Laman

Pages - Menu

Kamis, 17 September 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 10

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Budidaya tomat via infoagribisnis.com
Yeay, sudah sepuluh episode ternyata. Sekilas tentang keeping 9 kemarin, Leil bertemu kembali dengan Pierre- pria bermata turquoise yang pernah mengacau di toko bunga June. Mereka bertemu di sebuah acara seminar berkebun. Tapi kali ini mereka bertemu di suasana yang lebih hangat. Ups, kebanyakan spoiler.
Langsung saja, ini dia lanjutan dari serial 3Blood. Happy reading!

LEIL
Acara memasuki puncaknya, akhirnya kami diizinkan untuk melakukan praktek langsung bertanam dengan si kakek. Semua orang mulai mengenakan celemeknya dan menuju meja panjang berisi tanah di tengahnya. Aku mengeluarkan pot bunga yang sudah diberikan panitia di awal acara.
“Seperti biasa, pilih tanaman favorit kalian yang ada di meja sebelahku ini. Apapun yang kalian dapatkan nanti, kalian bisa membawanya pulang. Jadi ambilah tanaman yang kalian suka, sekarang!”
Aku masih mengaduk-aduk tanah dalam pot bungaku ketika peserta yang lain mulai bergegas pergi dari meja tanah. Astaga apa aku terlambat? Aku segera ikut dalam keramaian dan mencoba mendekat ke meja bibit. Tapi sepertinya sia-sia, seperti seorang bocah yang mencoba melawan ibu-ibu dalam pesta diskon. Aku hanya akan menjadi anak tersesat sekali lagi. Semua yang sudah mendapatkan tanamannya kembali ke meja tanah untuk mengikuti instruksi selanjutnya. Tak ada yang tersisa di meja bibit padahal si kakek mengatakan bahwa jumlah bibitnya disesuaikan dengan jumlah peserta. Lalu mengapa tak ada yang tersisa untukku?
Dengan tangan hampa, aku kembali ke meja tanah dan memandangi pot tanamanku yang masih kosong. Seseorang meletakkan pot bunganya di sampingku, refleks aku langsung menatap si pemilik pot itu. Karena potnya kosong jadi kupikir kami sama-sama gagal dalam perebutan bibit. tadinya aku ingin menyapa dan mengatakan bahwa kita sama. Tapi aku merasa bertambah hampa, apalagi setelah melihat bahwa Pierre mendapatkan krisan di tangan kanannya.
“Ini untukmu,” katanya datar sambil meletakan bibit tomat dalam potku yang masih kosong. 
Ia sama sekali tak menatapku, perhatiannya teralihkan dengan menanam krisan di potnya. Aku bahagia sekali dan ingin mengatakannya tapi sikap dinginnya membuatku ragu. Langsung kutanam tomat itu, mengapa dia malah memberiku bibit tomat bukannya krisan. Padahal krisan lebih cocok untuk ditanam seorang gadis?
“Terima saja tomatnya. Itu lebih cocok untuk gadis sepertimu,” celetuknya tiba-tiba.
“Apa kau bisa membaca pikiran seseorang?” tanyaku liar sementara dia hanya tersenyum mendengarnya.
“Tidak. Aku tahu karena kau terus memandangi krisanku dan seolah tidak puas dengan tomat yang kuberikan. Semua orang juga bisa melihatnya dengan jelas.”
“Kau semakin mengerikan saja.”
Acara berakhir tepat setelah senja. Karena hari sudah cukup gelap dan jalan pulang kami searah, akhirnya Pierre menemaniku pulang. Aku masih mendekap pot tomat yang baru saja kutanam. Sementara ia memasukkan pot krisannya dalam totebag hitam yang ia dapat karena memenangkan kuis di akhir acara. Kami berjalan bersisian dan seolah mengingatkanku pada pertemuan pertama kami.
“Kau melamun?” tanyanya.
“Tidak. Kuharap aku tidak melamun.”
Kembali diam, perjalanan ini kembali diam untuk waktu yang cukup lama. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya, ataupun apa yang harus kami bagi. Bagiku dia hanya pelanggan bandel yang kutemui kemarin sore jadi tak ada alasan untuk akrab dengannya. Tapi pertemuan hari ini memberiku alasan untuk kami saling mengenal dengan baik. Setidaknya aku tahu dia tak sekaku pertemuan pertama kami. Atau menyebalkan seperti pertemuan kedua kami di toko June. Saat itu aku melihat pandangan matanya kosong dan jauh menerawang tapi yang kulihat hari ini sangat berbeda. Tatapannya begitu hangat seolah menawarkan sebuah persahabatan.
“Hey, terima kasih untuk hari ini,” kataku kemudian. Sepersekian detik setelah mengatakannya aku baru menyadari kebodohanku. Dari mana asal kalimat itu muncul? Astaga, aku melepaskan pembentengan diriku dan membiarkan perasaanku meluap begitu saja.
“Untuk tomatnya?”
“Ya, untuk tomatnya. Aku akan menyiramnya secara teratur dan jika sudah berbuah, aku akan membaginya denganmu.”
“Aku tak berharap akan membagi krisanku denganmu.”
“Dasar pelit.”
“Kau simpan saja sendiri tomat itu.”
“Aku akan membaginya denganmu. Jika suatu saat kita bertemu lagi.”
“Andai kita bertemu lagi,” gumamnya.
“Apa?” ulangku meminta konfirmasi. Tapi jawabannya tertunda setelah sebuah mobil sport silver berhenti tepat di hadapan kami. Jossie keluar dari mobil dan menghampiri kami.
“Jossie?”
“Aku menjemputmu di toko June tapi aku tak menemukan siapapun. Beruntung aku menemukanmu di sini jadi aku akan mengantarmu pulang. Masuklah,” kata Jossie. Tatapan hangatnya berubah drastis ketika melihat Pierre bersamaku.
“Apa dia menyulitkanmu lagi, Leil?”
“Dia Pierre, teman baruku. Hari ini kami bersenang-senang dengan kakek pekebun. Pierre ini Joshua Franklin atau panggil saja dia Jossie, teman masa kecilku,” kataku sambil mengantarkan keduanya pada sebuah perkenalan. Pierre mengulurkan tangannya dan Jossie menyambutnya dengan hangat.
“Aku senang jika kau bersenang-senang hari ini, Leil. Tapi ini saatnya pulang,” kata Jossie. Ia juga menepuk bahu Pierre sebelum akhirnya kembali ke mobil.
“Ayo Leil,” panggilnya. Aku segera mengikutinya masuk ke dalam mobil. Saat kami melewati Pierre, aku masih sempat melambaikan tangan.
“Terima kasih untuk tomatnya,” teriakku. Dia hanya membalas lambaian tanganku.

