerianya, aku sampai tak menyadari bahwa tangan Pierre berada dalam genggamanku. Tangan kokohnya terasa lembut menerima genggamanku. Sesekali aku mengayun genggaman kami, sambil bersenandung. Setidaknya rona merahku sedikit memudar tertutup senandungku. Kami seperti dua bocah yang tak sabar menikmati es krim di hari yang cerah.
“Apa aku tak bisa berlangganan di toko kalian?” tanya Pierre di sela senandungku.
“Tidak. Kecuali kau punya seseorang yang hidup untuk dicintai. Sampai kapan pun, June tidak akan mengizinkan bunga dari tamannya berakhir di pemakaman.”
“Mengapa begitu? Apa dia takut pada kematian?”
“Tolong hentikan. Aku tidak suka saat kau membicarakan bosku dengan kalimat yang menyakitkan.”
“Apa itu menyakitkan?”
“Mungkin kau perlu lebih banyak belajar tentang perasaan.”
“Kuharap kau mau mengajariku.”
Astaga, pernyataan macam apa itu? Seketika dia membuat semua sanggahanku menghilang tak berguna. Untuk saat ini aku diam dan tak tahu harus kubalas dengan apa kalimatnya. Semua kata yang terucap dari mulutnya selalu spontan. Kupikir dia tidak atau setidaknya belum memiliki pembentengan rahasia. Jika dia mengatakan hal seperti itu, sepertinya dia datang pada guru yang tepat.
“Apa kita akan membeli es krim di sini?” tanya Pierre sambil mengerem langkahnya. Aku juga ikut berhenti dan mencoba menimpali.
“Ah ya. Tentu saja,” jawabku tergesa. Bahkan toko ini terasa lebih dekat dari biasanya. Atau aku yang terlambat menyadari bahwa aku sudah berjalan terlalu jauh bersama Pierre.
“Apa rekomendasimu, nona Grazdien?” tanyanya.
“Es krim moca dengan tambahan hazelnut dan coklat padat di dasar cone. Itu sangat lezat, kau harus mencicipinya.” Segera aku menarik lengan Pierre untuk mendekat ke meja pemesanan dan tanpa kuduga, aku menemukan sesuatu yang menarik.
“Leil?” sapa Jossie.
Tapi menurutku itu bukan sebuah sapaan, terdengar lebih condong pada keterkejutan. Jossie menatap aneh pada kami. Tentu saja, aku masih menggandeng jemari Pierre dan kurasa itu membuatnya risih. Pierre mencoba melepaskan genggamannya tapi aku tak membiarkannya terlepas.
“Halo Josh. Cuaca yang tepat untuk membeli es krim. Apa kau dari toko June?” tanyaku mencoba berbasa-basi sambil menenangkan keadaan.
“Aku baru saja akan ke sana dan kubelikan kau es krim. Mocca dengan hazelnut dan cokelat padat di dasar cone. Aku membeli yang deluxe,” katanya sambil menunjukkan kotak es krim yang baru saja dibelinya. Aku kehilangan kata-kata.
“Jadi kalian mulai akrab sekarang? Apa kau bersenang-senang, Pierre?”
“Sebenarnya kami tidak seakrab itu. Aku tidak keberatan jika kau membagi es krim itu dengan Leil. Kebetulan kami belum memesan apapun,” jawab Pierre ramah. Pierre kembali mencoba melepaskan jemarinya. Aku melepaskannya dan kini giliran Jossie yang mengunci tanganku.
