Laman

Pages - Menu

Sabtu, 24 Oktober 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 13


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Keping 13 available meski belum sempat gambar. Ya sudahlah. Leil bangun dengan tanda tanya yang memenuhi pikirannya. Ketika semua orang tak mengenali Pierre dan Leil menjadi satu-satunya yang masih mengingatnya. Keping ini akan bahas semua tanda Tanya Leil sebelumnya tentang Pierre. Tanpa basa-basi lagi, Happy reading.


LEIL
 “Ayah, aku ingin bicara berdua dengan June. Bisa tolong tinggalkan kami?”


“Tentu, sayang.”

Ayah mengecup keningku sebelum akhirnya dia keluar kamar sambil membawa si kakek bersamanya. Setelah pintu tertutup, hanya ada aku dan June. Ia merapat, sepertinya sangat antusias untuk mendengarkanku.

“Ini tidak seperti yang sebenarnya. Aku tidak terpeleset dan jatuh pingsan. Aku diserang vampir dan pria itu menyelamatkanku. Pria dengan bola mata turquoise indah yang menyedihkan. Aku menemukannya terbaring di atas sebuah makam tua dan ia tengah terluka. Akhirnya aku ke toko, mengambil kotak obat dan kembali ke bukit untuk membantunya. Aku bahkan memberikan syalku padanya.”

“Leil, kau hanya terpeleset.”

“Tidak June, aku ingat pasti kejadiannya. Dia ada di sana, aku membunuh dua vampir dengan pena ultraviolet dari ayah. Tapi masih ada dua lagi, seorang wanita galak dan pria bermata hangat. Aku hampir mati di hajar wanita itu. Namanya Sachi, aku hampir mati saat Pierre datang. Dia menyelamatkanku.”

“Baiklah. Kurasa kau masih perlu istirahat. Aku akan memberimu izin untuk cuti esok hari. Jadi manfaatkanlah waktumu untuk istirahat.”

“Kaupikir aku tengah mengigau? Aku benar-benar mengalaminya, June. Bahkan rasa sakitnya seperti tulang punggungmu patah.”

Aku meraba pinggangku dan tak terasa sakit ataupun nyeri. Jika Sachi melemparku tadi dan punggungku benar-benar kepayahan, harusnya sekarang masih terasa. Setidaknya akan tersisa lebam besar di sana. Aku langsung beranjak menuju cermin meja riasku dan memeriksa punggungku. Tapi tak ada apapun di sana, masih tetap normal seperti sebelumnya. Tak ada tanda bahwa aku mengalami cedera serius di bagian punggung. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Yang membawaku pulang bukanlah Pierre tapi kakek itu? Mungkin dia tahu tentang sesuatu yang sebenarnya terjadi.

Aku langsung menyambar pintu dan segera menuju ruang tamu. Ayah dan si kakek tengah berbincang ditemani secangkir kopi. Nafasku terengah dan mereka hanya memandangiku dengan tatapan aneh. Lagipula, kenapa juga aku harus terburu-buru?

“Ada apa Leil? Kau ingin kopi juga?” tanya ayah.

“Kakek, kau berbohong pada mereka bukan?”

“Apa yang kau katakan nona muda? Aku sama sekali tak mengerti”

“Kau yang membawaku pulang?” kudapati si kakek mengangguk membenarkan pertanyaanku.

“Kalau begitu kau harusnya bertemu dengan Pierre, bukan? Pria bertubuh tinggi berambut hitam lurus panjang sampai ke leher dan bermata turquoise. Katakan padaku kau bertemu dengannya,” ocehku panjang dan si kakek hanya membalasku dengan senyuman.

“Aku tak bertemu siapapun selain kau.”

“Bohong! Aku tidak terpeleset dan pingsan. Aku diserang empat vampir dan Pierre yang menyelamatkanku. Dia terluka lengannya dan tak henti mengeluarkan darah. Karena itulah aku kembali ke toko June untuk mengambil kotak obat. Aku hampir mati di serang vampir dan saat itulah Pierre datang.”

Aku kembali terengah setelah menceritakannya. Ayah menghampiriku untuk merangkul bahuku. Aku tahu ini memang terdengar gila dan sulit dipercaya tapi itulah yang terjadi. Sepertinya sulit untuk menyakinkan mereka.

“Sepertinya kau masih perlu istirahat, sayang. Akan kubuatkan kopi untukmu,” ayah kemudian pergi menuju arah dapur. June berpamitan untuk pulang dan seketika hening. Di ruang tamu hanya ada aku dan kakek. Setelah menghabiskan kopinya, ia juga ikut berpamitan. Sebelum pergi, ia tersenyum padaku.

“Jadi kau masih mengingatnya dengan baik ya?”

“Apa?” aku terkejut dengan pertanyaan si kakek. Apa maksudnya adalah Pierre?

“Maaf jika aku harus berpura-pura tidak melihatnya. Karena dia sendiri yang memintanya. Kau sepertinya bukan gadis biasa, jadi kupikir akan baik-baik saja jika aku membocorkan hal ini padamu.”