PIERRE
Masih bisa aku melihat senyum cerianya dan kubalas dengan lambaian tangan. Kupikir yang kulakukan cukup normal. Tapi pria itu seolah tak nyaman dengan keberadaanku. Andai Leil tahu bagaimana kerasnya Joshua Franklin menjabat tanganku. Mungkin dia tak berniat menyambutku dengan ramah, kupikir dia ingin meremukkan jemariku.
Entahlah, lagipula itu tidak begitu menggangguku. Sekarang sudah kudapatkan pot krisan yang ketiga dan kuharap dengan itu aku tak perlu membeli krisan lagi di toko bunga. Aku terus berjalan di kegelapan malam. Tapi malam bukanlah hal yang merepotkanku, bahkan aku cukup bersahabat dengannya.
Tak lama kemudian aku telah sampai di pintu depan rumahku dan saat itulah kutemui seorang wanita. Rambut pirang panjangnya terurai seperti biasa. Hari ini ia tetap mengenakan gaun hitam untuk menemuiku. Warna yang sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Matanya tajam menatapku, mungkin ia sudah lama menunggu. Aku tak memerlukan cahaya lampu untuk memastikan identitasnya karena aku sudah tahu.
“Jarang kau menungguku di luar. Mengapa tidak masuk ke dalam saja, Fista Sofia?”
“Aku mencoba menjadi tamu yang sopan. Jadi kau pergi ke seminar kakek tua itu lagi untuk mendapatkan satu pot krisan?”
“Begitulah. Hari ini aku juga dapat totebagnya. Bahkan dia masih mengingat namaku dan kami terlihat begitu akrab. Masuklah,” ajakku. Tentu saja aku tak bisa membiarkan seorang wanita berada di luar setelah ia menunggumu begitu lama.
“Dengan senang hati.”

(Bersambung…)


Rabu, 16 September 2015

[CURHAT] Sepucuk Rindu



Surat Via Google Pict
Rubrik terbaru di loker Adzania's. 
Kolom ini isinya semua curhatan dan catatanku selama menjelajah di perantauan. Bisa berisi puisi, atau cuma deretan diksi. Juga bisa foto atau juga sebuah kisah kerinduan akan tanah halaman. Semua disajikan dengan berbagai rasa yang menarik. 
Semoga kalian suka. 
Salam :)



 
Sepucuk Rindu
Tak ada malam yang terlalu malam untuk terpejam. Yang ada hanya terlalu pagi untuk terjaga. Tapi aku yang sekarang dalam aliran waktu ini, bukan karena aku terbangun dari mimpi buruk. Aku hanya tak bisa memejamkan mata. Bukan pula karena aku takut menghadapi mimpi buruk saat mataku terpejam. Tapi karena aku takut kehilanganmu. Ketakutan terbesarku adalah saat kau menghilang dariku. Saat aku terlelap, aku tak pernah bisa menemukanmu dalam mimpiku. Itulah yang kutakutkan dan itu pula satu-satunya alasanku masih terjaga sampai saat ini.
 
