Laman

Pages - Menu

Minggu, 26 Juli 2015

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 5

Gelas pecah via ceritasatucinta. blogspot.com
Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Halo,
Berhubung kemarin dirikuterlambat melanjutkan keping empat dan ada satu minggu tanpa kisah ini. Maka minggu ini kuberikan dua keping sekaligus sebagai permintaan maafku pada teman-temanku para pembaca sekalian. Maaf yang setulusnya dariku :)

Terjadi kehebohan besar yang tak pernah Leil duga akan terjadi setelah pelayarannya. Kupikir inilah saat yang tepat untuk memperkenalkan tokoh baru dalam kisah ini. Bagaimana mereka bertemu dan apa reaksi Leil terhadapnya? Tebaklah, aku akan mendengarkan. Tapi bagi yang tak mau mengikuti permainan tebak-tebakan, silahkan membaca saja. Lanjutan kisahnya tersedia. Happy reading dan siapkan cangkir kopinya. Salam.




LEIL
“Kita sudah sampai, nona,” sambut Jossie dengan uluran tangan halus memesona. Aku pun tertawa lepas mendengar nada bicaranya yang sok formal. Aku mengabaikan uluran tangannya dan memberikan tepukan untuk membalasnya.
“Terimakasih banyak, Josh.”
“Sama-sama. Jangan pernah bosan untuk menghadiri undanganku, ya?”
“Tentu.” Jossie kembali ke belakang kemudi lalu pamit.
“Hati-hati,” seruku mengiringi kepergian mobil silver itu kembali kejalan lalu menghilang. Kubuka pintu toko, dentangan loncengnya pun mengikuti. Kutemukan June di belakang meja kasir dengan senyum lebar mengerikan.Kubuka pintu toko, dentangan loncengnya pun mengikuti. Kutemukan June di belakang meja kasir dengan senyum lebar mengerikan.
“Apa cerita hari ini, tuan putri?”
“Ikuti aturan mainnya, June.”
“Ayolah, berbagilah sedikit cerita sebagai sesama teman. Setega itukah kau padaku?” aku menggeleng pada June dengan tambahan senyum persuasif agar dia membayarnya.
“Kalau begitu kau akan membayar lebih untuk ini, Leil. Bahkan kau akan memohon-mohon padaku, nantinya.”
“Maksudmu?”
“Ikuti aturan mainnya, Leil.” June hanya tertawa puas.
“Sial, kau mengulang kalimatku.”
“Bergegaslah, ada tiga buket yang harus kau kerjakan.”
Aku segera menuju gazebo di halaman belakang toko. Puluhan bunga bermacam warna dan jenis tengah mekar sempurna. Belum lagi beberapa yang melingkari gazebo, membingkai keindahan hari ini. Sore mulai turun dengan senja yang menjulur di langit, menutup layar panggung sang siang. Betapa megahnya pertunjukkan hari ini hingga aku sebagai seorang penonton sepertinya hrus memberikan standing applause untuk para pemeran dari pentas hari ini. Akhirnya tiga buket yang kurangkai tlah selesai dan dua di antaranya sudah diambil. Hanya satu yang masih tersisa tapi karena yang memesannya adalah pelanggan setia, maka June sendiri yang akan mengantarnya. Tugasku selesai hari ini.
“Semoga perjalananmu menyenangkan, Leil,” kata June dengan diksi yang mencurigakan. Tak biasanya ia mengucapkan kata itu saat aku pulang.