“Jadi kau bertemu Pierre, bukan?” dia mengangguk.

“Lalu mengapa kau tak mengakuinya di depan June dan ayah? Kau membuatku terlihat seperti orang bodoh. Mereka menyangkalnya dan memperlakukanku seolah kepalaku telah terbentur batu saat aku jatuh. Aku diserang vampir, bukan jatuh.”

“Itu cerita lama, tak ada yang akan percaya. Mereka benar, kau istirahatlah.”

Kemudian dia berlalu dengan van klasiknya. Aku masih tak mengerti dengan si kakek. Terlalu banyak hal yang belum aku mengerti tentang hari ini. Ayah menghampiriku untuk menutup pintu. Setelah itu dia membawaku kembali ke kamar. Aroma lavender sudah terusir oleh semerbak aroma kopi yang menggairahkan. Aku menyambar cangkir yang ayah letakkan di atas meja belajarku. Tapi bukan kopi yang kudapat, hanya secangkir cokelat panas.

“Dimana kopiku?”

“Dimana si kakek?” tanya ayah berbalik. Aku segera memasang wajah sebal dengan tanda, ayah itu menyebalkan.

“Mungkin esok pagi. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk terjaga. Kau butuh tidur nyenyak malam ini sayang,” katanya.

Ia segera mendorongku kembali ke dalam kamar. Mengangkat cangkir kopinya dan meletakan segelas susu cokelat panas di atas meja dekat kasur. Dia duduk sambil menatapku seolah memerintahkan untuk segera istirahat. Mungkin ayah ingin aku segera menyingkirkan semua cerita gilaku dan kembali menjadi gadis kecilnya yang normal.

“Aku tak tahu apa yang sebenarnya meresahkanmu. Tapi aku selalu berdoa untuk keselamatanmu.”

“Maafkan aku ayah,” kataku pelan. Ayah hanya mengangguk.

“Istirahatlah. Selamat malam.”

Ayah mengecup keningku kemudian keluar dari kamar. Aku melemparkan tubuhku ke atas kasur, kembali menatap langit-langit dan memutar ulang peristiwa tentang Pierre. Tentang pertemuan pertama kami, saat itu aku menatap tepat di matanya dan sampai saat ini aku masih tergila dengan warna turquoise yang dimilikinya. Tentang sore ini, ketika aku menemukannya terlelap di atas sebuah makam dan tentang malam ini ketika semua orang melupakannya. Tapi tidak denganku, aku tak bisa melupakannya atau lebih tepatnya aku belum bisa melupakannya.

Aku terus mencari posisi ternyaman untuk memejamkan mata, tapi sampai saat ini aku masih saja terjaga. Detak jarum jam terdengar semakin menguasai ruangan. Kuambil mp3 player dan memasangkan headset di kedua telingaku. Berharap beberapa lagu sendu akan membuatku terlelap dengan sendirinya. Aku diam menikmati alunan sebuah lagu yang bercerita tentang perpisahan. Si penyanyi menceritakan kisah cinta dan diakhiri dengan perpisahan yang terlalu menyedihkan. Aku mencoba terhanyut dalam lagu, tapi tak bisa. Pikiranku terlalu banyak melayang pada sosok Pierre.

Aku duduk dan kutandaskan susu cokelat yang sudah tak lagi panas. Bergerak malas untuk memadamkan lampu kamar. Mungkin terlalu terang sehingga aku tak bisa memejamkan mata. Jemariku sudah berada tepat di atas tombol sakelar. Kumatikan lampunya dan kembali gelap yang aku temui. Semuanya gelap, seperti saat dia meletakkan telunjuknya di keningku.

“Kau akan melupakannya. Hari ini dan juga aku,”

Terbayang kembali wajahnya ketika mengatakan kalimat itu. Tatapannya dan kalimatnya. Sekelebat bayangan kurasa telah melintasi jendela kamarku. Entah mengapa, aku merasakan kedatangannya. Seolah semua perasaan ini menuntunku padanya lagi. Kubuka pintu kamarku perlahan dan aku mulai meninggalkan gelapnya kamar menuju ruang lain dalam rumah. Pierre, aku mendengarmu. Tunggulah aku. Langkah kakiku berhenti di pintu belakang rumah. Jemariku menggenggam erat gagang pintu dan segera membukanya.

“Pierre?” Aku menemukannya tengah berdiri di sana, menghadapku dan terkejut. Jangankan dia, aku saja terkejut dibuatnya. Ia masih belum berkata-kata, hanya menenggelamkanku dalam ilusi turquoise matanya. Bahkan matanya terlihat semakin indah saat sekitarnya gelap.

“Kau datang,” gumamku.

“Kau harusnya masih tertidur.”

“Harusnya begitu. Aku menunggumu dan tak bisa tidur.”

“Kau tak seharusnya melakukan itu. Lagipula kalau aku tak datang, bukankah itu menjadi sia-sia?”

“Tapi kau datang bukan?”