“Jika kau tak keberatan, aku ingin bicara dengan Leil sebentar,” kata Jossie pada Pierre.
“Tentu. Kau tak memerlukan persetujuanku, bukan?”
“Sekedar basa-basi,” jawab Jossie pelan. Tapi ia segera menarikku keluar toko dan kami bicara. Seperti yang dia minta dan seperti apa yang kupikirkan. Dia mengoceh panjang lebar tentang Pierre dan aku hanya pasrah mendengarnya.
“Aku sudah mendengar kejadian yang menimpamu di bukit dari June. Apa setelah semua itu, kau sama sekali tidak curiga padanya? Siapa tahu dia berbahaya Leil.”
“Pierre sangat baik padaku. Bahkan kami cepat akrab dan aku merasa nyaman juga aman saat bersamanya. Sama seperti saat aku bersamamu, ibumu, ayahku, June dan semua orang yang kukenal.”
“Kau belum mengenalnya. Aku tidak setuju jika kau seakrab itu tanpa pengawasan. Bagaimana jika dia bukan manusia? Apa kau pernah melihatnya mengeluarkan ekspresi seperti layaknya manusia normal? Dia mencurigakan Leil. Menurutku dia seperti orang mati yang berjalan mencari kuburannya.”
“Aku tak meminta pendapatmu.”
“Ini bukan pendapat, tapi ini faktanya. Dia orang asing dan kau tidak mengenalnya.”
“Aku tahu dia.”
“Dimana rumahnya? Nomor teleponnya? Apa dia punya kakak, adik? Siapa keluarganya? Darimana dia berasal? Apa pekerjaannya? Kau punya banyak pertanyaan yang kau sendiri tak bisa menjawabnya.”
“Dia tinggal seorang diri. Orang tuanya meninggal karena serangan vampir. Aku memang tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu. Tapi aku tahu satu hal yang pasti, dia sama sepertiku. Aku merasakan apa yang dia takutkan juga. Aku tahu posisinya dan aku tahu rasanya. Bukankah itu jadi cukup bukti bahwa aku mengenalnya?”
Jossie terus menyanggahku, aku tahu dia pria yang cukup keras kepala. Tapi aku tak menyangka pembicaraan ini akan semakin lama. Mungkin karena aku juga keras kepala jadi tak ada satu pun yang mau mengalah. Aku mencoba melongok ke dalam toko tapi aku tak menemukan Pierre di sana. Hanya saja aku mendengar suaranya. Sama seperti waktu itu. Saat aku mendengar suara bising yang bukan dari tempatku. Saat aku mendengar percakapan beberapa vampir yang menyerangku di bukit. Sama persis dan hal itu terulang lagi. Tiba-tiba suara Pierre masuk begitu saja. Aku sebenarnya tak mengerti dengan diriku sendiri. Adakah yang salah dengan tubuhku? Sejak keanehan ini muncul, selalu pertanyaan itu yang terlontar. Atau haruskah aku mulai menyebutnya sebagai keajaiban Leil? Sebuah bakat? Menarik.
“Aku tak ingin mengganggumu. Aku akan kembali ke bukit, jadi kau bebas berbicara dengan Jossie tanpa harus menjauh dariku. Terima kasih untuk hari ini, nona Grazdien.”