Aku hanya melambai dengan sedikit sapuan senyum. Kurapatkan jaketku ketika hawa dingin mulai meronta masuk menembus pori. Tak ketinggalan, sarung tangan tebal pun kukenakan. Cukup wajar untuk kota kecil di kaki gunung. Kusapa lampu jalanan yang menyala temaram menghias malam sibuk di hari Minggu, aku berhenti di ujung zebra cross sembari menunggu lampu merah membukakan jalan untukku. Kupasang earphone dengan lagu menenangkan. Setidaknya itu bisa mengurangi kekhawatiranku pada kata-kata June.
Tiba-tiba suara bising bak sekawanan gajah melintas, mengusik deretan melodi indah yang mengalir ke telingaku. Kulepas earphone, rasa ingin tahuku benar-benar memuncak hingga ia mendorongku untuk menengok ke arah sumber kegaduhan. Samar kulihat mereka adalah segerombolan wanita dengan atribut mengerikan siap untuk berdemo. Kualihkan tatapanku, ya aku cukup tahu tentang permasalahan yang satu ini karena hampir setiap akhir bulan pasti kantor walikota ramai oleh demonstran.
Demonstrasi di kota ini adalah hal biasa. Para gadis dan ibu-ibu rumah tangga adalah pemain utama dari setiap demonstrasi, mereka sering melakukan demo hanya untuk menuntut adanya diskon besar-besaran di akhir pekan. Gila bukan? Kupasang lagi earphone-ku, bersiap untuk menyeberang ketika cahaya kuning memberikan kode padaku.
“Leil, PENGKHIANAT!!!”
Fokusku langsung kembali pada mereka. Gerombolan itu menyebut namaku? Kucermati lagi kawanan itu dan ternyata mereka bukanlah demonstran yang ingin berdemo menuntut diskon di depan kantor walikota, tapi mereka adalah pelangganku? Kau tahu kan apa maksudku, aku menjual informasi tentang Jossie pada mereka yang membutuhkannya dan aku panggil mereka pelanggan. Apa yang mereka lakukan? Mereka menyebutku? Pengkhianat? Maksudnya? Handphone-ku berdering karena sebuah pesan menerobos masuk.
June
Terkejut? Hahaha… bermainlah dengan mereka, Leil. Mereka membayar banyak untuk menonton videomu dan Jossie kemarin. Semoga perjalananmu menyenangkan…
Love you…
“JUNE!” teriakku.
Sudah kuduga ini pasti perbuatannya dan ini juga arti dari ucapannya tadi. Video dia bilang? Tapi ia tak mungkin punya kesempatan untuk merekam apapun saat aku berada di toko. Lalu, video apa yang dia jual hingga membuat remaja-remaja itu menggila dan mengejarku? Tiba-tiba terlintas sebuah sumber yang mungkin. CCTV. Terimakasih bagi penemu CCTV. Karena anda, aku dapatkan masalah besar!
Segera kuterobos jalanan, menghindari massa yang gigih tetap mengejarku. Aku terus berlari entah kemana, mungkin ini adalah bagian terjauh dari jalanku selama ini. Melarikan diri hingga celah terkecil di sudut sempit kota ini, mungkin.
“Kau akan menyesali ini, June!” teriakku lantang sambil terus berlari.
“Pengkhianat! Berhenti kau!! Aku akan menghajarmu, gadis gila!”
“Diamlah! Kalian yang nampaknya mulai gila,” timpalku.
Hari semakin gelap, begitu pun dengan aku yang semakin tak mengerti dengan jalanan yang sedang kutapaki, sebuah sudut yang bahkan sangat asing dalam peta otakku. Lalu dimana semua orang? Dimana keramaian kota? Dimana cahaya terang lampu pertokoan? Dimana para demonstran yang tadi menuntut atas pengkhianatan kecilku? Tiba-tiba tubuhku terguncang membentur sesosok tubuh tinggi menjulang hingga kami saling terkejut.