“Karena aku harus mengembalikan sesuatu padamu,” jawabnya enteng. Aku nyaris kesal saat ia selalu bisa menanggapi semua pertanyaanku dengan jawaban yang begitu mudah. Aku duduk di ambang pintu dan mencoba sesantai mungkin. Selain itu, aku juga tengah berusaha mencari jawaban yang mungkin sengaja disembunyikannya. Ia bertengger di atas tumpukan kayu bakar dan menyembunyikan tatapan matanya dariku.

“Apa kau yang membawaku keluar dari bukit?”

“Tentu saja. Bagaimana mungkin aku meninggalkan seorang gadis sendirian di tempat itu?”

“Hey, lalu mengapa semua orang melupakanmu? Aku terlihat seperti orang bodoh saat menceritakannya,” kataku setengah berteriak. Segera aku pelankan sebelum ayah tahu aku melarikan diri dari kamar dan menemui pria aneh di tengah malam. Akhirnya Pierre berbalik dan menatapku cukup lama sebelum akhirnya menjawab.

“Aku sengaja melakukannya.”

“Mengapa kau libatkan June juga? Jika kau masih sakit hati karena kami menolakmu waktu itu, atau karena Jossie memukulmu…”

“Tak ada satu pun dari alasanmu yang benar.”


(Bersambung…)

Kamis, 22 Oktober 2015

[REVIEW] Bullying dan Labeling

Pemberian Label Sama Jahatnya dengan Pembulian
(Bullying via Google Pict)
Labeling, memang terdengar asing dan sepertinya tidak ada yang menggunakan ini di masyarakat Indonesia. Benarkah? Kalian yakin mengatakannya? Memang apa sih labeling? Lalu mengapa di sini aku kaitkan dengan pembulian? Apa dasar tulisan ini?
Labeling adalah pemberian cap, identitas kepada seseorang berdasarkan perilakunya. Tapi kebanyakan pemberian label ini hanya sepihak saja, si pemberi label hanya melihat apa tindakan yang sering dilakukan oleh individu yang seolah menjadi ciri khasnya. Pemberian cap ini menjadi tidak adil bagi individu yang dicap karena bagaimana seseorang menjalani kehidupannya adalah hak individu itu sendiri. Memang apa dasar pemberian label ini? Ironisnya, seseorang bisa dengan mudah menyematkan sebuah label pada seseorang bahkan yang belum ia kenal baik. Misalnya pemberian label, wah si penjahat, si pencuri, si pendiam, si jenius, si konyol dan banyak cap lainnya. Sampai di sini pasti ada yang sudah mangguk-mangguk karena ternyata dekat dengan pembulian semacam ini.
Awalnya mungkin hanya sebuah julukan yang tidak akan pernah berakhir. Cap ini akan terus berputar dan akan mengasosiasikan perilaku seseorang semakin lekat dengan labelnya. Kecenderungan individu saat menghadapi cap semacam ini bisa berbeda-beda. Ada yang tidak bereaksi karena cap tersebut memotivasinya. Contoh, seseorang dicap sebagai yang paling rajin membaca buku di perpustakaan. Maka secara tidak langsung dia akan terikat dengan cap ini. Ia akan tetap rajin membaca buku karena titel-nya ini. Itu masih menjadi hal yang wajar karena cap yang disematkan masih bernada positif. Lalu bagaimana dengan yang negative? Hal inilah yang akan lebih banyak aku bahas dengan kaitan antara negative labeling terhadap tindak pembulian.
Kita tahu banyak cap negative yang biasanya beredar di masyarakat. Kita ambil satu contoh dengan cap pembunuh. Individu X dicap sebagai pembunuh karena dia pernah melakukan perbuatan yang berakibat kematian orang lain. Efeknya apa di masyarakat? Dia ditangkap polisi dan dipenjara atas kejahatannya. Secara tidak langsung maka si X telah dilabeli penjahat dengan spesialisasi pembunuh. Dari inilah labeling berfungsi dan mulai melekat pada si X.
Lalu kasusnya berhenti? Tidak. Setelah menjalani hukumannya maka suatu hari dia akan bebas. Saat dia kembali ke masyarakat, maka label penjahat dengan spesialisasi pembunuh tetap ikut bersamanya. Di saat dia mencoba kembali berbaur, ia malah ditolak dan teralienasi (terasing), dikucilkan dan terus menerima perlakuan seolah dia memang penjahat. Pada akhirnya, teori labeling yang diusulkan oleh Edwin M. Lemert akan menjadi klue selanjutnya. Apa itu teori labeling? Ini dia:
Labeling theory is the theory of how the self-identity and behavior of individuals may be determined or influenced by the terms used to describe or classify them. It is associated with the concepts of self-fulfilling prophecy and stereotyping
Bahwa penyimpangan sosial terjadi karena pemberian label di masyarakat. Seseorang yang telah dicap akan kesulitan untuk membuktikan diri bahwa cap itu tidak benar. Masih dalam kasus si X yang dicap sebagai pembunuh, maka lebih mudah baginya untuk menjadi apa yang dicapkan daripada untuk melepas cap itu. Toh kalau dia kembali membunuh seseorang, bukankah itu sudah menjadi julukannya? Jadi seolah-olah cap itu justru menariknya untuk tetap menjadi pembunuh.
Dalam hal ini bukan hanya pemikiran individu berlabel saja yang salah. Kita tidak bisa murni menyalahkan si X jika die membunuh lagi. Tapi cobalah berkaca pada pemberi label yang telah dengan jahatnya melakukan pembulian terhadap si X. seharusnya, masyarakat lebih merangkul si X dan menjauhkannya dari labeling. Lebih baik membantunya lepas dari label itu daripada menambah beban si X dengan terus mengulangi labelnya. Mungkin jika masyarakat lebih bijak dan memilih untuk membantu X melepaskan labelnya, kebenaran bisa saja terungkap. Terungkap bagaimana?
Mungkin ternyata si X membunuh bukan karena berniat membunuh. Bisa saja dia hanya mempertahankan dirinya dan sialnya tidak ada siapapun yang menjadi saksi mata bahwa si X lah yang sebenarnya menjadi korban. Jika labeling terus berlanjut, sulit untuk melepaskannya dari penilaian orang. Mereka akan terus berpikiran bahwa si X adalah pembunuh. Hingga ketika seseorang mengetahui sifat X yang ternyata tidak sesuai dengan labelnya, maka disaat itulah mereka baru menyadarinya. Tapi apa memang harus menunggu selama itu untuk mengungkap identitas yang sebenarnya. Sembari menunggu, sembari si individu berlabel akan putus asa dan berakhir dengan menjadi sesuai labelnya.
Bagi julukan yang lainnya mungkin akan membawa efek yang berbeda, misalnya ketika seseorang dikatakan si culun, si pemalu atau si pendiam. Seseorang menjadi seperti itu bukankah karena tidak mempunyai ruang untuk ekspresi diri atau memang dia kurang percaya diri. Berarti bisa dikatakan bahwa mereka seharusnya dimotivasi bukan dibully dengan label-label itu. Ketika seseorang yang seharusnya dimotivasi malah dibully, efeknya akan lebih menyeramkan. Individu tersebut akan lebih tertekan psikologinya. Labeling akan lebih banyak berefek pada motivasi untuk memperbaiki diri yang tadinya ada menjadi nol. Mereka akan terganggu psikisnya, merasa tidak berguna, merasa tidak diperhatikan, merasa tidak diberi kesempatan dan merasa tidak ada yang mendukung. Lalu efek buruknya? Suicide.
Bayangkan betapa mengerikannya sebuah julukan yang tadinya mungkin hanya main-main (tanpa niat menyakiti) akan menuntun pada akhir yang tragis. Jadi bijak-bijaklah dalam berkata, kalaupun ingin memberi julukan pilihlah yang bermuatan positif dalam rangka memotivasi. Meskipun awalnya terdengar seperti ironi, tapi pada akhirnya individu akan mengikuti labeling nya bukan?
Jadi sudah menemukan jalinan benang antara labeling dan bullying kan? Inilah sekilas kesimpulan dari pembahasan di atas:

1. Mulutmu, harimaumu. Kalau kamu tidak tahu bagaimana sebenarnya karakter seseorang, maka lebih baik diam. Meskipun ada kata maaf, tapi kata itu tak berguna jika yang kamu mintai maaf adalah masalah sakit hati seseorang. Kata terkadang bisa lebih tajam daripada pedang, karena kata bisa mehujam hati tanpa harus mengeluarkan darah. Bahkan waktu pun tidak perkasa untuk menghentikan sebuah kata meluncur menyakiti hati.

2. Kamu bukan juri atas hidup orang lain. Jadi jangan seenaknya melabeli orang. Kalaupun ingin memberinya julukan, pilihlah yang bermuatan positif untuk memotivasinya.

3. Pemberian label pada seseorang didepan umum sama saja seperti menelanjanginya di di depan semua orang. Sekali ada label pendiam, maka mencoba secerewet apapun seseorang akan tetap berjalan dengan label diam. Parahnya lagi, semua orang menyematkan kata yang sama.

4. Uruslah urusanmu sendiri. Memang negara ini lebih menerapkan konsep demokrasi daripada liberalism. Tapi kebebasan individu akan hidupnya juga diatur dalam undang-undang.

5. Pikir sebelum bertindak. Hal sederhana yang mungkin hanya untuk bersenang-senang tidak selalu ditangkap sebagai hal yang sama. Karena setiap individu memiliki persepsinya sendiri. Atau lebih mudahnya, bayangkan jika kamu berada di posisi si korban bulian. Pasti ga mau kan? Memang dasarnya manusia, selalu ingin berkuasa daripada dikuasai.

6. Setiap individu adalah unik. Labeling hanya menuntun dalam pengelompokan, padahal tidak mungkin semua orang bersifat mirip sehingga dapat dikelompokan dalam satu label.