Padahal aku tak pernah menyesali kepergianmu sebelumnya. Aku tak pernah menyangka ini terasa begitu memilukan. Kata perpisahan yang kurangkai ternyata sia-sia, hatiku masih merajut benang kerelaan untuk melepasmu. Senyum waktu itu, kini kusadari itu hanya sebuah kemunafikan diri. Aku tak pernah bisa mengulumnya untuk benar-benar melepasmu. Lalu dengan sisa kata yang kukorek dari timbunan sampah masa lalu. Aku hanya akan mengatakan bahwa aku masih mencintaimu.
Aku merindukanmu.

Aku tahu ini terlambat. Jarak sudah terbentang panjang semenjak langkah pertamamu membelakangiku. Bahkan kini aku tak bisa menatap punggungmu atau menginjak bayanganmu. Waktu benar-benar mengejekku, tertawa akan kebodohanku. Tapi aku belum kehilanganmu. Kau masih ada dalam hatiku. Memang bukan jaminan bahwa aku juga akan ada dalam hatimu. Setidaknya kau telah menjadi tanda dalam diriku. Bahwa kita masih saling terikat, bukan? Doa yang senantiasa aku lantunkan seolah menghubungkanku semakin dekat padamu. Memang terasa bodoh ketika kukatakan bahwa aku mengikat seorang lainnya dalam doa. Tapi itulah yang kupercaya.

Saat ini aku tengah bertengger di tepian jendela. Aku masih seperti dulu. sulit terpejam di malam hari dan bertengger mencari angin. Aku ingin ia kembali menyampaikan salamku pada seseorang. Salam sayang, rindu dan cintaku. Untukmu.

Kupandangi bulan yang menyabit. Ia terlihat paling terang meskipun aku tahu cahayanya hanyalah pinjaman dari mentari. Tapi setidaknya ia berusaha untuk menjadi indah dan menghiburku. Saturnus juga merapat, melalui celah lingkaran kecil, aku melihat cincin yang mengelilinginya. Lalu hanya kubandingkan dengan jemari tanganku. Aku masih menunggu saat cincin darimu melingkari jemari manisku. Ini bukan tentang cincinnya, tapi tentang ikatannya. Aku ingin kau menandaiku dan membedakanku dari gadis lainnya. Aku ingin kau memberiku kepastian bahwa aku gadismu.

Mungkin kalimatku terlalu berat untuk menjadi sebuah percakapan di malam hari. Jadi lupakanlah dan anggap ini hanya igauan gadis yang tengah digulung rindu. Tapi sungguh, kata rindu dan cinta yang kutulis bukanlah sebuah igauan. Ini semua nyata. Nyata bahwa aku mencintaimu.

Jika saat ini malam juga berada di tempatmu berada, maka temui aku. Meski kita berada di jendela yang berbeda, aku bisa memandangimu sekali lagi. saat ini aku tengah menatap rembulan dan beberapa bintang juga Saturnus. Aku yakin kau juga bisa melihatnya dari jendelamu. Tatap mereka dan rinduku akan sampai padamu. Karena aku yakin sejauh apapun kita terpisah, kita tetap terhubung. Kau dan aku. Masih di atas bumi yang sama sambil berteduh di langit yang sama. Hanya saja saat ini, kita tengah berputar ke arah yang berbeda.
Semoga kerinduanku sampai padamu.
NB: Masih belum bisa terlelap setelah nonton V for Vendetta
Plesiran, 23 Mei 2015/ Sabtu 2:31 AM

Kamis, 10 September 2015

[QUOTE] Spotlight

Spotlight



Sekedar inspirasi. Bahwa tidak semua orang mampu berdiri di atas panggung dan menerima sorot lampu di tengah penonton. Tapi setiap orang berhak untuk tampil sebagai dirinya sendiri. Mungkin tak harus naik panggung dan disorot lampu. Akan ada waktu saat kita akan mendapat kebanggaan dari apa yang kita suka. Jadi, do what you love and love what you do.

Note: itu gambar di capture dari konser One Ok Rock di Yokohama. Kyaa, mas Taka main piano membawakan lagu Pierce yang menyayat hati dengan penghayatan maksimal. Seolah saya ingin duduk di sampingnya dan rela jadi tempatnya bersandar. Coba saja dengarkan lagunya, kau pasti suka.

Salam S'mangat,
Adz