“Maaf, aku tak melihatmu.”
Dia tetap diam lalu memandangku. Ya ampun, makhluk apa dia? Bola turquoise yang tertanam indah di matanya terasa begitu menyedihkan. Tatapannya yang kosong tanpa makna justru membuatku tertantang untuk menguak makna di baliknya. Rambut hitam lebatnya tergerai bebas sampai ke leher. Tak ada senyum maupun niat untuk tersenyum di bibirnya. Kudengar massa mulai mendekat dengan riuh gemuruh yang menebar teror dalam gelap sementara aku masih terpaku di bawah temaram cahaya lampu satu-satunya yang menerangi wilayah ini. Berada di tempat asing tak terjangkau GPS otak dengan satu orang asing, argh… aku terjebak dalam situasi yang sulit.
Ia menarik lenganku hingga aku masuk dalam dekapannya. Sebuah refleks yang cukup mengejutkanku. Ternyata ia menyelamatkanku dari serangan telur busuk. Mereka langsung mengepung kami, kubuang wajah panikku. Mencoba menghadapi mereka setenang mungkin.
“Hai, teman-teman. Bagaimana kabar kalian?” sapaku.
Kaku dan mungkin terdengar aneh, tapi kubuat seramah mungkin. Jelas-jelas mereka mengejarku dengan semangat, bukankah itu berarti mereka baik-baik saja fisiknya kecuali jiwanya yang kurang waras karena sedikit provokasi June. Mungkin jiwa mereka juga waras, hanya saja emosinya meluap dan melahapku adalah obat yang tepat. Astaga, aku harus tetap positif.
“Cukup basa-basimu, kau pun tahu apa yang kami mau bukan?”
“Kau takut karena kami mengetahui kebohonganmu. Karena itu pula kau lari dari kami, bukan?” timpal yang lain ikut memojokkanku.
“Kau berpacaran dengan Jossie, karena itulah kau tahu banyak tentangnya dan kau jual semua itu pada kami.”
“Kau benar-benar licik.”
“Aku dan Jossie? Maksud kalian apa?” tanyaku mencoba seakan-akan aku tak tahu apa yang sedang dibincangkan. Tapi memang aku tak tahu mengapa mereka mengejarku.
“Kau kabur saat melihat kami. Itu artinya kau tahu apa yang kami mau!”
“Aku ketakutan. Siapa juga yang akan tetap diam jika dikejar sekawanan gadis dengan tampang liar dan sikap seolah barbar. Semua orang juga akan lari,” belaku.
Tapi mereka terus memojokanku hingga sulit bagiku untuk membela diri. Apa yang harus kulakukan? Mereka semua benar-benar liar setelah terpengaruhi gosip dari June. Bagaimana cara untuk menjinakkan mereka semua. Untuk bicara satu kata saja, mereka tak memberiku kesempatan. Apalagi untuk menjelaskan panjang lebar sebagai pembelaan diri?
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya pria misterius dengan tampang datar, tapi pertanyaannya cukup ampuh untuk membuat mereka diam. Bagus sekali, aku menatapnya dengan harapan ia mau membantuku menghadapi masalah yang satu ini.
“Siapa kau? Kami tak ada urusan denganmu!”
“Kami hanya menginginkan gadis yang bersembunyi di belakangmu! Serahkan dia!”
Mencoba berimprovisasi, aku menggandeng lengan kekarnya dalam balutan jaket hitam yang kontras dengan warna putih jaketku.
“Dia kekasihku!” teriakku lantang.