7. Ingat lagi, pemberian LABEL itu JAHAT. Kalian yang melakukannya sama saja kalian jahat. Ajaran mana yang menyebutkan bahwa manusia boleh menjahati manusia lainnya? Pakailah golden rules yang sudah mendunia: jika kita ingin mendapat perlakuan baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik juga.
Terimakasih sudah mampir. Semoga dengan tulisan ini, kalian menyadari bahwa pembulian bukan hanya yang menjambak rambut, pengucilan atau jahil. Tapi juga pemberian label seenak jidat kalian. Ingat lagi poin nomor tujuh. LABEL=BULLY=JAHAT. Semoga tidak satupun dari kalian termasuk kelompok pem-bully. Mari sadarkan teman-teman lain jika gurauannya sudah keterlaluan. Dunia akan indah jika semua yang ada di dalamnya saling menjaga, bukan menyakiti.

Sabtu, 17 Oktober 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 12




Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Akhirnya bisa menggambar lagi setelah kemarin cuma ngambil foto dari Gugel. Semoga tidak mengecewakan dengan sketsa yang hitam putih ini. Juga dengan ceritanya yang mulai masuk ke sisi fantasi dengan makhluk-makhluk supernatural modern.
Leil berniat menolong Pierre yang terluka di bukit. Namun saat ia kembali, Pierre sudah tak ada di sana. Justru yang Leil temukan adalah segerombolan vampir bukit yang kelaparan. Seorang anak perempuan yang begitu ketakutan dengan makhluk itu kini harus menghadapinya seorang diri. Adakah kemungkinan lain yang bisa Leil harapkan?
Happy reading!