(Bersambung…)

Rabu, 04 November 2015

[CURHAT] Dear November






Dear November,
Hari keempat bula November. Bulan yang selalu dikaitkan dengan hujan, namun November kali ini hujan masih datang malu-malu. Hanya menyapa sekali-kali melalui gerimisnya. Masih enggan untuk datang sukarela karena harus dipanggil melalui istisqa. Apa kali ini hujan dan November tidak bersahabat? Apa November kali ini tak melihat bahwa kami membutuhkan persahabatannya dengan hujan? Hujan memang terlambat datang, lalu apa lagi yang mau kau keluhkan?

Bukan, bukan aku mengeluh sungguh. Hanya merasa trenyuh dengan November kali ini, November yang tak bersahabat dengan hujan. Entah berapa banyak saudara di luar sana yang tengah berjuang untuk bebas dari asap. Entah berapa banyak yang saat ini tengah menyirami titik api dengan telaten. Entah berapa banyak lagi muncul potret anak kecil dengan surat pada presiden. Entah berapa banyak lagi muncul berita duka karena ISPA. Tapi itu hanya satu sisi, satu sisi yang mungkin November tahu. Lalu sisi lainnya? Kupikir November juga tahu apa yang akan kuceritakan padanya. Sebuah bujukan agar ia berdamai dengan hujan.
Lalu di sisi lain, kekeringan melanda. Negeri tropis yang kaya raya ini, Nusantara ini yang katanya hijau dengan pepohonan kini kekeringan? Warganya mengular meminta air bantuan. Warganya hidup dalam kegelapan karena PLTA kehabisan air. Warganya jalan kaki berkilo-kilo meter hanya untuk mencari satu jerigen air. Apa kata November?
Apa November tidak peduli dengan Nusantara? Apa karena November bukan politikus jadi tak perlu pencitraan dengan berbaik hati dan berkoalisi dengan hujan? Ah, pembicaraan ini semakin ngelantur saja. Maafkan kalimatku, November.
Tapi sungguh disayangkan sifatmu itu pada kami, November. Okelah kalau kau bukan politikus yang suka pencitraan, tapi aku yakin kau bukan anak ABG kekinian yang suka main baper-baperan. November sudah dewasa, sudah lama manusia mengenal November dan mengaitkan keharmonisannya dengan hujan. Kenapa sekarang diretakkan? Aku juga tahu kalau November bisa menulis balasan, ia akan ngomel padaku. Ia akan protes karena aku hanya mengeluh dan terus menyudutkan posisinya dengan keretakan hujan. Ia akan melempar cermin dan menyuruhku sebagai perwakilan dari manusia untuk berkaca. Bukan untuk melihat apakah aku sudah cukup cantik atau tampan. Tapi untuk melihat apa yang sudah manusia perbuat belakangan ini. Apa manusia sudah menjaga alam sebagai rumah November? Apakah manusia berbaik hati dan mendengarkan apa bisikan alam daripada hanya memanfaatkannya untuk gelontoran rupiah? Apa manusia pernah berbaik hati untuk mengembalikan sesuatu yang sudah diambilnya dari alam? Apa manusia tidak mengerti tentang global warming? Mengapa harus salahkan November yang tak tahu apa-apa?
Lalu aku akan menghela nafas panjang dan menepuk si November untuk menenangkan kegelisahannya. Ya, kita impas.
Kali ini, bukan ingin memojokan November lagi. Aku hanya akan menyampaikan apa yang terjadi di hadapanku saat ini. Apa yang baru saja kualami hari ini. Tentang gerimis yang muncul malu-malu dan segera pamit ketika kami memuji-Nya.
Siang ini gerimis singkat turun dari langit. Gumpalan awan mendung memang terlihat menggantung pagi ini. Hanya turun sebentar, singkat, lembut dan perlahan-lahan. Tak lebih dari satu jam, kupandangi tetes demi tetes air yang tercurah. Semuaya menikmati dan sekarang hawa sejuk dari sisa hujan tengah menyapa. Burung-burung berpasangan untuk bermain di atas rumput yang masih basah. Gerombolan lainnya terbang sembari berkicau dengan nyanyian riang. Semuanya menikmati sedikit hujan yang hadir. Tapi aku justru merasa iri. Aku iri pada burung yang bebas menikmati segala kesejukan setelah hujan. Karena kebebasan yang kini aku dapat adalah hasil dari bolos kelas yang seharusnya berlangsung satu jam lalu. Bukan, aku tak berpikir untuk melarikan diri. Aku hanya ingin menikmati hidup yang singkat ini. Yah memang terdengar sedikit egois dan liberalis atau apapun yang ada di kepalamu saat ini. Tapi terkadang manusia sering lupa, termasuk aku. Bahwa catatan Tuhan lebh bermakna daripada catatan absen manusia kan? Aku tidak bermaksud membenarkan aksi bolosku. Tapi apa salahnya? Toh aku tak pernah membolos sebelumnya.
Terkadang, manusia takut pada sebuah peraturan. Deretan kalimat perintah yang ditulis oleh manusia tapi melalaikan peraturan dari Tuhan. Seseorang takut terlambat datang kuliah karena takut pintu dikunci dan ia kehilangan absen. Tapi ia melalaikan panggilan ibadah, dan berleha-leha menundanya tanpa sebuah ketakutan yang berarti. Apa yang kau maksud? Kau melupakan November?
Aku tahu, semakin lama, tulisanku semakin menjauh dari November dan hujan. Tapi yang coba aku sampaikan hanya hal sederhana. Aku tak mau menjadi manusia yang takut pada peraturan yang dipegang manusia lain yang lebih berkuasa. Lebih baik aku mendapat konsekuensi dunia darinya daripada aku harus meninggalkan Tuhanku dan jalan terbaiknya yang penuh nikmat untukku. Mungkin akan terdengar aneh, tapi aku lebih suka jika kau mengenalku sebagai rebel, si pemberontak yang tak ingin dikekang oleh peraturan manusia. Tidak setuju? Debat saya. Apapun pilihanmu, ya itu kamu. Aku tak bisa memaksakan pandanganku pada manusia lain.
Have a nice afternoon.

Rabu, 4 November 2015
Sambil menikmati waktu bolos dengan memandangi hamparan lapangan rumput yang masih basah. Dihibur kicau burung dank abut tipis hawa dingin.