(Bersambung…)

[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 4

Peluk via www.kompasiana.cpm
Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Halo,
Setelah kemarin akhirnya Leil menghadiri undangan Jossie, cerita di atas pesiar pun berlanjut. Tentang kebersamaan, keluarga dan tentunya kejelasan cinta Jossie. Leil seolah menemukan kembali keluarga kecil yang bahagia dalam pelayaran singkat ini.
Maaf belum ada ilustrasi yang mendukung, tapi semoga imajinasimu dapat menggambarkan sendiri. Karena aku yakin kalian bisa melakukannya. Happy reading, jangan lupa cangkir kopinya. Salam.




Pesiar melaju ke tengah samudera dengan kecepatan sedang. Pelayan mulai sibuk menyiapkan peralatan memancing sedangkan aku duduk sendiri di buritan. Memandang betapa luas dunia ini dan betapa kecilnya aku di sini. Tiba-tiba setangkai mawar warna peach muncul di hadapanku dan membuatku tersadar dari lamunan. Kuikuti benang pancing yang mengikat mawar itu dan kutemukan Jossie di dek atas lengkap dengan senyum menawannya. Kuambil mawar itu dan ia  menuntunku ke sebuah spekulasi liar. Bukankah mawar peach melambangkan rasa terimakasih, apresiasi, kekaguman dan cinta yang manis? Apa Jossie memahaminya? Mungkin ini hanya kebetulan saja, atau…? Benarkah kata-kata June?
“…kurasa ia mulai menyukaimu, Leil! Selamat, kudoakan semoga kau benar-benar akan jadi nyonya muda Franklin…”
Deretan kata itu kembali terngiang di telingaku ketika June melompat girang setelah Jossie mengundangku untuk hari ini. Tapi itu rasanya tidak mungkin.
“Hey, apa yang kau lamunkan?” seru Jossie mengaburkan imajinasi liarku.
“Apa di sini bisa kulihat lumba-lumba?” jawabku spontan. Ia hanya tertawa. Tawa yang begitu bebas dan pesonanya semakin jelas terpancar.
“Jika kau beruntung, kau akan bertemu mereka.”
“Jika tidak?” kejarku.
“Aku akan membawamu ke tempat mereka bermain. Ayo memancing.” Jossie mendaratkan sebuah topi lebar dengan merk kelas dunia di kepalaku. Senyumnya kembali mekar, sungguh indah.
Kami berlayar terus ketengah. Menikmati mentari yang mulai menyengat dengan memancing tuna dan bersiap untuk langsung memasaknya. Nyonya Franklin mengajakku untuk memasak bersamanya. Tentu saja tak kutolak kesempatan langka ini. Ia bahkan menolak beberapa pelayan untuk membantu kami memasak. Ia bilang ia akan memberiku resep tuna kesukaan Jossie.
Wow!
Akhirnya kudapatkan juga kesempatan untuk berkenalan dengan bermacam bumbu dapur yang tak pernah kusentuh karena mereka semua tak ada di dapur rumahku. Beliau juga menjelaskan satu per satu fungsi dari benda aneh bernama bumbu dapur dan juga istilah dalam memasak. Kurasakan hari ini aku benar-benar hidup sebagai seorang anak perempuan, bisa kurasakan gambaran seorang ibu sebagai guru dalam kehidupan. Mungkin hari ini adalah hari pertamaku merasakan kembali kehadiran ibuku. Lama kupandangi jemari indah nyonya Franklin yang lincah meracik bumbu untuk tuna favorit Jossie.
“Leil?” tegurnya lembut.
Aku langsung menatapnya cepat, segera kupulangkan separuh diriku yang sedari tadi melayang. Dia balik menatapku dengan tatapan lembut penuh aura kasih sayang hangat seorang ibu. Ini adalah aura seorang ibu dan aku tak bisa bohongi diriku bahwa aku merindukannya. Ibu, aku merindukanmu.
Tanpa kusadari air mata menggenang memenuhi permukaan bola mataku, mengalir perlahan menuruni lereng wajahku. Seolah tahu apa yang tengah berkutat di pikiranku, nyonya Franklin mendekat untuk langsung membagi peluknya memenuhi tubuhku. Saat kehangatan itu menyentuh tubuhku, kutumpahkan semua air mata penuh muatan rinduku akan kehadiran seorang ibu. Nyonya Franklin mempererat peluknya sedangkan tangisku semakin menjadi. Tak bisa kubendung kerinduan itu dan akhirnya kudapat tempat yang tepat untuk mencurahkannya.
“Ibumu pasti bangga padamu, Leil.”
“Aku rindu ibuku. Belum pernah aku memeluknya seerat ini, pernahkah aku membahagiakannya? Belum sempat aku mampu ucapkan sederet kalimat sayangku padanya, ternyata aku tak sempat mencapai momen itu. Aku gagal, aku tak berguna bahkan untuk mengucapkan kata terima kasihpun aku tak bisa.”