“Aku mendengar kalian! Siapapun itu, keluarlah dan tunjukkan diri kalian. Jangan hanya berbisik dari kejauhan karena aku masih bisa mendengar ocehan kalian!” kataku lantang.
Gadis bodoh, harusnya dia cepat pergi saat malam sudah menyelimuti bukit. Untuk apa dia kembali? Apa dia sengaja menyerahkan dirinya untuk dijadikan santap malam makhluk-makluk biadab di bukit ini? Bodoh.
Aku kembali mendengar suara lain yang berada lebih jauh daripada gerombolan tadi. Ia memakiku dan dari suaranya, kupikir aku mengenali nada datar yang terucap. Kuharap itu benar-benar Pierre, jadi aku masih bisa bahagia karena kutahu sekarang dia selamat. Setidaknya aku bisa menemuinya lain waktu untuk membalas budi.
Gemerisik semak di hadapanku membuatku harus meningkatkan kewaspadaan. Kupikir bukan Pierre yang akan muncul, mungkin para pemburuku. Kukeluarkan pena dari tas, memang terlihat begitu menyedihkan ketika melihat seorang gadis menantang keluar pada vampir hanya bersenjatakan pena. Tapi bukan Leil anak pemburu vampir jika yang kupegang hanya sebuah pena. Ayah adalah yang paling tahu akan ketakutanku jadi dia menyiapkan semua benda yang kupakai bisa menjadi perlindungan terhadap vampir.
“Oh gadis pemberani, pasti darahnya akan lebih lezat dari apapun,” oceh sesosok vampir kurus di depanku. Air liurnya menetes menjijikan, sungguh aku ingin segera menjadikannya abu. Muncul lagi seorang gadis berambut pendek yang langsung menindih si menjijikan.
“Sudah kubilang ini akan menjadi pertarungan antar gadis,” katanya tegas. Sambil memandang lurus kepadaku. Itu bukanlah tatapan peduli tapi seolah mengatakan aku akan segera menghabisimu gadis malang.
“Wow, kurasa kalian berdua harus lebih akur,” celetukku mencoba membuang ketakutan yang mulai hinggap. Jika yang muncul hanya si menjijikan, mungkin aku bisa mengatasinya seorang diri. Tapi dengan datangnya wanita ini, pertarungan akan berubah menjadi serius dan mengerikan.
“Kalian membuatnya takut,” sahut seorang lagi yang muncul dari semak. Kali ini kembali seorang pria berambut lurus panjang sebahu. Tatapannya begitu hangat dan ia terdengar bijak. Apapun itu, aku tetap tak bisa memercayainya meskipun ia terlihat berbeda dari yang lain. Tiga sudah keluar, harusnya masih ada satu pria dari gerombolan mereka. Tapi dimana?’
Segera kuarahkan penaku ke udara saat kudengar seseorang berbisik tentang darahku. Sinar ultraviolet memancar terang menembus tubuh yang masih melayang hendak menyergapku dari udara. Ia hanya bisa berteriak ketika juga ia jatuh sebagai gumpalan debu yang kemudian berpencar saat air menghujamnya.
“Kakak,” teriak si menjijikan.
Ia pun segera melesat menuju arahku. Aku tak tahu harus apa ketika mataku bahkan tak bisa menangkap kecepatannya. Yang kutahu, ia segera berada di depan mataku dan jemarinya nyaris merobek pipiku. Tapi kemudian ia terdorong jauh dariku. Si vampir wanita menendangnya menjauhiku. Saat ia tersungkur di hadapanku, ini kesempatan yang bagus. Aku kembali menyalakan sinar ultra violet dari penaku dan si menjijikan berhasil kuhapus.
“Sudah kubilang dia akan menjadi bagianku,” omelnya.
“Sachi, dia cukup liar untuk membunuh dua dari kita,” kata si mata hangat.
“Karena itulah aku tak akan berbasa-basi.”
Dia datang ke arahku dengan kecepatan luar biasa dan sialnya penaku sudah kehabisan daya untuk kembali memancarkan sinar ultraviolet. Aku kembali mengacak isi tasku untuk mendapatkan senjata lainnya. Tapi terlambat. Sachi membuatku tersungkur ke tanah, benturan saat mendarat membuat pinggangku terasa sangat sakit. Nyaris seperti patah namun lebih parah lagi. Aku merangkak di atas tanah yang kini tergenangi air, mencoba menjangkau tas yang terlempar jauh setelah serangan Sachi.
Ia kembali mendekatiku dan menarik kuncir ekor kudaku hingga rambut panjangku kini terurai. Semakin menyedihkan ketika ia kembali membenamkan wajahku ke lumpur. Aku tak bisa bernafas, bahkan kali ini mataku perih karena lumpur yang masuk. Saat Sachi mengangkat kepalaku, rasanya seperti hidup kembali. Kuhirup udara sedalam-dalamnya dan menengadahkan wajahku agar air hujan membasuh semua lumpur yang melumuriku.
“Berikan dia padaku, Sachi,” seru si vampir pria.
Seketika aku tak merasakan daratan setelah kudapati tubuhku sudah membumbung tinggi dilemparkan Sachi. Sementara itu di udara, pria bermata hangat sudah menunggu kedatanganku dengan jemari tangannya yang penuh cakar tajam. Ayah, aku telalu lemah untuk mempertahankan diriku sendiri. Tolong aku.
Gadis bodoh. Payah, merepotkan saja.
Aku kembali mendengar suara lain dan dia terdengar semakin dekat saja. Hingga kurasakan sesuatu yang hangat memelukku di udara. Erangan vampir pria bermata hangat terdengar nyaring di belakangku. Saat kupikir aku akan mati, justru kehangatan menyelimutiku dan seseorang kembali menyelamatkanku. Aku sudah berada dalam pelukan seseorang dan samar yang kulihat hanya bayang mata turquoise yang bersinar. Syal merah melilit lehernya tapi tak bisa menyembunyikan wajahnya dariku. Meskipun samar, tapi aku tetap bisa mengenalinya.
“Pierre?”
“Kau akan melupakannya. Hari ini dan juga aku,” katanya datar. Saat ia menyentuh keningku dengan telunjuknya, aku tak bisa merasakan perihku lagi. Semua dalam pandanganku menjadi gelap tapi aku masih bisa merasakan kehangatannya.
***
Semua yang tergambar saat aku membuka mata hanyalah pemandangan langit-langit kamarku. Detak jam dinding memenuhi ruangan, sekarang sudah jam sepuluh malam. Aroma lavender menyambutku. Aku sudah berada di kamarku dan menjadi pusat perhatian saat aku tersadar.
“Leil, kau akhirnya bangun juga. Aku sangat khawatir padamu, aku berjanji tidak akan membuatmu mengalami hal mengerikan ini lagi,” kata June sambil memasukanku dalam dekapannya. Aku masih tak mengerti apa yang dia katakan hanya saja sepotong demi sepotong memori tentang peristiwa itu berusaha untuk masuk perlahan. Saat Pierre menyelamatkanku dari serangan vampir di bukit.
“Pierre?” gumamku. Mungkinkah dia yang membawaku pulang?
“Siapa dia? Apa dia yang membuatmu begini?” Apa? June tak mengenali Pierre? Bukankah sebelumnya aku kembali ke toko dan mengatakan tentang Pierre dan alasanku kembali ke bukit.
“Pria yang menyelamatkanku. Apa bukan dia yang membawaku pulang ke rumah?” kulihat June menggeleng, ayah juga. Aku baru menyadari kehadiran seseorang yang asing bagiku. Seorang kakek 60 tahunan tengah duduk di dekat pintu kamarku.
“Kakek itu yang membawamu pulang.”
“Apa yang terjadi?” tanyaku putus asa.
“Kau terpeleset di bukit dan jatuh lalu tak sadarkan diri. Untung saja si kakek menemukanmu dan akhirnya ia membawamu pulang,” jelas ayah. Tapi aku sama sekali belum mengerti dengan apa yang terjadi. Mengapa ceritanya menjadi berubah dari yang kualami?
“Beruntung dia tahu bahwa kau bekerja di tokoku jadi awalnya ia mengantarmu ke rumahku,” tambah June. Si kakek hanya tersenyum memperlihatkan sebagian giginya yang menghilang. Aku hanya mengangguk membalas senyumnya.

(Bersambung…)

Senin, 05 Oktober 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 11

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Setelah pertemuan terakhir Leil dengan Pierre di seminar berkebun, mereka tidak bertemu lagi untuk beberapa hari. Hari ini June memberi tugas khusus pada Leil untuk mencari bunga cemara di bukit. Namun, kejadian tak terduga malah menghampiri Leil dan membuatnya semakin jauh terlibat dengan si pria aneh bernama Pierre.
Jadi, tunggu apa lagi. Happy reading!

LEIL
Kutemukan sesosok tubuh tengah berbaring di atas rerumputan. Tidak, bukan rerumputan tapi mungkin di atas makam. Yang kulihat tepat di atas kepalanya adalah sebuah nisan batu. Cahaya sore mulai meredup dan keremangan mulai meneduhi pandanganku. Bukan senja yang indah apalagi dengan pertemuan ini. Alih-alih menjauh, langkahku justru mendekatinya. Dalam hati ingin kupastikan apakah dia manusia atau makhluk lainnya.
Rambut hitam lurus yang kini terlihat rebah ke leher dan juga wajah tenangnya. Pierre, hanya saja aku tak melihat bola mata turquoise menyedihkannya. Ia terlelap sangat nyenyak seolah ia berada dalam buaian seseorang yang sangat dicintainya. Begitu tenangnya hingga ia terlihat bagai orang mati. Tangan kanannya berada di depan dada sambil mendekap setangkai krisan putih. Masih krisan yang sama seperti pertama kami berjumpa. Juga krisan yang sama saat ia mengacau di toko June.
Aku mencoba membaca sebuah nama yang terpatri dalam nisan tua itu, tapi percuma aku tak bisa membacanya. Bahkan untuk mendapatkan sebuah huruf saja sangat sulit kulakukan. Aku kembali menatapnya. Berapa lama ia berada di sini hingga dedaunan jatuh hampir menutupi sebagian tubuhnya.
“Pierre?” dia tak menjawabku.
Kusingkirkan beberapa daun dari sisi tubuhnya namun yang kudapat hanyalah bercak merah di antara jemariku. Astaga! Ini darah? Tubuhnya terluka, lengannya robek dan masih mengucurkan darah. Apa yang harus kulakukan? Aku harus membawanya ke suatu tempat. Dia harus mendapatkan pertolongan sebelum kehabisan darah. Tapi di tempat ini, siapa yang bisa kuminta pertolongan?
Kulepas syal putih tulang yang menggulung di leherku dan kugunakan untuk membalut lukanya. Jika aku berlari untuk kembali ke toko June mungkin masih sempat karena jaraknya tidak begitu jauh. Bergegas aku pulang, dalam kepalaku hanya ada Pierre dan kekhawatiranku akan keadaannya. Semoga aku tidak terlambat. Jika aku harus membalas budi, maka inilah kesempatan terbaik untuk melakukannya. Suara lonceng berdentang keras seiring dengan langkahku memasuki toko. Aku bahkan tak sempat memperhatikan raut wajah June saat aku menerobos begitu saja.
“Hey, mengapa kau kembali? Kita akan segera tutup, lagipula malam ini terasa lebih dingin dari kemarin. Tak banyak orang yang akan membeli bunga untuk makan malam romantis di malam sedingin ini.”
Aku masih mengacak-acak kotak obat yang ada di dekat meja kasir. June juga masih mengoceh namun tak ada satu pun pertanyaannya yang kutanggapi. Hingga akhirnya dia kesal dan mencengkeram lenganku. Ia memaksa pandanganku untuk menatapnya serius.
“Apa yang kau lakukan, Leil?”
“Aku harus menolongnya segera. Dia bisa mati,”
“Siapa? Yang kutahu harusnya kau sudah berada di depan perapian rumahmu yang hangat sambil menikmati cokelat panas setelah kau kembali dari bukit.”
“Aku tak boleh meninggalkannya terlalu lama. Ia sendirian di luar sana dan hari mulai gelap. Akan berbahaya baginya,” jawabku panik.
“Aku masih tak mengerti, Leil. Siapa yang kau maksud? Apa dia ada di bukit? Kau menemukan seseorang selain kau di bukit?” aku hanya mengangguk.
“Entah mengapa, aku tak yakin dia manusia. Bukit itu berbahaya bagi manusia apalagi saat gelap. Jika dia manusia normal yang masih menyayangi nyawanya, maka ia tak akan berada di sana sendirian dalam keadaan terluka. Kau harusnya tahu itu,” June kembali melanjutkan.
“Tapi aku harus membantunya, dia juga pernah membantuku.”
“Siapa?” kembali June menanyakan pertanyaan yang sama. Mungkinkah dia mengerti jika kukatakan nama pria itu atau harus kusampaikan dengan cara lain?