“Semua ibu akan bahagia ketika anaknya bahagia, tak perlu kau ucap kata terima kasih ataupun maaf, seorang ibu akan tetap mencintai buah hatinya. Walaupun ia tak berada di sisimu sekalipun.”
“Maaf…”
“Aku akan sangat bahagia dan bersedia jika kau mau menganggapku sebagai tempat yang tepat untuk melepas kerinduanmu pada ibumu. Memang aku tak bisa menggantikan ibumu tapi setidaknya kau bisa membagi kenanganmu bersamaku dan mungkin pelukku bisa mengatasi kerinduanmu."
Tiba-tiba guyuran air membasahi tubuh kami. Akhirnya nyonya Franklin melepas peluknya, kami menoleh kearah yang sama. Ayah dan Jossie, dengan ember kosong di tangan tertangkaplah mereka berdua sebagai pelaku utama.
“Jangan bersedih, Leil. Kami semua menyayangimu. Kau boleh pinjam ibuku, iya kan, bu?” kata Jossie dengan senyum manisnya.
“Dia benar, kau adalah putriku juga. Tapi…” nyonya Franklin menatapku dengan tatapan penuh kode dan kurasa aku tahu apa maksudnya. Basah harus dibalas basah pula. Aku mengangguk menjawab kode dari nyonya Franklin lalu kami berdua bergerak cepat menyambar selang air dan menyemprotkannya kearah Jossie dan ayah.
“Kalian juga harus merasakannya,” kataku sambil terkekeh melihat Jossie dan ayah berjingkat menghindari semprotan air dari kami.
Tak kusangka aku benar-benar gadis yang beruntung. Ibu, kini aku baik-baik saja, aku bahagia di sini. Banyak orang yang menyayangiku dan akupun sayang mereka. Aku punya ayah yang super perhatian padaku, kudapatkan teman-teman yang luar biasa dan nyonya Franklin, konektor antara rinduku padamu, ibu. Tersadar dari lamunan ketika Jossie merampas selang dari tanganku dan menyerangku balik, aku hanya membalasnya dengan senyum ceria juga haru.
“Kau tak sendiri, Leil. Kami semua menyayangimu,” kata Jossie lalu semua mendekat, mengakhiri perang dengan sebuah senyuman.
“Aku sayang kalian semua!” seruku.
“Kami juga.” Mereka semua mendekapku bebarengan. Air mata haru sekaligus bahagiapun tak kuasa kubendung. Tiba-tiba sebuah aroma yang khas melintasi hidung kami.
“Astaga! Tuna kita gosong!” seru nyonya Franklin, tawapun pecah menyertainya.
*
Rainbow Cruiser kembali merapat ke dermaga menandakan usainya perjalanan hari ini. Sebuah limosin dan mobil sport Jossie tlah berderet rapi disana.
“Terimakasih atas waktu yang kalian berikan untuk menghadiri undanganku.”
“Maaf untuk tuna kita, Leil,” sahut nyonya Franklin.
“Tak apa. Aku bahagia hari ini. Terima kasih atas semuanya.”
“Tuan Hurn akan mengantar kalian pulang.” Si lelaki yang disebut pun membukakan pintu limosin dan mempersilahkan kami masuk. Dia adalah pria yang tadi menjemput kami pula.
“Aku masih harus kembali ke toko.”
“Aku bersedia mengantarmu, nona,” kata Jossie sambil membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkanku masuk.
“Aku akan naik bus saja. Terima kasih.”
“Masuklah, Leil. Jangan khawatirkan aku, aku akan pulang dengan ayahmu. Jangan sungkan. Dia adalah sopir terbaik di dunia,” kata nyonya Franklin sambil mendorongku masuk ke mobil Jossie.
“Terima kasih, ibu,” kata Jossie lembut lalu megecup kening ibunya.
“Hati-hati di jalan.”
Selama perjalanan pulang, kami terus bercerita tentang hari ini dan ia mengajakku untuk berlayar menemui para lumba-lumba. Andai perhatian Jossie tidak teralihkan oleh jalanan, maka aku tak tahu lagi bagaimana harus menyembunyikan wajahku. Setiap kata yang dia ucapkan dan caranya berucap selalu membuat jantungku berdebar. Wajahku juga pasti seketika akan memerah dibuatnya.  Hingga tak terasa, mobil telah memasuki halaman parkir toko June.
“Tunggu sebentar.” Jossie langsung melompat turun dan membukakan pintu untukku.
“Kita sudah sampai, nona,” sambut Jossie dengan uluran tangan halus mempesona. Akupun tertawa lepas mendengar nada bicaranya yang sok formal. Aku mengabaikan uluran tangannya dan memberikan tepukan untuk membalasnya.
“Terimakasih banyak, Josh.”
“Sama-sama. Jangan pernah bosan untuk menghadiri undanganku, ya?”
“Tentu.” Jossie kembali ke belakang kemudi lalu pamit.
“Hati-hati,” seruku mengiringi kepergian mobil silver itu kembali kejalan lalu menghilang.

(Bersambung…)