“Pierre. Pria yang pernah datang untuk membeli krisan. Padahal baru saja kemarin aku bertemu dengannya dan dia masih baik-baik saja. Tapi hari ini?” June langsung melepas lenganku dan seolah lemas mendengar jawabanku. Aku tahu apa yang June pikirkan tentang orang-orang seperti Pierre.
“Astaga, orang aneh itu? Pria aneh yang membeli krisan untuk pemakaman?  Dia yang membuat kekacauan dan memancing emosi Jossie. Mengapa kau begitu peduli padanya? Dia pembawa masalah, jangan dekati dia lagi.”
“Mengapa kau mengatakan hal seperti itu?”
“Entahlah, aku punya firasat buruk tentang pria itu. Seperti yang kau tahu, terkadang tebakanku benar. Jangan kembali ke bukit itu, Leil.”
“Lupakan. Aku harus pergi sekarang.”
“Leil,” panggilnya.
Aku kembali berlari ke arah bukit dengan kotak obat lengkap berada dalam genggaman tanganku. Tetes air menghujam dari langit dan membuatku mempercepat langkah. Jika sampai hujan bertambah lebat, dia akan kedinginan. Aku harus segera sampai dan memindahkannya ke tempat yang aman. Toko June mungkin bisa kujadikan persinggahan nantinya.
Hujan bertambah lebat saat aku sampai di tempat aku melihatnya. Tapi ia tak ada di sana. Tak ada apapun di sana selain rerumputan dan dua buah nisan batu. Aku mendekati tempatnya berbaring di salah satu makam itu. Dia benar-benar menghilang. Aku duduk bersimpuh dan lemas dibuatnya.
“… Jika dia manusia normal yang masih menyayangi nyawanya, maka ia tak akan berada di sana sendirian dalam keadaan terluka. Kau harusnya tahu itu. Aku punya firasat buruk tentang pria itu. Seperti yang kau tahu, terkadang tebakanku benar. Jangan kembali ke bukit itu, Leil.”
Kalimat June kembali berputar dalam kepalaku. Benarkah Pierre bukan manusia? Tapi ia terlihat normal dengan darahnya yang sempat kurasakan. Lagipula, hangat tubuhnya saat aku menggenggam jemarinya. Aku masih merasakannya, dia bukan makhluk tanpa jiwa. Dia memiliki kehangatan yang sama. Ini semua tidak mungkin.
Aku masih terus menyangkal dalam hati dan membiarkan tetes hujan menghujam tubuhku. Kurasakan hawa dingin yang kini merembes menelusupi pori-pori. Aku berbaring di tempatnya berbaring dan memejamkan mata. Sesuatu yang menenangkan tiba-tiba aku rasakan. Meskipun semua yang kulihat kini hanya gelap, tapi aku menikmatinya. Seperti sebuah keindahan dalam hujan. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Apakah ini yang ia rasakan sebelumnya?
Seorang gadis/ Lezat, harumnya membuat air liurku tak berhenti menetes/ Bodoh, kau memang menjijikan/ Biarkan aku yang menangkapnya/ Wow itu akan menjadi pertarungan antar gadis/ Minggir tuan-tuan dan lihatlah aku beraksi.
Astaga! Apa itu? Aku mendengar percakapan orang lain dan seketika kepalaku seolah berputar-putar. Aku langsung terjaga dan mengamati sekitar, tak ada siapapun. Hanya aku di sini juga desahan ranting yang saling bergesekan diterpa angin. Hujan semakin lebat dengan tambahan intimidasi petir yang menggelegar sesekali. Mungkin lebih baik aku pulang.
Cepat tangkap dia sebelum dia lari. Aliran darahnya membuatku tak tahan lagi/ Bersabarlah, dia hanya seorang gadis/ Fred benar, kalaupun dia lari bukankah kita bisa dengan mudah menangkapnya?
Suara-suara itu kembali terdengar. Bahkan semakin jelas tertangkap telingaku. Tapi sungguh aku masih tak menemukan siapapun di tempat ini. Atau aku masih belum melihat mereka. Ya, mereka. Suara tiga orang pria dan satu wanita, mungkin. Sepertinya mereka bukan tipe orang yang bisa kuminta pertolongan. Mungkin mereka justru berbahaya karena sebagian percakapannya seolah memasukanku dalam daftar menu makan malamnya. Kalau begitu, mereka bukan manusia?
“Aku mendengar kalian! Siapapun itu, keluarlah dan tunjukkan diri kalian. Jangan hanya berbisik dari kejauhan karena aku masih bisa mendengar ocehan kalian!” kataku lantang.
Aku siap menghadapi kemungkinan terburuk bahwa mereka bukan manusia. Sesekali mereka membicarakan tentang darah, jadi kusimpulkan mereka vampir bukit yang kelaparan. Meskipun aku masih menjalani terapi untuk menghapus trauma akan vampir, tapi aku yakin untuk saat ini. Setidaknya semua benda yang ayah berikan padaku menjadikanku seolah gudang senjata seorang pemburu vampir. Tentu saja, aku harus mengambil keberanian ini. Sebuah fakta menarik bahwa aku adalah puteri seorang pemburu vampir. Aku tak akan mengalah pada ketakutanku.

(Bersambung…)